amelweiss

satu samabagian dua


Chaki mendengar lagi kisah Bima lamat-lamat. Keadaan Bima yang harus menahan lapar dan berpuasa jika tak punya uang menjadi kebiasaan buruk, penyebab Bima punya sakit lambung yang awalnya ia kira hanya maag biasa. Itu sebabnya Bima tak bisa minum kopi, juga makan pedas. Bukan tak suka, tapi tak bisa.

Bima juga jadi pandai masak sebab harus melayani Ayah dan adiknya sementara Ibu berjualan kue keliling. Bima dituntut untuk serba bisa dan mandiri pada usia muda. Perkara keadaan, Bima dewasa sebelum ketentuan.

“Jangan nangis terus dong, Cha,” Air mata Chaki diusap lembut, dikecup kedua matanya bergantian.

Sekali. Kanan.

Sekali. Kiri.

Chaki kaku ditempat, tiba-tiba rasa jantungnya ingin lompat. Jantung, kamu kenapa?

Menyadari keterdiaman Chaki, Bima juga kaget dengan refleks tubuhnya.

“Cha sori aku gak maksud lancang, cuma pikir aku tu—”

“Mau juga disini,”

Tanpa Bima duga respon Chaki jauh dari kata marah, si mungil sibuk memajukan wajahnya dan menunjuk hidungnya sendiri, meminta dikecup disana. Maka siapa Bima berani menolak? Dikecupnya lembut hidung mungil yang memerah sebab banyak menangis.

Chaki terkikik geli kemudian tersenyum bahagia lagi, senyum yang sampai ke mata.

“Bima,”

“Ya?”

“Aku sekarang deg-degan terus tiap deket Bima, kenapa ya?”

Pertanyaan Chaki barusan malah yang membuat jantung Bima bertalu-talu. Degup tak karuan sebab pertanyaan polos Chaki sendiri. Chaki di depannya selalu berbeda dari Chaki yang di kenal semua orang. Chaki di dekapan Bima ini adalah Chaki yang rapuh dan polos. Seolah jika lecet sedikit ia akan retak berserakan.

Bima hanya mengelus lembut penuh sayang lengan Chaki bergantian dengan penggungnya. Meminta Chaki bergantian cerita tentang hal yang masih disembunyikan darinya selama ini. Chaki berdeham saja, tak menolak juga tak menyanggupi.

“Bima pakai sabun lemon yang ditempat sabun kan?”

Chaki mengendusi wangi Bima yang sangat enak saat menyambangi hidungnya, membuat tubuhnya tentu ikut merapatkan diri pada pelukan Bima.

“Iya lah, cuma ada itu juga disana. Emang kenapa?”

Tak ada jawaban dari si pemberi tanya kala Bima menjawabnya, yang ada malah lingkaran tangan pendek yang makin mengerat bersamaan dengan gumaman kata enak tiap kali hidung si mungil bersentuhan dengan kulit lehernya. Lama-lama Bima merasa geli sendiri.

“Kamu kenapa tiba-tiba nempel-nempel gitu?”

“Wangi Bima enak, Chaki suka,” kata si mungil yang mana suaranya teredam dan menghantarkan rasa geli yang menggelitik pada leher Bima. Yang lebih tinggi tertawa dan mencubit gemas pipi montok Chaki.

“Udah gak usah ulur-ulur waktu, better now than never,”

Late bukan now,”

Chaki protes tak suka dan Bima mendebatnya kembali, bilang kalau istilah yang cocok dipakai adalah sekarang.

“Kamu ragu ya sama aku? Apa karena aku jujurnya lama ke kamu jadi kamu udah ragu? Gak mau cerita semuanya lagi?”

Bima terlihat kecewa dan Chaki menggeleng keras. Bukan, bukan seperti itu.

“A-aku takut,”

“Kalau kamu cerita nanti kita satu sama, impas, aku bayar pakai nemenin kamu lewatin masa sulit kamu, Cha.”

Jika dipikir, ini memang impas.

Chaki cerita masa lalunya —yang waktu itu, Bima juga —kini.

Chaki (akan) cerita masalahnya —tentang Abangnya, Saera, Seno dan lainnya, Bima (akan) menemani Chaki menghadapi kelamnya.

Chaki mengangguk, meneguhkan hatinya bahwa barangkali sudah saatnya berdamai dengan masa lalu nya, toh kini dia punya Bima dibelakangnya. Juga punya Bima di depannya. Bima yang akan menjaganya, janjinya.


Hubungan Chaki dengan Abangnya tergolong rumit. Jika ditanya pasti; apakah Chaki menyanyanginya, tanpa pikir dua kali Chaki akan menjawab tidak tanpa gemetar.

Jauh di dalam lubuk hatinya, Chaki tahu bahwa itu adalah sebuah kebohongan yang besar. Chaki, menyayangi Abangnya. Sangat.

Chaki tak pernah benci, meski harus berdiri dibawah bayang-bayang Abangnya. Bukan salahnya, salah Chaki sendiri dia tak punya nilai lebih untuk diidentifikasi mudah dengan orang lain.

Orang-orang lebih suka memanggilnya; Adiknya Nico, daripada namanya, sekali lagi Chaki paham itu bukan salah Abangnya.

Ayah selalu lebih suka Abangnya, menomorsatukan si sulung daripada memberi sedikit perhatian dan iba pada si bungsu. Juga itu bukan salah Abangnya.

Chaki tahu, disini ia yang bersalah. Terlalu banyak kurang, terlalu banyak cacat, tak pernah jadi cukup dan tak pernah jadi layak. Sekali lagi Chaki tak pernah benci Abangnya, cukup tahu diri akan kemampuannya.

Dulu sekali, waktu itu Chaki di Sekolah Menengah Pertama, Abang punya pacar; Saera. Sangat baik dan hangat, semacam cokelat lumer di siang hari. Mudah diterima, menyenangkan hati.

Begitu cara Saera masuk ke keluarganya, terutama masuk ke dalam daftar orang-orang yang Chaki ingin bagi cerita pertama kali. Lebih dari orangtuanya, lebih dari Abangnya, lebih dari siapapun. Sebab Chaki memang tak punya siapa-siapa sejak dulu.

Saera berubah menjadi orang penting dan kotak sampah berjalannya seiring waktu. Chaki suka sekali cokelat dan Saera tak pernah lupa. Sama hal dengan Saera yang tak pernah lupa bertanya pada Chaki; bagaimana kabarnya hari ini, ada cerita apa hari ini. Serta memberi Chaki banyak tawa dan penyemangat hidup lainnya.

Chaki percaya Saera, sangat. Chaki pikir semua ketidak-dekatan Abangnya dan dia tak jadi masalah sebab Abangnya punya kemampuan yang bagus dalam hal mencari pacar. Chaki suka Saera, suka Saera jadi Kakaknya, suka Saera bersama Abangnya, meski Chaki tak pernah begitu peduli pada apa yang dilakukan Abangnya.

Sampai saat Mama pergi dan Abangnya memutuskan sekolah di luar negeri. Chaki hancur saat itu, butuh tempat membuang tangis sedang Abangnya pergi tanpa pikir apa-apa. Saera ikut hilang entah kemana, padahal dialah orang pertama yang ingin Chaki jadikan tempat aduan. Saera tak ada kabar, tak pernah datang kembali. Hilang bersamaan tawanya yang tak pernah berderai lagi, juga bersamaan cokelat-cokelat yang tak pernah datang.

Suatu hari Chaki dapat kabar, Abangnya putus dengan Saera. Abangnya yang lakukan.

Chaki jadi tahu, semua orang yang bertahan di sisinya lagi-lagi hanya sebab bayang-bayang Abangnya. Chaki tak pernah mampu menyamai.

Sejak itu Chaki tak suka cokelat. Juga tak pernah mau membuka diri. Sebab sebagian orang hanya berpura-pura peduli, padahal dia hanya ingin tahu, tak pernah lebih lagi.

Sedang bersama Seno, Kevin dan Wildan, Chaki hanya berteman biasa. Membuat lingkup baru, memakai nama baru sebab Chaki sudah sering disakiti. Ingin kenal hal yang belum pernah ia temui. Chaki temukan nyaman, pakai topeng yang lain. Pakai Esa tiap kali ingin lepas penatnya.


“Aku gak akan gitu,” Bima berseru, meyakinkan Chaki menggebu-gebu.

Chaki tersenyum, Bima tak meninggalkannya, Bima tak akan pergi darinya. Seperti orang-orang yang lalu, singgah sebentar kemudian pergi.

“Gak tau nanti ya,” mencibir keseriusan Bima, Chaki pikir berbagi hal yang awalnya terasa berat jadi mudah kalau orangnya Bima. Sebab Bima selalu disana, tak beranjak tak bergerak. Masih setia menopangnya.

“Gak bakal deh,” ucap Bima mantap, “Jadi aku kenal tiga Chaki sekarang.”

Chaki memiringkan kepalanya, bingung, “Gimana?”

“Chaki di sekolah yang diam, Esa di bar yang liar dan bar-bar, dan Chaki yang di pelukan aku yang manja gak kira-kira,” berakhir dengan Bima yang mengaduh sebab cubitan di perutnya.

“Cha aku mau ngomong serius,”

“Apa?”

“Abang kamu disini, harusnya udah pulang dari minggu lalu. Tapi di per lama karena katanya ada urusan, terutama mau ketemu kamu,” Bima memerhatikan dengan seksama perubahan air wajah Chaki, “Kak Saera juga,” tambahnya lagi.

Chaki meragu, sebagian diri menolak keras sebagian lagi ingin mengakhiri sakit berkepanjangan ini.

Ada aku, ada aku, ada aku, Bima berkali mengulang ucapannya seperti mantra. Mencoba membangun benteng keteguhan dalam jiwa Chaki. Meyakinkan bahwa apapun yang akan Chaki hadapi Bima bersedia jadi tamengnya. Bahwa Chaki akan baik-baik saja sebab Bima sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu disana, melindungi Chaki

“Temuin, Cha, maafin terus lupain kalau emang menurut kamu itu yang terbaik. Mendam luka gak pernah baik, maafin dan ngerelain selalu jadi solusi paling baik. Beratnya cuma diawal, lewat-lewatnya nanti lega gak bisa ke gambar, coba deh,” Bima yakinkan lagi, “Katanya mau coba jadi kaya aku? Cuma perlu hadapin, jalanin, kalau harus dilupain ya lupain, yang penting hidup selalu tentang hadapin masalah, bertahan setelahnya.” Bima tersenyum diakhir.

Chaki berani bersumpah itu adalah senyum yang paling bisa membuatnya tersihir seolah ucapan Bima tak bisa Chaki debat kembali. Seyuman tadi menghipnotis nalarnya Chaki. Maka Chaki anggukan kepala tanpa sadar. Mengundang Bima mendekapnya lebih erat sambil bergumam kamu hebat berulang kali, seperti mantra yang lain lagi.

Chaki bingung dimana letak satu sama yang Bima maksud, sebab ketimbang Bima, dirinya punya lebih banyak beban yang diberi, juga banyak keluhan atas ketidakmampuan diri. Tapi Bima tak pernah protes, selalu meyakinkan dengan hati penuh.

“Kita bakal hadapin mereka sama sama, lupain semua yang dulu, kalau udah dihadapin semua keputusan ada di kamu. Kamu bisa, Cha. Chaki bisa dan Chaki hebat.”

Bima tidak tahu saja bahwa Chaki selalu ingin menangis setiap kali ada kata-kata baik di lontarkan untuknya. Dan Bima tak segan untuk selalu memberinya.

Jadi Chaki biarkan dirinya menangis lagi, membasahi dada Bima dengan air matanya.

“Pokoknya biar impas Bima harus mau Chaki kasih makan sampai besar, Bima kurus banget pipi nya gak bisa gantian aku cubit!”

Chaki mengomel tentang satu sama kembali, membuat tawa berderai menghiasi malam di kamar asrama mereka berdua. Pun Bima bisa apalagi selain mengiyakannya? Bima sudah kalah dengan perasannya sendiri. Telak.

the meeting


Gavi duduk termenung di Cafe yang sudah dijanjikan kemarin dengan orang yang tanpa di duga akan memberikan pekerjaan padanya. Kopi panas pesanannya baru saja datang, masih mengepul di depannya. Sekilas ia melirik jam tangan Rolex Yacht-Master putih yang bertengger manis di pergelangan kirinya. Masih pukul 4.43 sore, ada 17 menit lagi dari waktu yang telah dijanjikan.

Gavi mengeluarkan Canon 700D miliknya dan mulai memotret sembarang. Coba mengabadikan setiap moment yang tertangkap oleh lensa kameranya. Waktu berlalu begitu saja, sekarang adalah jam yang sudah mereka tentukan, namun orang yang ditunggu belum tiba juga. Lalu lintas memang sedang macet-macetnya, Gavi memaklumi. Pemuda itu menyesap lamat kopi panasnya dan menghirup aromanya, mencoba memberi ketenangan pada perasaannya yang sejak tadi gugup.

“Maaf saya sedikit terlambat. Benar anda Bapak Gavi?”

Sebuah suara familiar menggelitik indra pendengarannya. Gavi mengangkat kepalanya untuk menatap sosok tersebut. Kemudian ia terkejut bukan main, saat netra nya bertemu pandang dengan netra yang berbeda warna. Gavi yakin orang itu sama terkejut dengannya, karena matanya membeliak meski tak bisa lebih lebar lagi dari adanya.

