amelweiss

tolong, bu


Chaki tersenyum saat Ibu kembali mengelus kepalanya sayang sembari mengobrol agak serius dengan Saera. Mereka duduk di kursi pojok kafe milik keluarga Bima, ingin melihat-lihat katanya. Ayah di rumah, mengurus burung murai peliharaannya, sedangkan Rayyan sudah tidur siang setelah meminta Chaki menemani bermain robot di kamar. Dari ekor matanya, ia menangkap senyum Saera yang lembut, dan dibalas dengan anggukan paham.

Kenyataannya, Chaki berkunjung ke rumah orangtua Bima, bukan menginap ditempat Saera seperti yang ia katakan. Memang ia sudah pernah berjanji untuk main kerumah Ibu di lain waktu, hari ini dipilihnya karena ada hal yang ingin diutarakannya juga pada Ibu. Itu melibatkan Saera.

Sambutan Ibu selalu hangat, bahkan sebelum berangkat selalu menanyakan keyakinan Chaki karena kesini tanpa Bima. Ibu lebih dari mengerti kalau ada yang ingin dikatakannya tanpa Bima tahu.

“Menurut Ibu, gimana?” Saera memastikan kembali. Raut wajah Ibu nampak kaget dan bingung, tapi Chaki bisa lihat ada binaran harap disana.

Remasan telapak Chaki pada jemari Ibu membuat kebingungan beliau tak berlangsung lama, diberinya pengertian pelan-pelan.

“Ini akhirnya tetap jadi punya Ibu, semua Ibu yang jalanin. Kak Saera cuma bantu aja, Bu,” Ibu menatap ragu, tawaran barusan memang begitu bagus untuk keberlanjutan usahanya. Tapi apa tidak merepotkan? Apa seperti itu bisa?

“Modal Ibu nggak banyak, nak. Kamu pasti kesulitan.”

Kekhawatiran Ibu sedikit banyak bisa Saera pahami, biar bagaimanpun mempercayai orang yang baru ditemui bukanlah hal yang mudah. Jadi ia harus membuat hal ini jadi sederhana.

“Anggap seperti franchise, Bu. Tapi nanti Ibu boleh cicil pelan-pelan ke aku. Bedanya sama franchise biasa, ini bisa Ibu kembangkan sendiri, nanti awal-awalnya aku bantuin semua Bu.”

Ibu mengangguk-angguk mengerti, barangkali penjelasan Saera mulai membuka pikirannya.

“Usaha Kak Saera udah terkenal lho Bu ditempatku. Di sekolah juga Kak Saera buka cabang satu. Nah kalau Ibu buka disini, aku jamin pelan-pelan bisa ramai lagi deh. Apalagi Ibu jago banget bikin-bikin kue gitu.”

Nyatanya rayuan Chaki menghasilkan anggukan kepala Ibu dan senyum hangat dengan binaran keyakinan yang belum pernah dilihatnya. Saera menghela napas lega, seolah beban dipundaknya tentang menunaikan permintaan tolong Chaki ini berhasil luruh sekaligus saat Ibu menyetujui ide mereka.

Saera bisa lihat airmata yang menggenang dipelupuk mata Chaki saat ia menatapnya. Bahagia, lega, tapi ada beban berat tersirat disana.

Beban berat Chaki.


Rumah Ibu agak lengang selepas makan malam. Tadi siang, selesai mereka membicarakan mengenai pembangunan ulang beberapa sudut dan desain kafe, Saera pamit pulang setelah mendapat panggilan penting. Katanya itu dari pihak kontraktor. Jadi demi keberlangsungan semua rencananya secara cepat, Saera harus meninggalkan Chaki sendiri. Lagipula, Chaki nampak senang-senang saja, rumah ini sudah seperti rumahnya sendiri.

Cuaca sedang bagus karena langit dipenuhi banyak bintang saat dilihat dari teras depan. Kepulan asap dari cokelat hangat buatan Ibu menghalau sedikit hawa dingin. Tawa Rayyan sayup-sayup hilang ditelan sunyi saat balita itu tertidur dalam pelukan Chaki. Kemudian Ayah mengangkatnya, membawanya dalam pangkuan diatas kursi roda dan bilang akan menidurkan Rayyan di kamarnya.

