Marcel
Acel mengeringkan wajahnya dengan tisu wajah secara perlahan, tubuhnya sudah lebih rileks setelah berendam dengan air panas dan bath bomb favorite nya. Dia membuka seluruh jendela di apartemennya, berharap scent miliknya dan Calvin yang semula masih tercium sangat kental dan tercampur menjadi satu bisa berkurang sebelum kedua temannya sampai di apartmennya.
Suara bel yang berkali-kali ditekan membuat senyum Acel merekah di bibir pemuda berpipi gembil itu.
“Kebiasaan deh,” suara bel masih terus ditekan dengan tidak sabaran, sampai Acel membuka pintu dan menemukan Jovan juga Sena yang berdiri di depan pintu dengan plastik berisi makanan ringan dan sebuah plastik berisi 3 kotak pizza.
“Banyak banget!” Acel memekik saat barang bawaan teman-temannya itu disodorkan main-main kehadapan wajahnya, “emang lo berdua bisa abisin ini apa?” Acel membuka pintu lebih lebar dan membiarkan kedua temannya masuk ke dalam apartemennya.
“Kita punya omega kelaparan, pasti abislah,” Jovan menyahut, setelahnya ia mengaduh kesakitan ketika Acel memukul lengannya dengan kencang.
“Nih dibawain es krim, makan dulu tapi ya,” Sena memasukkan es krim yang ia bawa ke dalam freezer sementara Acel mendecak kesal mendengarnya.
“Es krim dulu,”
“Makan dulu,”
“Es krim!”
“Makan dulu,” Jovan memasukkan satu potong pizza ke mulut Acel yang membuat Acel berteriak kesal sedangkan dua Alpha itu tertawa.
“Jovan ih!!”
Jovan dan Sena menghabiskan waktu seharian penuh di apartemen Acel, keduanya berusaha menghibur Acel hingga tidak lagi tercium kesedihan dan rasa kecewa dalam scent si Omega seperti siang tadi ketika kedua Alpha itu datang. Acel masih bersandar pada Jovan dengan keadaan mereka yang masih menonton drama korea yang tak kunjung selesai mereka tonton sejak lama.
“Feel better, Cel?” Sena akhirnya bersuara setelah ia menimbang-nimbang untuk bertanya atau tidak sejak mereka datang kesini siang tadi.
Acel mengangguk kecil dan terseyum tulus, “Makasih Sena, makasih Jovan,” tangan kecil Acel melingkari tubuh Jovan untuk memberi pelukan, setelahnya berganti memeluk Sena lalu kembali mencari posisi nyamannya bersandar di tubuh Jovan.
Pagi ini Omega Acel merasa sangat sedih, marah, kecewa dan kacau. Ditinggal pergi begitu saja setelah melakukan aktivitas seksual hampir seminggu lamanya membuat Omega Acel merasa buruk, amat buruk. Merasa tidak berguna dan tidak diinginkan. Acel mencoba untuk mengontrol Omeganya, menenangkan dengan cara apapun yang ia bisa dan kedatangan kedua teman Alphanya membawa banyak pengaruh baik untuk perasaan Omeganya. Omeganya merasa dihargai, dilindungi dan diinginkan oleh kedua teman Acel ini. Seperti sebagaimana mestinya Omega diperlakukan.
Meski pada kenyataannya bukan baru sekali ini Acel ditinggal pergi setelah heat nya berakhir, bukan sekali ini saja Acel merasa dibuang. Bahkan seringnya setelah menemani rut Calvin pun, Acel selalu membuka mata dengan kehampaan, selalu hanya ranjang kosong dan dingin yang menyapanya pertama kali saat keasadaran menjemput. Acel yang membuka mata dengan tubuh sangat lelah dan perasaan hancur berantakan adalah hal yang biasa dan Acel tidak tau bagaimana lagi cara untuk mengubahnya. Semua ini sudah berlangsung selama satu tahun lamanya, sejak dirinya dan Calvin secara sadar dan tidak sadar seolah memiliki kewajiban untuk saling membantu ketika masing-masing dari mereka mengalami masa heat ataupun rut.