“Loh? Lo kan yang waktu itu di pameran?” Pekik seseorang yang tak lain dan tak bukan adalah Acel. Si mungil menunjuk Gavi tepat di depan wajahnya menggunakan jari telunjuk gemuk miliknya.

“Lo Omega rese itu?”

“Ih apaan sih kok lo ngatain gue Omega rese?” Acel bungkam seketika selepas melontarkan pertanyaan tersebut. Si mungil memejamkan matanya, menghembuskan nafas sebelum memasang senyum yang susah payah ia lakukan.

Acel hampir saja kehilangan wibawa dan melupakan tujuannya datang kemari. Tidak bisa dibiarkan, Acel harus professional karena sedang dalam lingkup kerja nya. Acel adalah orang yang mampu menempatkan diri sesuai keadannya, jadi mari buang dulu emosinya. Semangat Cel!

Acel berdeham, “Sori, bisa kita obrolin hal yang jadi tujuan kita sejak awal?” suaranya sangat sopan, meski Gavi bisa mendengar ada penekanan di beberapa kata.

Gavi memutar bola matanya bosan, lantaran melihat perubahan ekspresi yang ditunjukkan Omega di depannya dalam sepersekian detik.

“Oke,” katanya kemudian.

“Oke kita mulai dari awal ya, kenalin saya Marcel Adiputra selaku Public Relation dari Ram's Entertainment,” Acel mengulurkan tangannya pada Gavi, memberi gesture meyakinkan bahwa mereka memang harus berkenalan dari awal.

“Gavriel Chandra,” Gavi membalas uluran tangan Acel, ekspresinya datar saja.

“Oke, saya panggil Mas Gavi ya karena kelihatannya gak jauh beda dengan saya usianya,” kata Acel lagi, seluruh pergerakan si mungil sangat luwes sekali di mata Gavi, suaranya juga enak untuk di dengar berkali-kali.

“Jadi gini Mas Gavi, perusahaan kami rencanya mau mengadakan pameran, sekaligus peresmian gedung baru sih. Jadi kami mau mengenalkan ke publik yang masih awam tentang perusahaan kami. Kami butuh banyak orang untuk bekerja dalam team dalam hal pengambilan gambar untuk profile perusahaan ya misalnya tuh pekerjaan apa saja yang dilakukan dan sebagainya, juga untuk ngisi pameran itu sendiri,”

Gavi hanya mengangguk sambil mendengarkan penjelasan Omega mungil dihadapannya. Jujur boleh dikatakan bahwa Acel adalah salah satu tipe Omega yang memiliki scent menenangkan dan Alpha Gavi menyukai scent dari Omega milik Acel. Wangi lavender yang lembut dan manis.

“Jadi gimana? Mas Gavi tertarik gak untuk kerja sama bareng kami?” Gavi terbangun dari lamunannya. Gavi sendiri tidak sadar bahwa sedari tadi ia hanya memperhatikan labium penuh si Omega bukan penjelasan mengenai kontrak kerja mereka.

“Ya? Gimana?”

“Mas Gavi dengar kan yang tadi saya jelasin? Apa ngelamun ya?” Nada yang Acel lontarkan jahil sekali, padahal hati sudah kesal setengah mati, pemuda di depan Acel ini sangat tidak sopan, dingin dan cuek. Kalau bukan karena kebutuhan perusahaan yang terburu, Acel mungkin akan mencoba untuk mencari orang lain saja. Namun apa daya, kebutuhan perusahaan sangat mendesak.

“Nggak, saya dengerin. Oke, saya setuju. Kira-kira kapan ya mulai kerja nya?”

Ekspresi wajah Acel berubah cerah saat Gavi akhirnya setuju untuk bekerja sama dengan mereka.

“Beneran Mas Gavi setuju?” pertanyaan Acel dibalas anggukan.

“Jadi nanti Mas kerja di tim saya. Besok sudah mulai masuk ya Mas Gavi. Jam 9 sudah di kantor,” jelas Acel.

“Oke, makasih banyak udah ngerekrut saya,” ucapan yang dilontarkan dengan ekspresi sedatar itu membuat Acel menggelengkan kepalanya.

“Sama-sama, memang Mas berbakat kok. Walau ngeselin,” kata Acel dan menggumam di akhir kalimat. Gavi berniat membalas ucapan Acel namun diurungkan niatnya.

“Ya udah cuma itu saja yang mau saya sampaikan. Ngomong-ngomong saya duluan ya Mas Gavi. Sampai ketemu besok. Senang bisa kerja sama bareng Mas Gavi,” Marcel tersenyum sebelum akhirnya ia meninggalkan posisi duduknya, menuju pintu keluar cafe.

Gavi masih duduk di tempatnya semula, menatap gelas coklat panas milik Acel. Aroma lavender Acel tidak pernah lepas dari indra penciumannya bahkan setelah Omega itu pergi. Alpha Gavi perlahan mulai menyukai scent lavender Acel.

“Apaan sih, lo mikir apa Gav?”

satu sama


Langit sudah gelap saat Chaki sampai di depan pintu bercat biru langit, pintu asramanya, pintu kamarnya —dan Bima. Ada pertimbangan beberapa saat sebelum ia membuka pintu itu, perasaan antara siap dan tidak untuk menghadapi pembahasan mereka nanti. Chaki sadar, semakin lama sesuatu dipendam, maka semakin besar efek yang akan ditimbulkan dan itu tidak baik. Chaki sangat menunggu datangnya hari ini, Bima ingin terbuka dengannya bukan? Tapi di lain sisi Chaki takut menghadapi kenyataan lainnya, hanya belum siap sama sekali.

Pintu terbuka sebelum sempat Chaki memegang kenopnya. Cowok jangkung yang Chaki kenal dengan baik, dengan plastik hitam di tangan kanannya nampak terkejut mendapatinya di depan pintu.

“Loh Chaki, kamu udah pulang? Kok gak langsung masuk?”

Chaki mendengus, merutuki dalam hati kinerja jantungnya yang sangat ekstra hanya setelah menyadari jarak Bima sangat dekat dengannya. Wangi sabun mandi yang Bima pakai juga tiba-tiba membuat bagian dari dalam dirinya bergejolak aneh. Wangi lemon, dia juga menggunakan sabun yang sama, tapi entah mengapa saat Bima yang menggunakan wanginya jadi lebih....enak?

“Cha?”

Sadar Bima sudah bertanya dua kali Chaki buru-buru menyahuti, “Iya ini mau masuk, Bima keburu buka pintu duluan,”

“Yaudah sana mandi dulu, abis itu makan ya aku baru masak. Aku buang sampah bentar,”

Chaki mengangguk dan menurut untuk langsung masuk dan mandi sementara Bima turun ke lantai bawah untuk membuang sampah.

Selesai mandi Chaki melihat Bima sudah ada di meja makan kecil mereka, menyambutnya dengan senyum hangat yang kali ini membuat darahnya berdesir. Chaki pikir tubuhnya belakangan ini sering terasa aneh.

“Makan yang banyak ya, Cha,”

Chaki mendelik kearah Bima setelah duduk di kursinya, “Harusnya yang ngomong gitu Chaki gak sih?”

Bima tertawa, kemudian menyendok nasi nya dengan lahap. Makan bersama Chaki bisa membuatnya begitu bersemangat. Jujur, makan adalah hal yang paling sulit Bima lakukan. Itu sebabnya Bima sadar mengapa penyakitnya yang ia kira hanya maag biasa ternyata berubah pesat menjadi tukak lambung kronis.

Mata Chaki tak melepaskan Bima sekalipun, memastikan dengan baik bahwa Bima menghabisi seluruh makanannya dan tak bersisa sebutir nasi pun. Sesekali Chaki akan menambahkan lauk pada piring Bima, memindahkan ayam kecap miliknya yang sudah di suwir pada sendokan nasi Bima atau menambahkan minum ke gelas Bima yang dirasa mulai berkurang isinya.

Bima tersenyum, memakan semua yang diberikan Chaki dengan hati menghangat. Perasaan senang bersarang dalam hatinya. Chaki menjadi berkali-kali lipat lebih perhatian dan manja sejak dirinya masuk rumah sakit dan Bima sadar itu. Bima mendapatkan usakan lembut di kepalanya setelah semua makanannya tandas tak bersisa.

“Pintar Bima makannya,” Chaki tersenyum lebar sampai mata, maka bulan sabit kesukaan Bima ikut terbit. Menghantarkan rindu-rindu yang tunai satu persatu. Sudah lama sekali tak bertemu senyum itu.


Segelas kopi hitam dan cokelat hangat sudah ada di tangan masing-masing. Tapi mereka masih mempertahankan kesunyian yang menelan mereka diam-diam. Bima sibuk memikirkan darimana awal cerita yang harus ia jelaskan. Sedang Chaki takut, sebab masalahnya kini bukan hanya tentang Bima yang belum mau membagi kisahnya, ini lebih dari itu.

Chaki berdeham, beranjak dari kursi katanya ingin mengisi ulang kopi. “Besok aja,” katanya sebelum berlalu melewati Bima.

Bima mencekal pergelangan tangan Chaki, membuat si mungil berhenti dari langkahnya.

“Apa?” Alisnya terangkat tanda tak mengerti.

“Sengaja biar gak jadi bahas yang aku bilang tadi siang?” Bima menemukan air wajah Chaki yang kaku, yakin bahwa tebakannya benar.

Bima menarik Chaki duduk kembali, mengelusi jemari gempal yang mungil dalam genggaman. “Kalau kamu gak mau kita bahas ini kita bisa bahas lain kali,” Bima menjeda memerhatikan Chaki yang nampak terganggu, ada ragu yang terbaca jelas dari matanya, “Tapi nanti masalah kita jadi makin numpuk, gak baik menunda suatu hal yang sebarusnya segera diselesaikan itu,” tambahnya kemudian.

Chaki membuat pola acak pada meja dengan jemari lainnya, menyadarkan Bima bahwa Chaki kini sedang menentukan keputusan yang cukup berat bagi dirinya sendiri.

Bima membawa tubuhnya merapat kedepan, melepas genggam dan menangkup dunia dalam kedua telapaknya. Wajah Chaki, dunia Bima dalam bentuk perbandingan skala terkecil.

“Cha, liat aku,” Jemari Bima menuntut wajah Chaki untuk menatap manik madu cowok itu mau tak mau. Chaki bisa lihat ada keyakinan disana, keyakinan yang Bima coba tunjukkan padanya.

“Kalau masalahnya dihindarin terus nanti makin besar. Kalau nunggu siap, manusia gak akan pernah siap. Jadi, daripada dihindarin terus mending kita hadapin bareng-bareng. Kamu sama aku, kamu punya aku sekarang Cha,” Bima mencoba meyakinkan kembali.

“Lagi pula ini awalnya mau bahas tentang aku dulu kok, kamu mau tau kan?” kata Bima lagi, pancaran mata yang mengisyaratkan keyakinan memberi Chaki kekuatan, kekuatan untuk menabahkan hatinya sendiri.

Chaki mengangguk.

“Aku yakin kamu udah nunggu jujurnya aku ini dari lama, maaf aku siapnya terlambat Cha. Sampai kita harus berantem dulu kaya tempo lalu baru aku sadar,” Bima melepas tangkupannya. Mempersilahkan Chaki untuk mencari tempat ternyaman untuk mendengarkan kisahnya. Meski tahu nyaman Chaki akan berakhir pada dekap hangat dengan kepala bersandar pada dadanya.

“Gakpapa, pasti berat buat Bima juga,” jawab Chaki yang kini sudah meyakini dirinya sendiri.

“Bisa iya bisa enggak, soalnya aku udah ngalamin ini bertahun-tahun jadi gak merasa terbebani sama sekali,” dagu Bima dibawa keatas kepala Chaki, mengusak disana dengan gerakan kecil-kecil.

Chaki memejamkan mata sementara Bima mulai menceritakan segala hal yang akhirnya mampu menjawab semua pertanyaannya satu persatu.


Bima bukan dari keluarga yang berada, bukan juga berasal dari keluarga tak punya. Bisa dikatakan tak pernah kurang tapi tak pernah juga berlebihan. Biasa saja. Hanya biasa saja.

Keluarga Bima tegolong keluarga yang harmonis, sangat harmonis malah. Ayah dan Ibunya saling mencintai, juga merawat Bima dan adiknya yang masih bayi —Rayyan, tak pernah kurang-kurang. Ayah punya rumah makan kecil-kecilan, kamudian berkembang hingga membuka kafe yang masih dirintis dari bawah.

Waktu itu Bima masih di sekolah dasar, Om-nya datang sendiri ke rumah menawarkan diri untuk membantu pembangunan dalam rangka ekspansi kafe lebih besar lagi. Katanya, bahkan akan dibuatkan cabang dekat rumah Om-nya.

Senyum terkembang, hari itu Ayah dan Ibu bahagia. Tentu mempercayakan sepenuhnya karena Adik Ayahnya tersebut sudah dipercaya, juga kerap membantu Ayahnya.

Hari beganti, pembangunan tak kunjung terjadi apalagi ekspansi. Ayah sudah resah, sebab seluruh modal dan tabungan semua, sudah tak ada lagi bersisa.