Chaki dapat pelukan familiar yang hangat milik Ibu, serta haturan terimakasih yang tulus menggetarkan jiwa Chaki yang lemah. Padahal belum apa-apa yang diberikannya, tapi Ibu bertingkah seolah-olah Chaki sudah memberikan sekantong mutiara.

“Bu, Chaki mau minta tolong sama Ibu, boleh nggak?” Kepala Ibu menoleh kesamping, melihat Chaki menggenggam mugnya erat dan memainkan jarinya disana.

“Minta tolong apa, sayangnya Ibu?”

Mata Chaki menerawang jauh, barangkali takut dianggap tidak sopan dan terlalu ikut campur. Tapi hatinya berkata ia harus melakukan ini, langkah yang tepat untuk kebaikan Bima dan keluarganya.

“Bima, tolong bujuk Bima, Bu.” Ibu mengernyit bingung, lantas wajah sendu Chaki kini jadi pemandangannya.

“Bujuk Mas untuk apa, Cha?”

Bibirnya di gigit. Rupanya Ibu belum tau, rupanya Bima tidak menceritakan ini pada siapapun. Apakah Chaki salah kalau mengambil langkah ini? Apakah Bima nanti akan marah padanya?

“Tolong minta Bima ambil beasiswanya, Bu.”

Ibu nampak terkejut, Bima tidak pernah bilang apa-apa soal beasiswa padanya. Anak sulungnya itu bersikukuh untuk tidak melanjutkan kuliah dan akan mulai mencari kerja saja, karena katanya akan merepotkan. Bima ingin segera menggantikan tugasnya sebagai pencari nafkah utama.

Diamnya Ibu membuat Chaki sendiri kalut. Ia takut salah, tapi ia tidak ingin Bima menyia-nyiakan kesempatan dan melupakan keinginannya. Chaki hanya ingin Bima sekali saja memikirkan dirinya sendiri, ingin Bima juga melakukan apa maunya, tidak hanya berkorban untuk banyak orang.

“Tolong yakinin Bima kalau semua akan baik-baik aja, walaupun Ibu ditinggal Bima kuliah, semua akan berjalan baik dan Chaki akan bantu jagain Ibu,”

Ibu belum merespon apa-apa, saat ia lihat mata Chaki yang tak behenti mengeluarkan airnya. Chaki menangis, tidak keras sekali tapi itu menyayat hati. Tangisan sendu yang membuat hati seorang Ibu memahami dengan jelas apa inginnya Chaki sesungguhnya. Juga apa yang sedang diupayakan anak manis ini.

Maka saat tangisan pilu itu makin terdengar Ibu kembali membawa Chaki dalam pelukan. Membiarkan bajunya basah saat Chaki menjelaskan semuanya patah-patah, diantara tangis yang tak kunjung mereda.

Malam itu, Ibu paham. Apa ingin Chaki.


Matanya sulit ia pejamkan, meski ia sudah berusaha keras ingin menjemput tidur karena matanya lelah akibat banyak mengeluarkan air. Bau jaket kebesaran yang dikenakannya belum cukup membantu menenangkan. Seperti Bima ada disini, tapi tak mampu dipeluknya.

Chaki rindu.

Detak jarum jam makin nyaring membelah sunyi, mengantarkan Chaki pada waktu-waktu kemarin. Membuatnya makin sulit tidur. Ia kembali menangis, ingat bagaimana obrolannya dengan Bima beberapa hari yang lalu, di pinggir pantai.

Selalu ada obrolan-obrolan ringan yang manis atau obrolan yang dalam, waktu ia bersama Bima. Tingkat keingintahuannya selalu muncul jika melihat Bima yang setenang air juga selalu bersahaja. Dia tidak mampu membaca mata seperti Bima, juga tidak mengerti bagaimana mengartikan sikap seseorang padanya, ia payah. Jadi daripada menerka, Chaki selalu jadi si serba ingin tahu kalau sudah bersama Bima.

Sore itu ditengah suara kicau burung yang indah, juga debur ombak yang menyenangkan, mereka duduk dibawah pohon kelapa yang masih agak rindang. Menikmati bagaimana angin pantai berdesau membawa bau asin dan segar menggelitik penghidu.