Saat itu Acel tidak pernah berpikiran jauh bahwa hubungannya dan Calvin justru akan lebih rumit dan sulit berakhir jika mereka terus seperti ini, berbagi heat dan rut mereka satu sama lain. Acel tidak berpikir sejauh itu karena pada dasarnya kemampuannya untuk berpikir sudah dikalahkan telak oleh perasaannya sendiri. Karena sejauh apapun pikirannya memberitahu tetap hatinya yang menguasai. Dan Acel membencinya.
Jika ditanya apakah Acel tidak berkeinginan untuk mengubah situasinya? Apakah Acel tidak ingin memperjelas hubungannya dengan Calvin?
Tentu jawabannya Acel ingin, sangat sangat ingin sampai rasanya ia bisa menyuarakan hal itu dengan lantang dan tanpa keraguan. Tapi bagaimana?
Bahkan Acel tidak pernah mendapat jawaban dari apa yang perasaannya inginkan sejak ia menyatakannya dulu pada pemuda dengan senyum konyol yang selalu memenuhi otaknya setiap hari itu. Calvin, dia tidak pernah menjawab atau merespon barang sepatah dua patah kata dari pangakuan Acel tentang perasaannya saat mereka masih di bangku kuliah. Sejak itu Acel selalu bertanya pada dirinya sendiri, apakah Calvin menolaknya? Apakah dia seburuk itu? Apakah dirinya memang tak pantas bersama Calvin?
Pikiran-pikiran tentang harus tahu diri dan harus menjauhi Calvin secara perlahan agar sakit hatinya tak berkepanjangan selalu terputar dalam otaknya seperti kaset rusak. Sudah sangat jelas bahwa diam nya Calvin bermakna tidak secara mutlak. Acel tahu betul tentang itu dan bertekad untuk menuruti pikiran rasional kali ini ketimbang mengikuti hatinya, yang sangat payah dan lemah.
Tapi semakin kuat keinginan Acel untuk pergi maka hal itu berbanding lurus dengan semakin kuatnya Calvin menahan, memerangkap dan memenjarakannya tanpa jalan keluar yang pasti. Terlalu banyak lorong panjang yang harus ia lewati, banyak persimpangan yang harus Acel lalui tanpa tahu kemana arahnya, dimana ujungnya? Dimana jalan keluarnya?
Maka semakin Acel berusaha semakin kuat rantai yang Calvin ikat padanya, menyakiti tubuhnya yang kian hari kian terperangkap oleh perasaan bahagia semu, perasaan memiliki tapi menggerogoti utuhnya hati.
Calvin yang berubah menjadi semakin posesif dengan dirinya. Calvin selalu marah jika Acel pergi dengan Alpha lain selain ketiga temannya. Calvin yang selalu bertanya dari pangkal sampai ujung setiap kali Acel pergi tanpa pemuda itu. Calvin yang selalu melarangnya berhubungan dengan Alpha lain selain pemuda itu. Adalah Calvin yang memenjaranya, adalah Calvin yang tak pernah memberinya pilihan.
Pikiran Acel berkelit pada mengapa yang tidak ada habisnya, sementara keterdiaman Calvin atas pengakuannya bahkan sudah menggambarkan segalanya. Apa yang sebenarnya Calvin inginkan darinya? Apa yang pemuda itu coba lakukan? Dan pertanyaan yang paling membuatnya setengah gila karena terlalu keras berpikir adalah mengapa ia membiarkan Calvin mengaturnya? Melakukan semua hal itu padanya?
Dan jauh dalam hatinya, di sudut terdalam yang masih ia jaga. Acel mengakui, dengan yakin bahwa dirinya masih menyukai Calvin, hatinya menginginkan pemuda itu bersamanya, disisinya. Keinginan itu sangat besar, kian berkembang seiring waktu berjalan hingga detik ini. Sekuat dirinya ingin melepaskan diri sekuat itu juga perasaannya bertahan dan terus bertumbuh.