Sampai suatu hari setelah bulan terlewati, Adik Ayahnya datang membawa kabar mengejutkan. Dia tertipu, mereka tertipu dan itu jumlahnya sudah bukan puluhan. Ayah tumbang, Ibu menangis nengiringi sampai ke rumah sakit.

Hari ini hari terburuk bagi Bima dan keluarganya, karena Ayah dinyatakan terkena stroke dan tak mampu melakukan apa-apa lagi untuk menunjang keluarga.

Pasang surut hidup Bima rasakan sejak dirinya menginjak kaki di tahun pertama Sekolah Menengah Pertama nya. Ada hari-hari Bima harus rela menahan lapar dari pagi sampai pulang, dan rela makan hanya dengan nasi hangat dan garam saat dirumah. Ibu saat itu belum ada modal untuk kembali usaha, jadi hanya bisa berjualan kue keliling.

Bima sudah terbiasa, tak jajan, tak punya banyak teman —sebab berteman butuh modal banyak, tak bisa ikut banyak kegiatan sekolah, tak mampu beli buku, bahkan sepatu rela diganti alas berkali-kali serta tas yang harus kembali dijahit ditempat yang sama robeknya.

Bima —barangkali karena jiwanya sebagai anak pertama, tak pernah sekalipun mengeluh. Selalu berpikir bagaimana caranya mencari uang, entah itu jual kue di sekolah, mengamen, atau bantu-bantu tetangga di bengkel dekat rumah.

Tahun kedua Bima kenal Yosha, bersamaan dengan kesukaannya pada musik mulai bertumbuh seiring Yosha yang kerap mengajaknya bergabung dengan ekskul musik. Sejak saat itu, Bima punya teman yang terima dia apa adanya. Juga punya alasan untuk bekerja lebih giat hingga akhirnya Bima punya Pablo dari hasil peras keringat.

Setelahnya Bima coba cari uang dengan bernyanyi, mulanya kebisaan otodidak, lama-lama terbiasa karena latihan saat ekskulnya. Yosha selalu temani, mendukung Bima seolah tahu yang Bima butuh hanya dukungan. Hanya kata bahwa Bima bisa.

Bima berlari, kemudian tersandung batu.

Bima berjalan kemudian terinjak duri.

Pada akhirnya Bima selalu mampu bangkit lagi. Demi Ibunya, demi Ayahnya juga demi adiknya.

Bima ingin fokus bekerja, putus sekolah saja katanya. Namun Yosha bersikeras sebab Bima sangat sangat pandai jika boleh dikata. Hanya keadaannya yang tak memadai untuk Bima menunjukkan betapa cerdas dirinya.

Bima kubur dalam-dalam soal jadi pintar, sebab tak punya waktu belajar. Bima hanya tahu cari uang, untuk bantu keluarga bertahan hidup, juga bantu Ayah agar berobat jalan terus. Kerja tugas dan ujian yang penting selesai.

Bima tak pernah tinggal kelas dan tak pernah berada di urutan paling bawah. Biasa saja. Sebab, dirinya biasa saja, katanya.

Seiring berjalannya waktu, uang Bima dan tabungan ibu terkumpul, cukup untuk meneruskan kafe sedikit demi sedikit dan mulai merintis kembali saat Bima berada di akhir tahun pertama Sekolah Menengah Atas. Baru berjalan dua tahun kesini, dan masih belum mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Itu sebab Bima tetap bekerja, makin giat saja karena kebutuhan pengobatan Ayah dan keperluan adiknya Rayyan makin meningkat. Bima bersyukur ada Theo yang menemani, juga Yosha yang senantiasa mendukung. Mereka membantu Bima, membuatkan Bima saluran YouTube-nya sendiri, mengunggah video Bima yang bermain gitar agar banyak kontennya, mencoba mencari uang dengan cara berbeda. Namun masih sedikit peminatnya.

Sampai Bima pernah bertemu Wildan selesai busking sorenya, cowok itu mengajaknya bekerja untuk tampil di bar dengan tawaran bayaran yang cukup menjanjikan dan stabil daripada busking yang seperti ini.

Bima iyakan.

Satu kali, lumayan juga.

Dua kali, lumayan bayarannya.

Tiga kali, Yosha dan Theo tahu kemudian marah besar.

Sebab itu bar, mereka belum legal dan Bima harus bekerja sampai tengah malam. Bima adalah anak sekolah. Dan Bima berhenti.

Bima melakukan semua seperti semula lagi, sampai akhirnya Bima pindah asrama, menjadi roommate Chaki dan dengan terdesak menerima tawaran Wildan kembali. Kali ini Yosha tak tahu, hanya Theo saja.

”...... tapi sekarang kamu juga udah tau,”

Bima menutup ceritanya saat isakan makin kuat terdengar dan dadanya terasa basah. Chaki menangis sesegukan dan Bima tertawa dibuatnya. Hidung Chaki merah sekali, bibirnya mengerucut seperti anak ayam yang Bima biasa katakan.

“Kok nangis sih, Yam?” Bima bertanya main-main kemudian dapat pukulan telak di dada. Bima tertawa kencang sementara Chaki membenam wajah makin dalam.

“Kok Bima bisa kuat banget sih? Kalo itu aku kali udah nangis setiap hari,” Chaki bertanya meski suaranya sayup teredam dada. Tercekat-cekat sebab nafasnya sulit akibat banyak keluar tangis.

“Aku udah biasa, itu gak perlu ditangisin. Cuma perlu di jalanin. Namanya hidup tuh gak selalu mulus lagi, Cha. Salah satu alasan orang bisa jadi kuat ya karena udah pernah dapet susah berkali-kali, udah diuji berkali-kali. Hidup kan tentang gimana caranya kita belajar dan bertahan. Orang yang hidupnya udah biasa susah, gak akan pernah ngeluh kalau dapat cobaan sedikit. Pasti mikirnya, pasti ada jalan keluar, ayo coba lagi, gitu. Jadinya gak gampang nyerah dan stres sendiri,”

Chaki setuju, merasa hidupnya seperti itu namun Chaki belum mampu seperti Bima. Menjalani hidup dan menghadapi masalahnya. Chaki belum sekuat Bima. Chaki selalu menyalahkan keadaan dan menghindari masalah dengan pelampiasan yang salah.

Chaki jadi berpikir bagaimana hidupnya jika ia bertemu Bima dua tahun lalu. Lebih cepat, lebih dulu. Apa ia tidak akan pernah jadi Chaki yang sekarang? Apa ia bisa lepas dari penyakitnya? Apa ia tidak akan pernah menyakiti dirinya sendiri serta orang-orang sekitarnya?

“Aku harap bisa ketemu Bima lebih cepat dari ini, aku harap bisa ketemu Bima sejak dulu,”

Bima mengelus punggungnya, memberi kecup lembut pada pucuk kepala Chaki. Menenangkannya dan mengatakan bahwa tidak ada yang terlambat, semua sudah direncanakan Tuhan, termasuk di dalamnya adalah pertemuan.

”.... gak ada yang terlambat, akhirnya kamu juga bakal selalu punya aku buat nemenin kamu, Cha.”

Chaki mengangguki, mengamini dalam-dalam karena rasanya kini ia ingin Bima menemaninya sampai lama. Tak tahu ini perasaan macam apa, tapi Chaki pikir ia hanya butuh Bima untuk hidupnya. Menyembuhkan lukanya yang menganga dan menopang dirinya.

meet


Gemerlap lampu tumpang tindih bergantian, riuh-riuh sorak suara bersahutan dengan musik, bersatu padu. Ramai. Satu kata yang menggambarkan tempat ini. Berbeda sekali dengan Chaki yang kini tengah memandang kosong gelas jus di tangannya. Meski sudah mengambil duduk yang cukup jauh dari panggung dan gerombolan manusia haus hiburan, Chaki tetap dapat menangkap dengan jelas kebisingan yang ada.

Seno yang daritadi berbicara panjang lebar dan semangat padanya akhirnya jengah juga karena tak ditanggapi sama sekali. Cowok yang lebih tua tiga tahun dari Chaki itu menggerutu tentang betapa sia-sia lima belas menit suaranya dia keluarkan dengan berteriak karena suasana ramai ini dan hanya mendapatkan helaan nafas dari lawan bicara.

Tak lama gerutuan Seno berakhir saat melihat figur cowok lain yang dengan riang berjalan ke arah mereka tepat di belakang punggung Chaki.

“Kevin!” Chaki ikut menoleh ke sampingnya saat teriakan Seno terhadap nama seseorang cukup menarik perhatiannya. Tapi belum sempat lihat, seseorang itu sudah duduk di sampingnya sambil merangkul bahunya.

“Hai, kalian udah lama ya?” Suara Kevin terdengar ringan dan ceria. Sepertinya suasana hatinya sedang baik.

Chaki tersenyum menanggapi, mencoba terlihat ceria padahal dia sibuk merutuk dalam hati karena Kevin ada disini, Kevin tidak pernah membiarkannya berpikir tenang. Cowok itu akan menggoda dan menempelinya terus dan itu membuat pusing.

“Baru aja kok,” Itu Seno lagi yang menjawab, sebelum cowok itu berjalan kearah bartender untuk memesankan minuman setelah bertanya pada Kevin.

Kevin sebenarnya tidak sebegitu menyebalkan, hanya saja suasana hati Chaki sekarang ini membuatnya jadi bersungut-sungut pada siapapun yang berpotensi untuk mengganggu nya.

Dengan terpaksa Chaki harus menanggapi celotehan Kevin dan menjawab semua pertanyaan cowok itu perihal keabsenannya selama satu bulanan ini dan mengapa ia mengabaikan pesan Kevin.

Chaki meringis saat Seno tiba-tiba datang dan menjawab; “Gak usah lo gangguin lagi dia, Kev. Udah punya penjaga,” kemudian meletakkan dua gelas koktail yang dipesannya.

“Wah serius, Sa? Sakit banget, sakit hati gue ini, pantesan gue dicampakkan sebulanan ini,” kata Kevin dramatis, sebelah tangannya memegangi dada dengan khidmat, sebelahnya lagi memegang minuman dan menenggaknya.

“Gak usah norak ya Kak Kev, pulang nih gue,” Chaki gemas juga pada obrolan kedua kakaknya ini sedangkan Kevin dan Seno tergelak.

“Lo cuma minum jus, Sa? Tumben banget?” Tanya Kevin sangsi, karena setidaknya Chaki akan memesan rum atau koktail juga.

“Gak boleh sama pacarnya, ntar diomelin. Lagi berantem,” Seno kembali menyerobot bicara dan berbisik pada kalimat terakhir, padahal Chaki masih mendengar dengan jelas.

Chaki mendelik tidak suka, “Ih Kak Seno ya bawel banget dari tadi. Dibilang bukan pacar gue kok!”

Mereka kembali tergelak, menggoda Chaki —oh, atau mari kita sebut disini Esa, merupakan hal yang menyenangkan. Respon yang diberikan si mungil selalu saja mengundang tawa dan kegemasan. Ketahuilah bahwa Seno dan Kevin tidak sampai hati untuk mengajarkan hal-hal buruk pada Chaki yang sudah mereka anggap seperti adik mereka sendiri ini. Meski Kevin kerap kali menggoda dan melempar gurauan betapa dia sangat menyukai si mungil, namun itu tidak benar-benar dalam artian yang dalam. Kevin memang suka, namun masih dalam tahap mengagumi. Rasa sayang sebagai kakak lebih mendominasi.

Pertemuan mereka tergolong seperti sebuah takdir atau mari kita sebut sebagai sebuah ketidaksengajaan. Saat itu Chaki dan Seno tidak sengaja tertukar dompet saat membayar belanjaan di supermarket dekat sekolah. Kejadian yang lucu kalau diingat karena Chaki tidak pernah punya kartu debit dan kredit sebanyak itu, juga tidak punya ktp. Setelahnya mereka bertemu kembali untuk bertukar dompet setelah Chaki menghubungi nomor telfon pada kartu nama dalam dompet itu.

Sejak saat itu mereka menjadi akrab, sampai Chaki sudah menganggap Seno seperti kakak nya sendiri. Chaki yang memperkenalkan dirinya sebagai Esa mampu menarik perhatian dan rasa gemas Seno sejak awal. Seno adalah mahasiswa Manajemen Bisnis tahun ketiga, memiliki bar sendiri dalam rangka implementasi materi kuliah —katanya. Hingga akhirnya dia sering mengajak Chaki ke bar miliknya dan mengenalkan Chaki pada Kevin, teman baiknya, mahasiswa Photografi tahun ketiga. Juga Wildan, Mahasiswa Seni Musik tahun kedua.

Sebenarnya Seno dan Kevin tidak pernah mengajarkan hal buruk pada Chaki. Hanya saja mereka kerap menemukan kejanggalan pada adik mereka itu, keterdiamannya, kecanggungannya, kemarahan serta gesture nya yang seolah sedang menahan berbagai gejolak. Sampai suatu hari Chaki menangis dan memohon untuk diperbolehkan meminum minuman beralkohol pada mereka. Chaki menangis meraung-raung membuat mereka tak tega sampai akhirnya Seno memperbolehkannya meminum yang berkadar alkohol rendah yang sesungguhnya belum legal Chaki minum.