“Memang mimpi dan harapan itu perlu ya?” Hidung Chaki mengerut lucu, kebiasaannya kalau berpikir sesuatu yang seolah baru diketahuinya.

Kekehan kecil Bima menguar, bersamaan tarikan gemas pada hidung minimalis Chaki membuat si empunya mengaduh.

“Perlu. Mimpi itu memang belum tentu terjadi, tapi kita perlu mimpi. Supaya kamu tau di masa depan kamu mau apa, mau melangkah kemana. Sedangkan harapan itu kaya doa, berkemungkinan besar untuk terjadi atau juga enggak. Tergantung waktunya, kapan yang tepat.”

Chaki manggut-manggut, mengerti apa yang Bima jelaskan tentang mimpi dan harapan versinya sendiri. Selama ini, kalau dari segi pola pikir, Chaki jauh berbeda dengan Bima. Otak pintar tidak menjamin kamu tahu segalanya, ada hal-hal yang bisa kamu ketahui tanpa membaca atau belajar dari buku.

Pembelajaran tentang hal-hal yang berkaitan dengan perasaan, atau pola pikir matang Chaki baru dapatkan dari Bima. Bagaimana harus bersikap jika punya masalah, bagaimana menghadapi situasi seperti ini dalam hidup, juga bagaimana tetap tenang jika sesuatu tidak berjalan sesuai kemauan.

“Chaki gak tau ini mimpi, harapan, atau cita-cita. Tapi Chaki pingin nolong orang kaya Chaki,” tatapan Chaki jauh keujung gulungan ombak, juga kedalaman air laut yang tak mampu diukur. Bima menatapnya, tertarik.

“Orang kaya Chaki butuh sembuh dan diperhatikan, Chaki pingin supaya gak banyak orang-orang yang mengalami hal kaya yang Chaki alami. Gak punya tempat cerita, juga gak bisa menyalurkan emosi,” kemudian Chaki menggeser duduk, menciptakan pasir-pasir halus menempeli pahanya. Ia duduk menghadap Bima sepenuhnya dan menyilang kaki.

“Chaki pingin sembuhin orang, Bim.” kilatan-kilatan semangat pada netra bening kelam itu membuat Bima mengangguk.

“Chaki mau jadi dokter?”

Anggukan kemudian gelengan Chaki buat Bima tertawa, gemas sekali, ia tak menangkap maksudnya.

“Iya dokter. Tapi bukan dokter yang sembuhin sakit di tubuh, Chaki mau sembuhin sakit yang lain.”

Ucapan Chaki buat Bima diam.

Sakit yang lain.

Bukan tubuh.

Bima memahami maksudnya. Sakit yang seringkali banyak orang abaikan.

Kemudian senyum hangat Bima muncul, diberikan usakan lembut dan sayang pada kepala Chaki. Ditatapnya dalam kedua netra itu seolah berikan lagi keyakinan. Meski akhirnya Chaki bilang barangkali itu adalah sebuah mimpi yang sangat sulit ia gapai, jalan hidupnya sudah digariskan. Ia hanya tinggal melangkah pada tiap-tiap jalan setapak yang disediakan cuma-cuma. Entah itu menuju jurang, atau menuju kebun bunga.

Bima bilang Chaki pasti bisa melakukannya, jadikan itu sebuah harapan dan cita-cita mulia. Selipkan juga doa dan usaha, maka keinginan Chaki untuk menjadi yang diinginkannya mungkin bisa terlaksana. Tanpa lihat bahwa ada senyum sendu juga tatap tak rela dari yang lebih pendek.

Saat ditanya apa mimpi dan harapannya, Bima hanya menjawab tentang harapan; Bima ingin membahagiakan keluarga, katanya. Klise, tapi jujur dan sederhana.

Chaki tidak puas, menurutnya Bima sudah melakukan hal itu. Sudah buat Ibu dan Ayah bangga juga bahagia. Ini tentang Bima, tentang dirinya, inginnya tentang dirinya sendiri, Chaki ingin tahu sekali.