Acel mengingat dengan baik bagaimana mulanya ia jatuh hati pada Calvin. Waktu itu mereka baru menginjak semester kedua di bangku kuliah, Acel mengakui pada dirinya sendiri kalau ia menyukai Calvin lebih dari seorang sahabat pada sahabatnya.
Mereka bertemu saat ospek jurusan dulu, Calvin yang terus memandangi Acel dari kursinya dengan tatapan teduh yang hingga kini Acel sangat sukai, sampai akhirnya pemuda jangkung itu mengajak Acel berkenalan lalu mereka mulai berteman.
Calvin adalah orang yang baik, sangat baik meskipun saat pertama lihat Acel merasa terintimidasi dengan tatapannya. Tetapi nyatanya Calvin adalah pribadi yang sangat hangat, ramah dan menyenangkan. Mereka berada di kelas yang sama dalam beberapa mata kuliah yang diambil keduanya. Mereka juga merupakan mahasiswa yang begitu aktif berorganisasi hingga selalu bertemu dalam kegiatan yang sama pada banyak kesempatan.
Acel mengingat bagaimana Calvin yang terlalu protektif pada dirinya, selalu mengingatkan Acel untuk makan tepat waktu, untuk pulang tidak terlalu larut dan hal kecil namun manis lainnya.
Bagaimana bisa Acel tidak jatuh hati terlalu dalam pada pemuda itu?
Ini adalah tahun keempat dan perasaan Acel masih sama seperti ribuan hari lainnya. Ia masih menyukai Calvin sebesar hatinya mengizinkannya dengan sukarela. Ia masih sangat menyukai Calvin sampai membiarkan pemuda itu melakukan apapun yang ia mau. Meski tidak di segala hal, tapi Calvin seolah ambil peran paling banyak diantara tokoh lain dalam kesehariannya. Misalnya kalau sekarang ini seperti pulang dari kantor ke apartemennya, atau tentang dia yang tidak boleh dekat dengan alpha lain selain pemuda itu dan ketiga teman dekat Acel lainnya. Ya, seperti itu. Hanya seperti itu contoh kecil peran yang Calvin ambil.
Perasaan Acel masih sebesar dulu, sebesar waktu yang berperan membuatnya berkembang. Sampai-sampai dia mungkin tidak sadar bahwa hubungannya dengan Calvin adalah hubungan yang tidak biasa. Tidak sehat. Hubungan toxic yang hanya akan menyakiti mereka berdua kelak.
“EARTH TO MARCEL!“
Acel mengedip-ngedipkan kedua matanya, menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya.
“Bengongin apa sih lo?” Sena menyodorkan lagi satu potong pizza kehadapan Acel, yang diterima dengan senang hati oleh pemuda yang kini sibuk terkekeh canggung.
“Gak ada kok, hehe”, jawabnya sambil mengunyah pizza ditangannya, “Badan gue ini sakit banget ih.” keluhnya kemudian.
“Ya iyalah, lo tuh selalu kaya orang abis disiksa tau gak setiap kali abis mantap-mantap sama Calvin,” Jovan tersenyum menggoda yang mana membuat Acel mendadak malu ditempatnya.
“Minta dia sesekali lebih gentle waktu ngelakuin itu, Cel. Pelan-pelan aja gak usah kasar gitu, kasian badan Adek Acel kan,” Sena menambahkan. Jovan tertawa sambil sesekali menggigit pizza yang dipegang Acel dengan lahapan besar.
“Diem gak?! Gak usah ngomongin ginian ya, males!” Acel menutupi wajahnya yang sudah sangat memerah dengan telapak mungilnya. Dua alpha di ruangan itu tertawa terbahak dan terus menggoda Acel sampai mereka tertawa terpingkal karena rona merah itu benar-benar memenuhi seluruh sisi wajah Acel sampai ke daun telinga.