Chaki juga kerap membantu Kevin dalam menyelesaikan tugasnya. Chaki dengan senang hati menawarkan diri menjadi model dalam setiap tugas Kevin. Awalnya Kevin cukup terkejut melihat banyak luka sayatan pada pergelangan tangan dan paha putihnya. Chaki selalu beralasan luka itu sudah disana sejak lama, Chaki pernah terjatuh dan alasan lainnya. Kevin tentu tak bodoh, namun setelah berbicara dengan Seno mereka memutuskan untuk tak pernah membahas hal itu dan menganggapnya tak ada. Mereka tetap mengawasi Chaki meski banyak, banyak sekali hal yang mereka tidak tahu dari cowok mungil itu. Banyak sekali hal yang mereka ingin pertanyakan padanya. Tapi mereka sadar batasan mereka.

Tidak berselang lama, Seno bertepuk tangan saat seseorang naik keatas panggung bersama gitarnya. Chaki tidak bisa melihat dengan jelas tapi melihat seluruh respon orang-orang dalam ruangan ini tentu cowok bergitar itu adalah primadona disini.

“Loh ada dia Sen?” tanya Kevin tak kalah antusias. Seno mengangguk, senyumnya makin terkembang.

Chaki memandang kearah kedua kakaknya penuh tanya, “Itu yang gue omongin di chat, Sa. Anak baru itu,” kata Seno seolah bisa membaca tatapan Chaki.

Chaki membulatkan bibirnya, mengerti. Penasaran juga dengan si anak baru yang di elu-elukan Seno juga orang-orang disini secara tak langsung. Cowok yang dibicarakan itu sedang membenarkan letak stand mic sebelum akhirnya duduk dengan tenang memangku gitarnya, entah perasaannya saja atau memang Chaki familiar sekali dengan gitar itu. Cowok itu menunduk, memetik satu senar gitar dengan merdu yang bahkan bisa menghipnotis seisi ruangan ini meski hanya suara nafasnya yang terdengar dari microphone. Bahkan suara nafasnya saja enak di dengar.

Petikan gitar mengalun lembut sebagai intro sebelum cowok itu akhirnya mengangkat kepalanya dan menyanyikan bait pertama lagu —yang Chaki sangat familiar sekali, dengan khusyuk sambil menutup mata. Detik itu juga mata Chaki serasa ingin lompat dari tempatnya.

Disana, Chaki melihat dengan kedua mata kepalanya, Bima sedang bernyanyi bersama Pablo. Membawakan lagu yang biasa cowok itu jadikan sebagai lullaby Chaki sebelum tidur. Rasa terkejut mendominasi perasaannya.

Chaki langsung mengerti, seolah semua pertanyaan dalam benaknya tentang Bima telah terjawab. Chaki mampu menarik benang merah tentang apa yang dilakukan Bima selama ini. Pandangan Chaki lurus kearah panggung, menatap lekat dengan matanya yang berkaca-kaca. Bolehkah Chaki bilang bahwa dia benar-benar marah dan kecewa sekarang? Bolehkah Chaki?

Kedua bola mata kelam itu akhirnya bersibobrok dengan cokelat madu milik Bima. Chaki bisa lihat keterkejutan pada air wajah Bima dan petikannya pada Pablo yang terhenti sesaat. Bima mengalihkan pandangan kearah lain dan tersenyum dengan canggung sebelum kembali melanjutkan nyanyiannya sambil sesekali melirik kearah Chaki yang kini lebih berminat mengaduk-aduk gelas jusnya.


Chaki tak tahu kenapa harus semarah ini, megetahui hal yang ditutup-tutupi Bima selama berbulan-bulan mereka dekat sementara dia sudah terbuka meski belum pada segala hal, sangat menyakiti hatinya. Chaki pikir mereka sudah pada tahapan saling percaya, tapi ternyata hanya Chaki saja yang percaya Bima. Barangkali Bima belum cukup yakin untuk mempercayakan Chaki.

Kedekatan mereka selama ini ternyata belum cukup. Meski segala kesehariannya Bima selalu tau, kebiasaannya Bima sudah hafal dan hal yang disuka juga tidak suka Bima sudah mengerti. Pun sebaliknya, Chaki tau Bima tidak suka kopi, dia lebih memilih cokelat panas buatan Chaki daripada kopi hitam yang biasa Chaki minum untuk teman begadang. Chaki tau Bima suka melewatkan sarapan dan makan siangnya, hanya karena bersama Chaki saja Bima jadi rajin sarapan karena Chaki tak mau makan jika Bima tak makan. Chaki juga tahu Bima punya penyakit maag kronis, sebabnya dia tak minum kopi dan makan makanan kelewat pedas dan asam.

Mereka berbagi banyak hal. Berbagi kasur Bima yang sebenarnya single bed. Berbagi pelukan setiap salah satunya membutuhkan afeksi, lebih meningkat dibandingkan awal hanya berpelukan saat tidur. Berbagi cerita yang kebanyakan didominasi oleh cerita Chaki dan tawa Bima karena kegemasan. Chaki selalu suka usakan dikepalanya dan Bima tahu itu, maka Chaki akan mendapatkannya secara percuma dari Bima setiap mereka sedang bersama.

Chaki pikir dia sudah tau semuanya tentang Bima, kecuali tentang Bima yang suka keluar malam pada hari tertentu. Yang menyebabkan tidur Chaki tak pernah nyenyak karena menunggu nya sampai pagi. Pukul dua atau tiga Bima baru kembali, Chaki tau karena dia pura-pura tidur. Chaki tidak pernah benar-benar tidur, Chaki tau Bima selalu diam-diam memberi kecupan pada pipi atau keningnya sebelum cowok itu menyusul tidur diranjangnya. Dan Chaki tidak menyukai fakta bahwa ia harus kehilangan pelukan miliknya dan kecupan yang terasa sudah dingin itu karena Bima yang sering pulang larut.

Saat ini Chaki menyadari bahwa yang ia tahu hanya secuil dari bertumpuk-tumpuk rahasia Bima. Hanya setitik dari hamparan luas kisah hidup Bima. Singkatnya, Chaki tak tahu apapun tentang Bima selain dari hal-hal yang ditunjukkan cowok itu saat mereka bersama.

Guncangan pada tubuhnya menyadarkan Chaki dari larutnya pikiran tentang Bima. Meringis dan terkekeh sedikit saat Seno kembali menegurnya. “Bengong terus, ada yang kangen tuh,” Seno menunjuk kearah sampingnya dengan dagu dan Chaki melihat Wildan disana. Tersenyum hangat dengan gigi putihnya yang menyembul dibalik bibir.

“Esa astaga udah lama banget ya, gue kangen,” Wlidan memeluknya sebentar kemudian mengacak kecil rambut Chaki. Chaki cemberut, sedetik kemudian keterkejutan melandanya. Chaki baru tahu kalau cowok yang sejak tadi memenuhi kepalanya berada disebelah Wildan.

“Oh iya, kalian belum kenalan ya,” Kata Wildan, kemudian Wildan memperkenalkan cowok yang tentu sudah Chaki kenal dengan baik tanpa perlu perantara seperti ini, hanya saja Chaki cukup pura-pura tidak mengenalnya dan bertingkah senatural mungkin.

Chaki menerima uluran tangan yang hangatnya sudah Chaki hafal, yang besarnya sangat Chaki suka sambil menyebutkan nama masing-masing; “Bima,” “Esa.”

Chaki bisa lihat keterkejutan pada ekspresi Bima saat Chaki menyebut Esa, Chaki hanya bertingkah tak peduli kemudian duduk kembali dengan tenang di kursinya.

“Ini loh Sa yang gue ceritain kemarin di chat, anak baru itu. Cakep kan? Bagus banget lagi suaranya, lo denger sendiri tadi kan gimana pelanggan disini pada suka sama dia,” Chaki menganggukan kepala berpura-pura antusias pada ucapan Seno.

Wildan kemudian menimpali dengan berbagai macam cerita yang sekiranya mereka lewatkan. Bertanya tentang kemana saja Chaki sebulan belakangan ini serta mengeluarkan candaan-candaan yang membuat meja mereka makin ramai. Chaki berpura-pura tak tahu atau lebih tepatnya mencoba tak peduli pada sepasang mata yang menatapnya dengan lekat sejak awal tadi.

“Gue ke toilet dulu ya kakak-kakak, bentar doang,” Chaki berpamitan karena merasa bahwa jika berlama-lama disana kepalanya bisa saja bolong ditatapi Bima dari samping seperti itu.


Chaki sedang mencuci tangannya di westafel saat mendengar langkah kaki yang mendekatinya. Tak perlu mengangkat kepala atau menengok Chaki sudah tahu siapa orang yang kini berada semakin dekat dengan posisinya berdiri dan kini berdiri disamping nya. Chaki mengeringkan tangannya nampak tak peduli sebelum suara halus yang kalau Chaki tidak salah dengar sedikit bergetar menyapa indera pendengarannya.

“Esa?” Chaki terpaku sebentar, sebelum melanjutkan acara mengeringkan tangannya tanpa merespon apapun.

Chaki hendak berbalik dan menjauh keluar dari toilet sebelum tarikan tangan yang hangat memaksanya menatap kedua bola mata yang Chaki hindari sejak pertama lihat hadirnya disini.

“Kenapa kamu diem aja, Esa? Aku panggil kamu,” Chaki merasakan ada penekanan dari setiap kata yang Bima lontarkan padanya. Itu tidak baik, tapi Chaki tak peduli. Siapa Bima? Lagipula bukankah mereka tidak sebegitu dekatnya untuk menanyakan hal satu sama lain? Chaki tidak dianggap bukan?

“Lepas,” Chaki berusaha melepaskan cengkraman Bima dan berhasil, cowok itu tidak sampai hati untuk menyakiti Chaki dengan perlakuannya.

“Cha,” Ada keputusasaan pada suara teduh Bima. Chaki rindu panggilan ini sebesar Chaki rindu rumahnya dulu.

Nafas Bima yang menerpa wajahnya hangat, Chaki yakin tubuh cowok itu masih sama hangat seperti saat Chaki mengompresnya sore tadi. Matanya merah, tenaganya juga melemah. Chaki tau karena cengkraman Bima pada lengannya tadi tidak terasa apa-apa.

Chaki diam saja, mencoba mengabaikan fakta bahwa semarah apapun dia rasa khawatirnya tetap lebih besar.

Bima kemudian menuntunnya keluar dari toilet. Mengajak Chaki kearah jalan menuju pintu keluar darurat yang cukup sepi dan jauh dari keramaian.

“Mau ngapain sih?” protes Chaki dan melepaskan genggaman Bima dengan menyentaknya.

Bima kaget, tak menyangka bahwa Chaki-nya bisa sekasar ini.

“Jadi kamu sering kesini? Kamu kenal orang-orang itu dan sering minum disini? Kamu gak bilang sama aku, Cha?” Bima mencecarnya dengan berbagai ucapan yang mana seharusnya Chaki lah yang marah disini. Kesabarannya benar sudah pada ambang batasan.

“Bima marah? Bima kecewa karena Chaki gak cerita ke Bima soal Chaki sering ketempat ini?” Tanya Chaki, nadanya tinggi, ada rasa meletup-letup yang harus dikeluarkannya.

Bima diam, sadar kalau emosinya dikeluarkan pada waktu yang tidak tepat.

“Coba Bima ngaca Bim! Bima pikir gimana perasaan Chaki waktu liat Bima disini? Bima pikir Chaki gimana selama ini gak tau apapun tentang Bima dan masalah Bima? Chaki selama ini jadi orang bego yang gak tau apapun sedangkan Bima tau semuanya tentang Chaki, Bim!” Dada Chaki naik turun, nafasnya tersengal. Ini kali pertama Bima melihat Chaki-nya semarah ini. Padanya.

“Bima tuh anggap Chaki apa nggak sih, Bim? Bima anggap Chaki apa? Chaki setiap hari khawatir mikirin Bima, mikirin Bima yang gak pulang kalau gak larut malam. Mikirin Bima yang sering keluar tanpa Chaki tau Bima udah makan atau belum. Bima pikir Chaki gak tau kalau Bima bohong setiap Chaki tanya makan? Bima pikir Chaki gak tau kalau Bima cuma tidur dua jam setiap hari dan bagun pagi lagi buat sekolah? Bima pikir Chaki gak tau Bima suka meringis sakit tengah malam sendirian? Chaki tau Bim Chaki tau semuanya! Chaki gak tidur, Chaki tau, Chaki tau.” Tangis Chaki pecah ditengah segala luapan emosinya. Bima ikut menangis, merasa sakit yang sama karena kecewa pada dirinya sendiri sudah membuat Chaki seperti ini.

“Chaki setiap hari nunggu, nunggu Bima percaya Chaki, nunggu Bima mau cerita sama Chaki. Chaki juga pengen berguna, Chaki juga pengen ikut buang sedihnya Bima, Chaki juga pengen bantu Bima. Chaki pengen Bim, pengen jadi kotak sampahnya Bima. Gak cuma Bima doang!” Bima mendekat kearah Chaki, mencoba memeluknya agar cowok mungil kesayangannya itu tenang. Tapi Chaki berjalan mundur menjauh.

“Jangan dekatin Chaki! Bima diam aja, Chaki belum selesai.” katanya, “Chaki bener-bener kecewa Bim, bener-bener marah dan makin memuncak waktu Chaki liat Bima disini. Bima... Bima bener-bener gak pernah anggap Chaki. Chaki pikir kita dekat, Chaki pikir dengan Chaki berbagi semua Bima bisa sebaliknya. Chaki bahkan udah kepikiran buat ceritain tentang ini, tentang siapa Chaki yang lain, tentang Chaki yang pernah rajin datang ke bar karena sekarang Chaki udah gak pernah lagi. Tapi sikap Bima bikin Chaki mikir dua kali, bikin Chaki ragu kalau akhirnya Bima bener-bener tau semuanya, Bima gak akan pernah sama ke Chaki. Bima gak adil! Bima egois!” Chaki mengakhiri segala kemarahannya dengan menangis meraung sambil terduduk.

Bima juga menangis, bingung ingin mengatakan apa karena semua ucapan Chaki benar. Baru dia akan berjongkok untuk merengkuh Chaki dan dekapan dan menangkan cowok itu, keseimbangannya hilang. Detik itu, kegelapan menjemput dan Bima tau ini adalah batasannya. Batasan yang selama ini diabaikannya begitu saja.

Chaki menjerit terkejut karena Bima pingsan di depan matanya. Orang-orang mengerubungi dan Seno adalah orang pertama yang memanggil ambulance juga mendekapnya sepanjang jalan menuju rumah sakit.

si rindu


Hampir dua minggu ini hidup Calvin rasanya seperti orang gila. Bukan maksudnya gila dalam artian sesungguhnya, namun gila dalam artian yang lebih gila, ya begitu pokoknya. Calvin gila-gilaan menyelesaikan tugas-tugasnya pada masa on job training kali ini —yang mungkin adalah OJT terakhirnya, gila-gilaan mengurus berkas yang dikejar deadline dari kantor sampai harus overtime setiap hari, serta gila-gilaan mengejar hal-hal yang harus ia selesaikan sebelum ia tinggalkan.

Pun bagaimana tidak gila? Selain masalah pekerjaan, belum masalahnya dengan Acel kemarin rampung, Papa tiba-tiba menambah masalah baru dengan menyuruhnya pindah ke perusahaan milik keluarga dan menjadi manager disana untuk menggantikan abangnya. Dan itu lusa. Sungguh apa yang bisa lebih gila lagi dari ini? Rasa-rasanya kepala Calvin bisa meledak saat ini juga.

Namun dari semua masalah gilanya, yang paling membuat hidup Calvin nelangsa adalah Acel yang marah padanya. Ia tidak suka itu, sangat. Acel jadi mengabaikan semua pesan juga telfonnya. Dan perasaan diabaikan seperti itu hanya akan menciptakan rasa khawatir berlebihan pada Acel makin tumbuh, apalagi saat dia jauh sepeti ini. Calvin memang tipe yang protektif terhadap apa yang jadi miliknya. Meski kenyataan bahwa Acel adalah bukan dan sikapnya seperti inilah yang menjadi salah satu sebab Acel marah. Dia akui dia plinplan dan payah, tapi bagaimana ya, Calvin hanya ingin menjaga Acel, itu saja. Meski tidak ada embel apa-apa, tapi dia sudah melabeli Acel sebagai miliknya. Cukup seperti itu dan tidak perlu didebat kembali.

Calvin tak bisa melakukan banyak hal sekarang karena posisinya sedang berada jauh dari Acel. Di diamkan Acel sungguh membuatnya uring-uringan dalam melakukan apapun. Belum lagi rindu yang dengan kurang ajarnya merenggut semua pikiran rasionalnya. Calvin tersiksa, sangat nelangsa hati dan perasaannya kini. Sudah berhari-hari ini permintaan maaf nya melalui pesan singkat tak membuahkan hasil. Menyedihkan.


Jadwal pekerjaan yang menyita waktunya selama seminggu lebih ini akhirnya tuntas. Calvin sementara ini bisa bernafas lega karena ia akan pulang sekarang, meski kenyataan untuk memulai lagi awal yang baru semakin nampak di depan mata. Calvin merapihkan barang-barangnya, mengabsen kembali satu persatu sebelum koper besarnya ditutup dengan sedikit terburu-buru.

Calvin memasukan kopernya ke bagasi dengan cepat, berlari kearah kemudi dan melajukan mobilnya seperti kesetanan. Seharusnya Calvin pulang dengan akomodasi yang di sediakan oleh kantor dalam masa OJT ini, namun karena waktu pulangnya yang lebih lama, menyebabkan Calvin memutuskan untuk membawa kendaraan pribadi. Tujuannya hanya ingin mempercepat waktu kepulangan, itu saja.

Berkali-kali jam di pergelangan tangannya dilirik, yang mana menyebabkan laju mobil Calvin makin kencang membelah jalan. Sekarang pukul dua siang dan ia menargetkan untuk sampai ke kantor Acel sebelum jadwal Acel pulang. Ya, Calvin sengaja pulang buru-buru untuk bisa bertemu dengan Acel, mengabaikan lelah tubuhnya yang butuh untuk diistirahatkan setelah seminggu bergelut dengan pekerjaan.

Sayang, rencana tinggal rencana, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Untuk yang kesekian kalinya, Calvin terlambat lagi. Bukan lelahnya luruh karena bertemu Acel, yang ia dapat malah kenyataan kalau Acel sudah tidak nampak lagi di kantornya saat ia sampai disana setelah kejar-kejaran dengan waktu. Pemuda itu pulang entah dengan siapa hari ini. Apakah itu Jovan ataukah Sena? Calvin tidak tahu karena handphone-nya dalam keadaan mati hingga ia tak bisa menghubungi siapapun.

Belum memyerah, tanpa banyak membuang waktu, Calvin bergegas melajukan mobilnya kembali. Membelah jalan menuju kompleks apartemen Acel, memutuskan untuk menunggu disana. Calvin berharap barangkali saja usahanya tidak sia-sia. Barangkali saja ia dapat bertemu si mungil karena rindunya kini makin menggerogoti hati dan Calvin tak mampu membendungnya lagi.


Dewi fortuna berada di sisinya kali ini. Acel belum pulang ketika ia masuk dan memeriksa apartemen pemuda itu. Calvin tentu tau password apartemen si mungil, pun dengan Acel yang mengetahui password apartemennya. Bahkan password handphone juga mereka tahu satu sama lain. Mereka memang sudah pada tahap saling berbagi dan mengetahui, tapi tanpa ikatan yang jelas pasti.

Satu jam Calvin menunggu Acel di ruang tengah, tubuh bongsor nya yang lelah dibawa berbaring pada sofa. Mengabaikan fakta bahwa bajunya masih belum diganti dan tubuhnya sudah sangat lengket. Suara kode yang ditekan dan pintu terbuka terdengar bersamaan suara suara langkah pelan yang terdengar seketika terhenti. Mata Calvin terbuka, ia yakin itu Acel, dan pemuda itu menyadari kehadiran sepasang sepatu miliknya di pintu masuk.

Acel masuk dengan hati-hati sebelum ia melihat seonggok daging berbalut kemeja awut-awutan berusaha bangun dari tidurnya di sofa ruang tengah. Manik mereka bertemu, Acel kini melihat dengan jelas keadaan wajah —yang kalau boleh jujur sangat dirindunya ini, tak kalah berantakan. Cokelat terang bertemu hitam kelam. Acel yakin sekali melihat keputusasaan pada manik hitam kelam yang seminggu ini memenuhi pikirannya. Terselip rindu sama besar seperti miliknya saat tatapan mereka terkunci pada detik Acel berniat memakinya saat melihat sepatunya di dekat rak tadi.

Calvin diam di tempatnya, terhipnotis oleh tatapan si mungil yang hampir dua minggu ini tidak ia temui. Calvin tidak mengetahui bahwa selama hampir dua minggu tidak bertemu, Acel bisa makin menawan dan menggemaskan seperti ini. Rasanya ia ingin menangis sebelum akhirnya ia mendekati Acel dan menarik pemuda mungil itu kedalam pelukan. Acel tidak menolaknya, tak juga membalas peluknya. Pemuda itu hanya diam saat isakan lolos dari mulut Calvin, sesak dan senang yang membuncah sudah tak dapat ditahan lagi.

Calvin terisak kuat disana, hidungnya melesak makin dalam pada perpotongan leher Acel. Meraup wangi nya dengan rakus seolah melampiaskan segala rindu nya disana. Betapa hausnya dia akan wangi menenangkan pemuda di dekapannya ini, betapa menderitanya ia tanpa perhatian pemuda ini, betapa rasanya ingin mati ia tanpa kehadiran pemuda ini. Isakan Calvin mereda saat tangan pendek dengan jemari gempal mengelus punggungnya naik turun dengan lembut.

Acel membawa Calvin duduk kembali di sofa, sebelum melepas pelukan dan berjalan menuju kamarnya tanpa sepatah kata apapun. Calvin yakin sekali bahwa dirinya tak dimaafkan Acel kali ini. Dirinya sudah siap kalau Acel ingin mencaci makinya, namun yang ia lihat adalah adalah segelas teh hangat yang disodorkan dihadapan wajahnya.

“Minum dulu,” Akhirnya setelah sekian lama, suara Acel yang kian lama kian lembut Calvin rasa menyambangi telinganya kembali.

Senyum Calvin mengembang mencapai matanya, perasaan hangat menjalari hati dan perasaannya bersamaan dengan rasa bahagia saat meneguk teh buatan Acel. Acel duduk disampingnya, sedikit memberi jarak namun masih dekat dalam jangkauan. Calvin diam setelah mendengar helaan nafas panjang tak lama setelah ia meletakkan gelas kosong ke meja. Acel menunggunya bicara, tapi ia masih diam saja.

“Kalau kamu cuma mau diam, di apartemen kamu aja. Aku capek,” Acel baru akan berdiri sebelum Calvin menarik tangannya, membuat ia berbalik kearah pemuda jangkung itu.

“Maaf,” Hanya itu kalimat yang mampu keluar dari bibir Calvin seiring dengan kepalanya yang makin tertunduk.

Acel menghela nafas kembali sebelum melepas genggaman Calvin dan duduk di sebelahnya lagi. “Buat apa emangnya?”

Calvin diam, bingung ingin jawab apa karena sadar sekali banyak salahnya. “Buat bikin kamu gak marah lagi. Maaf aku udah bentak kamu, udah marah-marah gak jelas. Maaf udah ngatur-ngatur dan udah bikin kamu nangis,” keluar juga semua kata yang sebelum ini hampir ditelannya karena takut.

Acel memandang kearah Calvin, merasa sangsi dengan permintaan maaf yang nyatanya akan berulang kembali karena ini bukan kali pertama maupun kedua Calvin meminta maaf dengan alasan yang sama. Pun dengan mereka yang bertengkar karena hal yang sama juga, berulang seperti itu terus. Namun jauh dalam lubuk hatinya, meski Acel tak mengerti mengapa Calvin bersikap seperti ini, Acel sadar semua demi kebaikannya juga. Apalagi sikap Calvin memang menjadi-jadi setelah kejadian yang menimpanya dulu.

“Maksud kamu nangis itu apa? Biar aku maafin?” Calvin menggeleng, bibirnya masih menekuk kebawah. Sungguh Calvin mirip sekali dengan Tanie yang merajuk saat tak diberi makan saat ini.

“Aku cuma takut kamu marah,” kata Calvin, nadanya dibuat sesedih mungkin.

Acel tersenyum geli, benar-benar seperti Tanie versi manusia sekali Calvin ini. “Apa bedanya? Cengeng banget jadi cowok,” Calvin diam saja, wajahnya makin menekuk dan mengundang iba.

“Maaf, Cel,”

Acel berdeham menanggapi, Calvin mendongak secepat kilat kearahnya dan mengguncang lengannya pelan. “Dimaafin?” serunya senang.

“Iya,” Calvin tak bisa menyembunyikan rasa senangnya lagi karena kini si mungil kembali berada dalam dekapannya.


“Kangen banget aku sama kamu, Cel,” Calvin mengendusi scent Acel dalam-dalam pada tengkuknya, sementara si mungil yang duduk di pinggir ranjang sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil setelah selesai mandi dan berganti pakaian.

“Mandi sana ih, kamu bau keringat,” Acel mendorong pelan tubuh Calvin yang sejak Acel memaafkannya tadi tidak mau lepas dan terus menempelinya seperti lintah.

Calvin menjauhkan kepalanya kemudian merajuk, “Padahal masih kangen,” katanya sambil berjalan gontai menuju kamar mandi.

“Manja banget sih, disuruh mandi doang susah. Nanti kalo udah mandi boleh nempel-nempel lagi deh. Lagian kamu tuh baru pulang dinas bukannya bersih-bersih dulu kek malah kesini,” Omel Acel.

“Mandiin sekalian dong biar semangat aku nya,” Goda Calvin kemudian berlari dan terburu menutup pintu kamar mandi sebelum handuk basah Acel sempat mengenai wajahnya.

Wajah Acel kini bersemu saat Calvin yang sudah selesai mandi menagih janjinya. Bukan hanya menempeli bahkan kini pemuda jangkung itu sedang menopang dagu memandanginya kemudian mengecup pipi kanan, menjauhkan wajah dan memandanginya kemudian mengecup lagi pipi kiri, begitu seterusnya selama sepuluh menit berlangsung. Dan setiap detik pipi Acel bersemu setiap detik itu pula Calvin semakin menyukainya. Acel itu galak tapi mudah sekali di goda. Calvin jadi gemas sendiri.

“Udah ih basah pipi aku nya,” Tak tahan karena merasa wajahnya makin memanas Acel protes dan menutupi seluruh wajahnya. Calvin hanya tertawa dan kembali memeluknya dan Acel melingkarkan tangannya di pinggang Calvin. Hal itu sukses membuat si jangkung tersenyum lembut tanpa Acel lihat dan membuat perasaan Calvin berbunga-bunga.

Mereka berakhir berpelukan dengan wajah Acel yang tenggelam di dada Calvin. Tadinya, skenario dalam kepala Acel ketika kapanpun ia bertemu Calvin untuk pertama kali setelah lama tidak bertemu, adalah untuk tidak mudah memaafkannya, untuk tidak mudah luluh padanya. Kenyataannya, di detik pertama ia melihat Calvin berdiri di ruang tengah apartemennya dengan penampilan kacau balau, ia ingin sekali memeluk pemuda jangkung itu.

Mereka bertukar banyak cerita apa saja yang mereka lewatkan selama hampir dua minggu ini. Calvin mendengarkan cerita Acel dengan khidmat seperti anak baik. Gerakan tangan dan ekspresi wajah si mungil saat bercerita membuat Calvin tertawa dan mati-matian menahan gemas supaya tak melukai pipi Acel karena sudah dicubitinya sejak tadi.

“Aku kangen banget jalan sama kamu,”

“Aku masa pergi pulang ke kantor jadi repot gak ada kamu, bingung gitu kalo abang gocar langgangan bikin sebel gini,”

“Aku juga kangen sama Tanie. Aku mikirnya aku bakal musuhan dulu sama dia karena lagi musuhan sama kamu.”

Dan Calvin sukses dibuat tertawa terpingkal-pingkal karena keluh kesah Acel yang sangat lucu.

Setelahnya Acel menyuruh Calvin ikut menceritakan kisahnya yang sudah terlewatkan.

“Aku punya berita besar,” Calvin menceritakan semuanya, termasuk mandat Papa tentang menggantikan abangnya.

Acel menatap Calvin dengan mata sipitnya yang membulat lucu, binarnya terpancar jelas bahwa Acel turut senang ketika mendengar Calvinnya akan segera jadi manager. Manager di perusahaan dimana Acel bekerja lebih tepatnya. Yang mana berati bahwa Calvin akan segera menjadi atasannya.

“Bangga banget aku loh. Serius, kita harus rayain ini, Cal!” Acel kegirangan sendiri dan berulang kali mengatakan pada Calvin bahwa ia sangat bangga.

“Apaan, justru aku pusing karena ini, aku ngerasa belum siap, aku masih belum kompeten, aku—”

“Aku percaya kamu bisa,” potong Acel cepat, matanya memandang lurus pada manik kelam Calvin seolah memberi keyakinan dan rasa percaya disana. Calvin tersenyum, merasa cukup jika Acel saja percaya padanya. Merasa cukup atas segala dukungan yang diberikan si mungil. Berkali-kali ia mengucapkan terimakasih sambil mengecupi pipi gembil Acel.

“Pokoknya hari ini kita jalan-jalan dan makan sepuasnya buat ngerayain kamu yang jadi manager hari senin nanti! Leggo!”

Malam itu, Acel memaksa keluar untuk merayakan berita besar ini. Melupakan fakta bahwa ia yang sejak tadi mati-matian menyuruh Calvin beristirahat karena kelelahan. Mereka bersenang-senang sejenak, melupakan sebentar masalah yang mungkin akan datang di kemudian hari.

Siapa peduli? Yang penting, saat ini mereka bisa bersenang-senang. Menghabiskan waktu berdua, berbagi tawa satu sama lain, dengan rengkuhan yang makin mengerat serta tautan jemari yang tak terlepas. Tanpa memusingkan perihal kejelasan, memikirkan pasal hubungan, mengabaikan kenyataan.

diam


Sore itu, Calvin yang baru saja sampai di apartemennya belum genap tiga puluh menit berlari dengan tergesa keluar dari apartemennya menuju basement, di mana mobilnya berada. Melihat Acel yang pergi keluar tanpa izin padanya membuat emosinya meletup-letup tidak karuan, sampai-sampai ia meremas kemudi mobilnya tanpa sadar hingga buku-buku jarinya memutih. Jika ada yang bertanya kenapa bisa ia seperti itu hanya karena Acel pergi tanpa izinnya, ia pun tidak tahu. Calvin hanya takut dengan kemungkinan-kemungkinan buruk seperti ada orang yang ingin menjahati Acel dan sebagainya. Dia hanya ingin melindungi Omega yang sudah empat tahun ini bersamanya, meski hanya dengan embel-embel sahabat.

Mobil Calvin melaju dengan cepat, mengejar waktu agar cepat sampai ke taman yang disebutkan Acel tadi di telfon dan dengan segera menemui Acel-nya. Tepat ketika mobilnya terparkir, Calvin keluar terburu-buru dan langsung mencari pemuda yang sejak tadi memenuhi ruang kepalanya sampai rasanya ingin pecah. Pikiran dan hatinya kalut, ada rasa meletup-letup yang ingin dikeluarkannya hanya karena masalah ini.

“Acel!” Calvin sengaja berteriak, mencoba menarik perhatian Acel yang sampai saat ini belum terlihat olehnya.

“Acel!”

Calvin berjalan tergesa mencari Acel, sampai langkahnya melambat begitu melihat laki-laki yang ia cari tengah duduk memandangi sungai di depannya dengan tenang, tanpa suara, tanpa gerakan apapun, hanya memandang kosong sungai dengan langit sore menghiasi atapnya.

“Kamu disini,” Kata Calvin sedikit menurunkan suaranya karena sudah menemukan pemuda yang dicarinya sejak tadi, sudah melihat pemuda yang membuat hatinya gelisah. Dia mendekat kearah pemuda mungil yang masih bergeming meski Calvin yakin bahwa Acel sadar akan keberadaannya saat ini.

“Aku panggilin kamu daritadi Cel, bukannya nyahut,” Calvin berdiri menjulang di depan Acel yang justru malah berdiri dan meninggalkan Calvin ditempatnya. Hal itu berhasil membuat pemuda jangkung itu terpancing lagi emosinya.

“Acel!”

Calvin menarik lengan Acel sampai tubuh ramping pemuda itu menghadap ke arahnya.

“Aku ngomong sama kamu,” Nada Calvin kembali tinggi.

Acel hanya menatap kesal Calvin, manik matanya yang jernih mengunci tatap pada sepasang bola mata kelam yang kini menyala marah. Acel tetap menatap mata itu, menantangnya tanpa gemetar. Calvin tahu bahwa Acel juga marah padanya, namun tangan besar Calvin di lengan Acel tidak mengendur juga, cara menuntut Acel untuk menjawabnya.

“Aku gak mau ngomong sama kamu,” Jawab Acel lugas. Mata sipitnya kembali menatap tajam, bibirnya mencebik kecil. Ya, Acel benar marah padanya. Kalau situasinya tidak seperti ini barangkali Calvin sudah membawa si mungil ke dalam dekapnya karena demi apapun dia rindu Acel seharian ini meski saat bersama Vidya. Namun Calvin sadar bahwa situasi ini sangat tidak memungkinkan.

“Cel jangan kaya anak kecil gini lah,” Suara Calvin melunak, tatapan Acel dan cebikan di bibirnya membuat Calvin kalah. Acel adalah tipe orang yang selalu menggemaskan meski dalam suasana hati apapun.

“Aku mau pulang,” Katanya final. Acel si keras kepala. Lalu Calvin bisa apa lagi?

Calvin menghela nafasnya, mencoba menahan segala gejolak yang sesungguhnya masih meletup-letup di dadanya. Ia melepaskan lengan Acel dan keduanya berjalan menuju mobil Calvin tanpa sepatah kata. Calvin baru mau membukakan pintu mobilnya untuk Acel, namun tangan kecil Acel jauh lebih dulu membukanya, ia langsung masuk dan menutup pintu mobil dengan keras sampai membuat Calvin terlonjak.

Sepanjang perjalanan, Acel diam. Tak menanggapi semua ucapan Calvin sama sekali. Calvin berulangkali bertanya padanya, menawarkan makan dan ini itu, tapi Acel masih bergeming, memilih untuk memandang keluar jendela daripada menatap Calvin pun mengindahkan seluruh ucapan pemuda jangkung itu. Lagi-lagi Calvin memilih mengalah. Memang ini salahnya juga.

Mobil Calvin berhenti di depan bangunan apartemen Acel. Biasanya sebelum turun dari mobil Acel akan memberinya salam perpisahan pada pipi kiri. Namun jangankan salam perpisahan, bahkan belum sempat ia mengatakan apapun, Acel sudah keluar dari mobilnya dengan membanting pintu mobil dan berlari masuk meninggalkan Calvin sendirian di mobilnya yang kini sibuk membenturkan kepalanya pada kemudi mobil.

Meninggalkan Calvin dengan kehampaan pada pipi kirinya.

Meninggalkan Calvin dengan dinginnya atmosfer di dalam mobil yang biasanya dipenuhi oleh ocehan dan tawa si mungil.

Meninggalkan Calvin dengan rasa bersalahnya karena sudah membentak pemuda itu dan menarik lengannya dengan kasar.

Calvin lupa bahwa Acel tidak suka dikasari,

Lupa bahwa Acel sangat perasa dan pemikir keras,

Lupa bahwa ini bukan sepenuhnya salah Acel.

Dan Calvin menyesalinya.

Marcel


Acel mengeringkan wajahnya dengan tisu wajah secara perlahan, tubuhnya sudah lebih rileks setelah berendam dengan air panas dan bath bomb favorite nya. Dia membuka seluruh jendela di apartemennya, berharap scent miliknya dan Calvin yang semula masih tercium sangat kental dan tercampur menjadi satu bisa berkurang sebelum kedua temannya sampai di apartmennya.

Suara bel yang berkali-kali ditekan membuat senyum Acel merekah di bibir pemuda berpipi gembil itu.

“Kebiasaan deh,” suara bel masih terus ditekan dengan tidak sabaran, sampai Acel membuka pintu dan menemukan Jovan juga Sena yang berdiri di depan pintu dengan plastik berisi makanan ringan dan sebuah plastik berisi 3 kotak pizza.

“Banyak banget!” Acel memekik saat barang bawaan teman-temannya itu disodorkan main-main kehadapan wajahnya, “emang lo berdua bisa abisin ini apa?” Acel membuka pintu lebih lebar dan membiarkan kedua temannya masuk ke dalam apartemennya.

“Kita punya omega kelaparan, pasti abislah,” Jovan menyahut, setelahnya ia mengaduh kesakitan ketika Acel memukul lengannya dengan kencang.

“Nih dibawain es krim, makan dulu tapi ya,” Sena memasukkan es krim yang ia bawa ke dalam freezer sementara Acel mendecak kesal mendengarnya.

“Es krim dulu,”

“Makan dulu,”

“Es krim!”

“Makan dulu,” Jovan memasukkan satu potong pizza ke mulut Acel yang membuat Acel berteriak kesal sedangkan dua Alpha itu tertawa.

“Jovan ih!!”


Jovan dan Sena menghabiskan waktu seharian penuh di apartemen Acel, keduanya berusaha menghibur Acel hingga tidak lagi tercium kesedihan dan rasa kecewa dalam scent si Omega seperti siang tadi ketika kedua Alpha itu datang. Acel masih bersandar pada Jovan dengan keadaan mereka yang masih menonton drama korea yang tak kunjung selesai mereka tonton sejak lama.

Feel better, Cel?” Sena akhirnya bersuara setelah ia menimbang-nimbang untuk bertanya atau tidak sejak mereka datang kesini siang tadi.

Acel mengangguk kecil dan terseyum tulus, “Makasih Sena, makasih Jovan,” tangan kecil Acel melingkari tubuh Jovan untuk memberi pelukan, setelahnya berganti memeluk Sena lalu kembali mencari posisi nyamannya bersandar di tubuh Jovan.

Pagi ini Omega Acel merasa sangat sedih, marah, kecewa dan kacau. Ditinggal pergi begitu saja setelah melakukan aktivitas seksual hampir seminggu lamanya membuat Omega Acel merasa buruk, amat buruk. Merasa tidak berguna dan tidak diinginkan. Acel mencoba untuk mengontrol Omeganya, menenangkan dengan cara apapun yang ia bisa dan kedatangan kedua teman Alphanya membawa banyak pengaruh baik untuk perasaan Omeganya. Omeganya merasa dihargai, dilindungi dan diinginkan oleh kedua teman Acel ini. Seperti sebagaimana mestinya Omega diperlakukan.

Meski pada kenyataannya bukan baru sekali ini Acel ditinggal pergi setelah heat nya berakhir, bukan sekali ini saja Acel merasa dibuang. Bahkan seringnya setelah menemani rut Calvin pun, Acel selalu membuka mata dengan kehampaan, selalu hanya ranjang kosong dan dingin yang menyapanya pertama kali saat keasadaran menjemput. Acel yang membuka mata dengan tubuh sangat lelah dan perasaan hancur berantakan adalah hal yang biasa dan Acel tidak tau bagaimana lagi cara untuk mengubahnya. Semua ini sudah berlangsung selama satu tahun lamanya, sejak dirinya dan Calvin secara sadar dan tidak sadar seolah memiliki kewajiban untuk saling membantu ketika masing-masing dari mereka mengalami masa heat ataupun rut.

Saat itu Acel tidak pernah berpikiran jauh bahwa hubungannya dan Calvin justru akan lebih rumit dan sulit berakhir jika mereka terus seperti ini, berbagi heat dan rut mereka satu sama lain. Acel tidak berpikir sejauh itu karena pada dasarnya kemampuannya untuk berpikir sudah dikalahkan telak oleh perasaannya sendiri. Karena sejauh apapun pikirannya memberitahu tetap hatinya yang menguasai. Dan Acel membencinya.

Jika ditanya apakah Acel tidak berkeinginan untuk mengubah situasinya? Apakah Acel tidak ingin memperjelas hubungannya dengan Calvin?

Tentu jawabannya Acel ingin, sangat sangat ingin sampai rasanya ia bisa menyuarakan hal itu dengan lantang dan tanpa keraguan. Tapi bagaimana?

Bahkan Acel tidak pernah mendapat jawaban dari apa yang perasaannya inginkan sejak ia menyatakannya dulu pada pemuda dengan senyum konyol yang selalu memenuhi otaknya setiap hari itu. Calvin, dia tidak pernah menjawab atau merespon barang sepatah dua patah kata dari pangakuan Acel tentang perasaannya saat mereka masih di bangku kuliah. Sejak itu Acel selalu bertanya pada dirinya sendiri, apakah Calvin menolaknya? Apakah dia seburuk itu? Apakah dirinya memang tak pantas bersama Calvin?

Pikiran-pikiran tentang harus tahu diri dan harus menjauhi Calvin secara perlahan agar sakit hatinya tak berkepanjangan selalu terputar dalam otaknya seperti kaset rusak. Sudah sangat jelas bahwa diam nya Calvin bermakna tidak secara mutlak. Acel tahu betul tentang itu dan bertekad untuk menuruti pikiran rasional kali ini ketimbang mengikuti hatinya, yang sangat payah dan lemah.

Tapi semakin kuat keinginan Acel untuk pergi maka hal itu berbanding lurus dengan semakin kuatnya Calvin menahan, memerangkap dan memenjarakannya tanpa jalan keluar yang pasti. Terlalu banyak lorong panjang yang harus ia lewati, banyak persimpangan yang harus Acel lalui tanpa tahu kemana arahnya, dimana ujungnya? Dimana jalan keluarnya?

Maka semakin Acel berusaha semakin kuat rantai yang Calvin ikat padanya, menyakiti tubuhnya yang kian hari kian terperangkap oleh perasaan bahagia semu, perasaan memiliki tapi menggerogoti utuhnya hati.

Calvin yang berubah menjadi semakin posesif dengan dirinya. Calvin selalu marah jika Acel pergi dengan Alpha lain selain ketiga temannya. Calvin yang selalu bertanya dari pangkal sampai ujung setiap kali Acel pergi tanpa pemuda itu. Calvin yang selalu melarangnya berhubungan dengan Alpha lain selain pemuda itu. Adalah Calvin yang memenjaranya, adalah Calvin yang tak pernah memberinya pilihan.

Pikiran Acel berkelit pada mengapa yang tidak ada habisnya, sementara keterdiaman Calvin atas pengakuannya bahkan sudah menggambarkan segalanya. Apa yang sebenarnya Calvin inginkan darinya? Apa yang pemuda itu coba lakukan? Dan pertanyaan yang paling membuatnya setengah gila karena terlalu keras berpikir adalah mengapa ia membiarkan Calvin mengaturnya? Melakukan semua hal itu padanya?

Dan jauh dalam hatinya, di sudut terdalam yang masih ia jaga. Acel mengakui, dengan yakin bahwa dirinya masih menyukai Calvin, hatinya menginginkan pemuda itu bersamanya, disisinya. Keinginan itu sangat besar, kian berkembang seiring waktu berjalan hingga detik ini. Sekuat dirinya ingin melepaskan diri sekuat itu juga perasaannya bertahan dan terus bertumbuh.

Acel mengingat dengan baik bagaimana mulanya ia jatuh hati pada Calvin. Waktu itu mereka baru menginjak semester kedua di bangku kuliah, Acel mengakui pada dirinya sendiri kalau ia menyukai Calvin lebih dari seorang sahabat pada sahabatnya.

Mereka bertemu saat ospek jurusan dulu, Calvin yang terus memandangi Acel dari kursinya dengan tatapan teduh yang hingga kini Acel sangat sukai, sampai akhirnya pemuda jangkung itu mengajak Acel berkenalan lalu mereka mulai berteman.

Calvin adalah orang yang baik, sangat baik meskipun saat pertama lihat Acel merasa terintimidasi dengan tatapannya. Tetapi nyatanya Calvin adalah pribadi yang sangat hangat, ramah dan menyenangkan. Mereka berada di kelas yang sama dalam beberapa mata kuliah yang diambil keduanya. Mereka juga merupakan mahasiswa yang begitu aktif berorganisasi hingga selalu bertemu dalam kegiatan yang sama pada banyak kesempatan.

Acel mengingat bagaimana Calvin yang terlalu protektif pada dirinya, selalu mengingatkan Acel untuk makan tepat waktu, untuk pulang tidak terlalu larut dan hal kecil namun manis lainnya.

Bagaimana bisa Acel tidak jatuh hati terlalu dalam pada pemuda itu?

Ini adalah tahun keempat dan perasaan Acel masih sama seperti ribuan hari lainnya. Ia masih menyukai Calvin sebesar hatinya mengizinkannya dengan sukarela. Ia masih sangat menyukai Calvin sampai membiarkan pemuda itu melakukan apapun yang ia mau. Meski tidak di segala hal, tapi Calvin seolah ambil peran paling banyak diantara tokoh lain dalam kesehariannya. Misalnya kalau sekarang ini seperti pulang dari kantor ke apartemennya, atau tentang dia yang tidak boleh dekat dengan alpha lain selain pemuda itu dan ketiga teman dekat Acel lainnya. Ya, seperti itu. Hanya seperti itu contoh kecil peran yang Calvin ambil.

Perasaan Acel masih sebesar dulu, sebesar waktu yang berperan membuatnya berkembang. Sampai-sampai dia mungkin tidak sadar bahwa hubungannya dengan Calvin adalah hubungan yang tidak biasa. Tidak sehat. Hubungan toxic yang hanya akan menyakiti mereka berdua kelak.


EARTH TO MARCEL!

Acel mengedip-ngedipkan kedua matanya, menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya.

“Bengongin apa sih lo?” Sena menyodorkan lagi satu potong pizza kehadapan Acel, yang diterima dengan senang hati oleh pemuda yang kini sibuk terkekeh canggung.

“Gak ada kok, hehe”, jawabnya sambil mengunyah pizza ditangannya, “Badan gue ini sakit banget ih.” keluhnya kemudian.

“Ya iyalah, lo tuh selalu kaya orang abis disiksa tau gak setiap kali abis mantap-mantap sama Calvin,” Jovan tersenyum menggoda yang mana membuat Acel mendadak malu ditempatnya.

“Minta dia sesekali lebih gentle waktu ngelakuin itu, Cel. Pelan-pelan aja gak usah kasar gitu, kasian badan Adek Acel kan,” Sena menambahkan. Jovan tertawa sambil sesekali menggigit pizza yang dipegang Acel dengan lahapan besar.

“Diem gak?! Gak usah ngomongin ginian ya, males!” Acel menutupi wajahnya yang sudah sangat memerah dengan telapak mungilnya. Dua alpha di ruangan itu tertawa terbahak dan terus menggoda Acel sampai mereka tertawa terpingkal karena rona merah itu benar-benar memenuhi seluruh sisi wajah Acel sampai ke daun telinga.

explanation


Omegaverse

Omegaverse basically is an alternate universe where males can get pregnant. Omegaverse merujuk pada cerita dimana seorang laki-laki bisa mengandung (male pregnant/mpreg).

Dalam dunia omegaverse, seluruh manusia dijelaskan sebagai makhluk yang terlahir dengan hierarki kedudukan atau dalam masyarakat umum biasa disebut kasta. Hierarki ini juga biasanya disebut domincance hierarcy.

Domincance hierarcy biasanya lebih merujuk status karakter di strata sosialnya dan biasanya berhubungan dengan peran mereka dalam perkembang-biakan atau mencari pasangan. Atau dalam banyak keadaan modern sekarang ini pemberian tingkatan berdasarkan dari test gender kedua yang dimiliki seseorang.

Urutan hierarki ini yaitu, Alpha, Beta, Omega. Sehingga tak jarang omegaverse ini juga biasa disebut A/B/O kepanjangan dari Alpha, Beta, Omega.

Pada umumnya cerita omegaverse lebih fokus pada dominant, submissive, possesive karakter, menekankan dalam proses bonding antara Alpha dan Omega. Di dalam dunia omegaverse juga digunakan istilah soulmate atau mate, heat, rut, pheromone, scenting, marking, knot, dsb.

Alpha Secara umum alpha bersifat dominant, bisa seorang laki-laki dominant ataupun perempuan dominant. Seorang Alpha mempunyai kedudukan paling tinggi, biasanya dalam strata sosial seorang alpha adalah pemimpin atau memiliki jabatan yang vital dalam bidangnya

Alpha biasanya mengalami rut.

Beta Beta merupakan jenis yang paling banyak ditemui dalam strata sosial masyarakat. Beta kasarnya merupakan bawahan dari Alpha. Kebanyakan beta hidup seperti manusia biasa. Seorang Beta tidak dapat menghamili seorang Omega.

Omega Dalam hirearki, omega berada pada paling bawah. Omega bisa seorang perempuan ataupun laki-laki submissive. Biasanya omega memiliki sifat dan peran seperti seorang wanita.

Sama seperti omega perempuan, seorang laki-laki omega mempunyai kemampuan untuk hamil. Omega juga mengalami keadaan heat dimana ia akan kehilangan kendali atas dirinya dan lebih mengandalkan naluri nafsunya.

Dalam cerita seorang omega selalu digambarkan sebagai makhluk terlemah karena mereka tidak bisa melewati masa heatnya seorang diri.

Seorang omega akan mengkonsumsi obat untuk meredakan masa heatnya jika ia masih belum siap menghabiskan masa heat bersama seorang alpha. Biasanya saat menjelang heat, aroma atau pheromon yang dihasilkan oleh omega akan terasa lebih kuat dan lebih manis. Aroma heat omega memang bertujuan untuk menarik perhatian alpha.

Biasanya seorang alpha akan memberikan tanda pada omega yang mereka anggap sebagai mate. Tanda tersebut berupa gigitan di daerah tengkuk leher sang omega.

Setelah diberikannya tanda tersebut omega hanya akan merespon dan menginginkan tubuh matenya ketika tiba masa heat.

Berikut pengertian detail dari sedikit penjelasan diatas :

Pheromone Pheromone merupakan sejenis aroma wangi tubuh yang berfungsi merangsang dan memikat pada lawan jenis. Untuk seorang alpha juga bisa untuk menandai wilayah teritorialnya atau menggertak lawan.

Pheromone bisa berubah aromanya mengikuti kondisi dan situasi hati. Biasanya pheromone akan berubah aroma saat manusia tersebut merasa gugup, bahagia, sedih, marah atau merasa sedang terancam.

Heat Heat merupakan masa dimana para omega siap untuk dibuahi atau lebih tepatnya masa kawin diantara mereka. Biasanya nafsu dan gairah omega akan bertambah saat heat. Masa ini dijalani kurang lebih satu minggu.

Rut Rut penjelasannya sama seperti heat, bedanya rut adalah masa subur untuk seorang alpha.

Knot Knot adalah semacam alat kelamin atau alat vital yang dimiliki khusus untuk alpha. Fungsi nya sama seperti penis manusia, namun knot menghasilkan lebih banyak sperma.

Mating Proses kawin dimana sang alpha menandai omeganya dan menjadikannya mate.

Mate Pasangan resmi. Biasanya ketika sang alpha atau beta menjadikan seorang omega mate, aroma pheromonnya akan berubah menjadi aroma alpha atau betanya.

Scenting Menandai omega. Umumnya terjadi jika seorang alpha tertarik kepada omega maka alpha tersebut akan menandai omega dengan aroma alphanya agar tidak ada yang mendekati sang omega.

Begitu kurang lebih beberapa penjelasan singkat mengenai abo, jika ada kekurangan akan ditambahkan kembali.

susu pisang


Kantin FISIPOL itu luas, cukup bersih dengan meja dan lantai yang jarang berserakan tissue atau botol minum seperti kantin fakultas lain. Makanannya juga enak meski pilihannya tak banyak, dengan harga yang masih bisa dijangkau kantong anak kuliahan seperti Jeongguk. Hanya saja ada satu kekurangan yang cukup fatal kalau Jeongguk bisa bilang. Tidak ada susu pisang. Seluruh nilai plus kantin fakultasnya menjadi tidak berharga bagi Jeongguk tanpa hadirnya susu pisang disana.

Itu sebabnya Jeongguk lebih memilih menjadi pelanggan setia kantin fakultas sebelah —Fakultas Ekonomi, daripada kantin fakultasnya sendiri. Apalagi alasannya kalau bukan karena disana susu pisang selalu tersedia. Tapi, tetap saja harus berebut dengan mahasiswa lain, karena entah kenapa susu pisang itu sangat laris.

Kantin Ekonomi tidak kalah luas, lebih luas malah kalau boleh dibilang. Tempatnya sangat strategis dan lebih tertata dengan rapi. Makanannya lebih enak dan juga bervariatif. Minus nya hanya pada harga makanan yang lebih mahal. Ya benar sih, ada harga ada rasa.

Selain itu juga karena teman-temannya yang selalu mengajak Jeongguk untuk menyegarkan mata dari pelik dan sesaknya materi kuliah. Omong-omong fakultas sebelah memang punya stok mahasiswa pencuci mata seperti yang dibilang teman-temannya. Bening-bening mirip kaca sih.

Sampai akhirnya Jeongguk menemukan satu. Mahasiswa fakultas sebelah yang mampu menarik atensi nya sejak awal pertemuan mereka, meski sampai detik ini Jeongguk tidak tau siapa gerangan nama pemuda itu. Miris sekali.

Hari itu Jeongguk melihatnya, berada dalam antrian memperebutkan susu pisang bersamanya dan puluhan mahasiswa lain. Pemuda mungil itu berdiri disampingnya, sedang kepayahan menahan desakan dari depan dan belakang. Tubuh ramping itu terdorong kesana kemari hingga akhirnya menabrak tubuh bongsor Jeongguk. Beruntung Jeongguk langsung menahan dengan cara memeluknya dari samping.

Jeongguk dapat melihat dengan jelas rona kemerahan dari kedua pipi pemuda yang tingginya tidak mencapai bahu Jeongguk itu. Dia punya mata sipit yang kini mengerjap lucu, punya bibir berisi yang kini sedikit terbuka karena kaget, punya pipi yang mengembang tapi malah membuatnya jadi gemas bukan kepalang, punya bulu mata yang lentik panjang dan juga punya hidung minimalis yang nampak manis.

Jeongguk terpaku pada paras elok itu sampai tubuhnya sendiri kaku dan matanya tak berkedip. Pemuda dalam pelukan Jeongguk berdeham dan menjauh dari pelukan Jeongguk dengan kikuk. Dia berkali-kali meminta maaf karena sudah menabrak tubuh Jeongguk dengan ekspresi yang sangat lucu, mirip sekali dengan Boni, kucingnya dirumah.

Hari itu, untuk pertama kalinya Jeongguk punya alasan lain untuk selalu makan di kantin Ekonomi selain karena susu pisang dan ajakan teman-temannya.

Jeongguk sangat ingin berkenalan sejak hari itu, tapi selalu tidak bertemu waktunya. Entah karena jam mereka yang berbeda, atau karena pemuda itu yang selalu tenggelam dalam kerumunan antrian dan mendadak hilang.

Pernah juga waktu itu karena sudah seminggu tidak melihat si pemuda manis di kantin Jeongguk jadi gelisah seharian, memikirkan tentang kemungkinan yang ada;

Apa dia sakit?

Apa dia bosan antri?

Yang paling ngawur, apa dia sudah menyerah menyukai susu pisang?

Dan kemungkinan lainnya.

Siapa yang tau keberuntungan macam apa yang Jeongguk dapat. Hari ini Jeongguk melihat pemuda manis yang nampak berkali lebih manis memakai kemeja biru langit kebesaran sedang berjalan kearah kantin. Jadi Jeongguk tidak berpikir dua kali untuk memanfaatkan kesempatan emas ini.

Jeongguk tersenyum kecil, menepuk dadanya seolah meyakinkan tindakan yang akan ia lakukan ini. Jeongguk yang seakan sudah tau bahwa pemuda itu akan ikut antrian berjalan mendekatinya perlahan, sebelum pemuda berkemeja biru langit itu sampai ke kerumunan.

“Susu pisangnya udah abis,” kata Jeongguk saat pemuda itu kini berada tak jauh darinya.

Langkah pemuda itu terhenti mendadak, menengok kearah Jeongguk dengan alisnya yang tertaut, lalu wajahnya nampak terkejut. Jeongguk yakin pemuda itu mengingatnya.

Belum sempat pemuda itu menyahuti, Jeongguk sudah menyodorkan dua botol susu pisang miliknya,

“Gue beli tiga, kebanyakan. Ambil aja dua nya,” kata Jeongguk, suaranya begitu tenang, berbeda dengan hatinya yang sedang bertabuh seperti genderang.

“Eh?” Mata pemuda itu membulat lucu membuat Jeongguk tanpa sadar terkekeh kecil.

Pemuda itu mematai Jeongguk yang masih terkekeh, barangkali bingung siapa gerangan cowok jangkung yang tanpa tedeng aling-aling memberinya dua botol susu pisang.

“Gak mau?” tanya Jeongguk, tangannya yang menggenggam susu pisang ditarik kembali.

“E-eh mau mau,”

Jeongguk tertawa lalu memberikan susu pisangnya pada pemuda itu.

Untuk catatan : Jeongguk tidak suka berbagi, terutama untuk hal yang sangat disukainya.

“M-makasih,” ucap pemuda itu malu-malu, “Gue gantinya berapa?”

Jeongguk menyeringai kecil, ini dia.

“Kalau gantinya pakai nama lo aja gimana?” alisnya naik sebelah, membuat pemuda di depannya meremat dua botol susu pisang dalam genggamannya.

“Atau kalau gak pakai nomor—”

“Jimin,” cicit pemuda itu, sangat pelan.

“Sori?” tanya Jeongguk, telinganya agak bermasalah kalau sedang ramai begini.

“Nama gue, Jimin,”

Tanpa Jeongguk sadari bibirnya sudah tersenyum sangat lebar sampai pemuda di depannya —Jimin, heran.

Jeongguk berdeham saat Jimin bilang terimakasih untuk kedua kalinya dan pamit untuk pergi.

“Omong-omong Jimin,”

“Ya?” Jimin menengok kembali kearah Jeongguk sebelum sempat melangkah jauh.

“Susu pisangnya ada dua. Satu udah dibayar pakai nama, jadi sisa satu lagi—” Jeongguk sengaja menggantung kalimatnya membuat wajah manis Jimin nampak cemas menebak-nebak.

“Pakai apa?”

“Pilih, pakai nomor telfon lo atau pakai pulang hari ini bareng gue?”

Jimin terkejut, sejurus kemudian tawanya pecah. Tawa Jimin renyah sekali, begitu merdu dan ringan di telinga Jeongguk. Rasa-rasanya Jeongguk ingin mendengar tawa ini setiap hari. Saat membuka mata di pagi hari dan sebelum menutup mata di malam hari.

Untuk sesaat Jeongguk pikir susu pisang tidak bisa lebih manis dari senyum malu-malu Jimin saat pemuda itu memilih untuk pulang bersamanya.

Jeongguk mulai belajar tentang berbagi sore itu.

Berbagi hal yang paling dia suka; susu pisang,

Berbagi jok motor kesayangannya; Si Beben,

Berbagi tawanya; yang sangat langka,

Pada seseorang yang sangat manis,

Pada seseorang yang tawanya menular,

Pada sesorang yang membuat Jeongguk punya alasan kuat untuk makan di kantin fakultas sebelah lebih dari sekadar susu pisang.

jatuh


Jimin itu ceroboh. Seantero Fakultas Hukum sudah tau tentang hal itu. Mereka bahkan terbiasa jika tiba-tiba melihat Jimin berlarian dari ujung koridor gedung satu menuju gedung lainnya hanya untuk mengambil barangnya yang tertinggal di kelas sebelumnya.

Atau melihat Jimin yang dengan gigih merayu dosen menggunakan macam-macam alasan saat ia terlambat masuk kelas—untung Jimin itu pintar dan anak kesayangan. Yang paling sering, melihat Jimin yang terjatuh dengan telapak tangan dan lutut yang menghantam lantai terlebih dahulu—yang bahkan sudah tidak bisa dihitung dengan jari, seperti jatuh sudah menjadi hobinya. Hampir setiap hari.

Jimin bisa jatuh dengan berbagai macam sebab, pada berbagai macam kegiatan dan juga berbagai macam waktu.

Jimin pernah jatuh pada suatu waktu dirinya bermain handphone saat berjalan dan tak melihat jika ada lantai yang tingginya tidak sama rata dengan yang di pijaknya, menyebabkan kakinya terpeleset dan lututnya menghantam tanah dengan darah dan pasir yang menempel.

Pernah juga Jimin terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya akibat tertawa. Faktor lainnya karena dia tidak bisa melihat saat sedang tertawa, matanya akan menghilang ditelan lengkungan seelok bulan sabit saat tawanya terbit.

Sejujurnya Jimin sangat membenci kebiasaan jatuhnya, sangat memalukan dan menyakitkan. Tapi kecerobohannya itu tak dapat dihindari dan diubah dengan mudah.

Lain Jimin lain pula dengan Jeongguk. Kalau Jimin membencinya, Jeongguk malah menyukai setiap kali teman sekelas dan satu kos nya itu terjatuh. Bukan berarti dia menyukai kesengsaraan Jimin. Tapi karena jatuh membuatnya selalu menjadi kotak obat dan tameng berjalan Jimin tanpa disadari.

Jeongguk adalah orang yang selalu disana ketika lutut Jimin terluka karena terjatuh ditangga. Menempelkan plaster bergambar yang selalu tersedia dalam tasnya, memang disiapkan untuk kebutuhan Jimin.

Jeongguk adalah orang pertama yang selalu memeluk pinggang nya saat Jimin tetawa renyah sampai matanya menghilang tertelan sabitnya. Menopang tubuh mungil yang akan bersandar di dadanya, merapatkan tubuh padanya seolah ia tak mampu berdiri tanpa sokongan darinya.

Jeongguk adalah orang yang akan mengusap air mata Jimin saat ada seseorang yang memarahinya karena kecerobohannya.

Orang yang selalu menemani hukuman Jimin jika terlambat masuk kelas, karena Jeongguk akan sengaja ikut terlambat juga.

Jimin itu ceroboh. Tapi dia tidak tau saja bahwa kecerobohannya itu membuat Jeongguk ingin selalu melindunginya, ingin selalu menjadi pengingatnya, ingin selalu menjadi penopang hidupnya.

Jimin yang terjatuh dengan bibir yang mencebik dan bergetar ingin menangis. Jimin yang terjatuh karena tawa bahagianya seelok sabit. Jimin yang terjatuh karena kebiasaan buruknya. Jimin yang sering terjatuh sampai-sampai ke dalam hatinya juga.

Pernah suatu waktu Jimin hampir terjatuh karena menginjak tali sepatunya sendiri saat berlarian dari tempat parkir menuju gedung kuliah, beruntung Jeongguk selalu mengekornya dan dengan sigap menarik lengan Jimin sampai hidung mungil cowok itu menabrak dada bidangnya.

Jimin memejamkan mata takut-takut, sudah siap kalau Jeongguk akan mengomelinya. Namun tidak terjadi omelan apa-apa, melainkan sosok Jeongguk yang kini sedang berjongkok di depannya, mengikat tali sepatunya dengan sangat telaten. Menepuk-nepuk pelan jeans yang dipakainya, mencoba menghilangkan debu yang menempel disana. Kemudian Jeongguk merapikan anak rambut yang menempel karena keringat di dahi Jimin. Dengan sabar, penuh kehati-hatian dan kasih sayang.

“Tali sepatu itu diikat, harus berapa kali diingetin, hm?”

Jimin mencebik, Jeongguk tersenyum kecil.

“Maaf,”

Jimin menunduk, terlalu malu dengan tatapan yang diberikan Jeongguk. Terlalu berdebar setiap kali Jeongguk memperlakukannya dengan sangat tulus dan hati-hati. Terlalu takut Jeongguk akan melihat wajahnya yang sudah memanas karena selalu saja tersipu dengan perlakuan dan kata-katanya yang begitu sabar.

Dan yang selanjutnya terjadi malah sampai membuat Jimin harus menahan nafasnya sendiri karena Jeongguk tiba-tiba merapatkan tubuhnya pada tubuh cowok itu, mengangkat dagunya hingga ia bisa melihat dengan jelas binar teduh dan menenangkan dari mata Jeongguk, kemudian Jeongguk berbisik dengan bibir yang sangat dekat dengan wajahnya,

“Besok-besok jatuhnya jangan ke lantai terus Ji, ke hati gue aja lebih aman,”

Menyebabkan wajah Jimin makin memanas dan uring-uringan sepanjang hari karena jantungnya menjadi semakin bertalu-talu setiap melihat Jeongguk setelah kalimat itu dilontarkan.

Jimin tidak suka jatuh.

Tapi tidak dengan jatuh yang melibatkan Jeongguk di dalamnya.

Bukan jatuh dengan luka, tapi jatuh dengan cinta sebagai pemanisnya.