Setelah semua candaan dan jawaban asal-asalan yang Bima berikan, Chaki mendengar itu dengan lirih, terbawa sapuan angin juga sayup-sayup kicau burung,

“Aku mau jadi produser,” belum Chaki dengar dengan benar Bima melanjutkan, “...tapi kayanya gak mungkin,”

Bima bercerita tentang hari dimana Pak Harun, Pembina Ekskul Musik, memanggilnya dan menawarkan beasiswa sekolah musik di luar negeri, beasiswa penuh. Chaki bisa lihat ada asa yang meredup, ketika Bima mengungkapkan bahwa di hidup ini kita harus memilih. Kemudian cowok jangkung itu bilang ada hal yang lebih penting daripada sekedar raih cita-cita, ada keluarga yang butuh Bima sokong hidupnya.

Keheningan kemudian melanda, setelah mendengar bagaimana Bima kurang lebih seperti dirinya. Tak punya pilihan sebab keadaan. Chaki sempat lihat ada senyum getir tersirat. Hatinya terasa sakit saat lihat itu, menyadari bahwa Bima seolah tak berdaya menghadapi ini. Kemudian Bima sibuk menyuruhnya menikmati matahari tenggelam di pantai. Membiarkan Chaki memerhatikannya dengan mata berkaca-kaca.

Pada tengah malam sunyi, juga dalam ingatan segar tentang kejadian lalu. Chaki semakin yakin pada tekadnya.

the sun and the kiss


Matahari belum terlalu tinggi, saat Chaki lihat sebagian awan malu-malu tutupi sinar hangatnya sapa bumi, dan sebagian berarak mengikuti laju motor mereka membelah pagi. Angin yang datang rapat-rapat buat peluk Chaki pada perut Bima makin erat. Detak jantung dan suhu tubuh hangat buat sandar kepala pada punggung lebar di depannya terasa tepat.

Duduk manis diboncengan vespa matic mulai terasa familiar. Helm chips sudah terpasang apik, tanpa protesan akan berat dan tutupi sebagian mata, seperti kemarin. Ini kali kedua, tapi seolah ia sudah lakukan ini ratusan kali.

Jalan aspal yang berbeda namun terasa sama, rambut bergoyang tersapu angin, deru halus mesin motor, tubuh jangkung yang lindungi ia dari depan, serta elus halus jemari pada peluk eratnya. Semua seperti teman lama.

Kemarin, semua masih kaku, seolah apa yang dilakukan dan dirasanya ucapkan kata yang sama; halo, senang berkenalan denganmu. Sedang yang mengenalkannya pada segala halo yang baru tengah menuntunnya dalam genggam erat. Selalu terasa asing-familiar, dimanapun tempat disudut bumi jika ia bersama pemilik telapak hangat ini.

“Bude, nasi uduknya dua ya. Satu gak pake bawang goreng, satunya banyakin orek tempe,” Bima memesan dengan nada akrab dan ramah sebelum mengajak Chaki duduk di kursi kosong pojok kanan warung. Melihat keramaian pada warung uduk yang terbilang tidak begitu besar ini, Chaki jadi tahu kenapa Bima sudah ribut ajak sarapan diluar sejak pagi. Takut kehabisan, karena butuh sekitar sepuluh menit dari asrama untuk bisa makan disini.

“Orek tempenya enak, sebelas duabelas deh sama punya Ibu,” antusiasme Chaki dengan mata berbinar dan teriakan kecil oh ya? tidak berlangsung lama ketika pesanan mereka sampai dan Bima suruh untuknya buktikan sendiri.

Ekspresi pura-pura menangis yang Chaki tunjukkan saat kunyahnya berhasil ia telan, berhasil buat Bima terkekeh ringan. Serius, ini benar mirip masakan Ibu, dan tidak heran kalau Bima bilang ini salah satu warung uduk kesukaannya. Pantas saja sangat laris. Satu lagi, masuk daftar makanan enak yang baru kali pertama Chaki tahu dan makan.

Sudah banyak daftar hal baru yang Chaki coba dan akan dicobanya lagi sejak kemarin. Hari yang sangat menyenangkan sebab Chaki diajak berkeliling kota, ke pelosok-pelosok yang belum pernah dijejakinya. Tentu sebenernya memang hampir semua tempat belum pernah ia jejaki.

gakpapa kok, mas


Seperti yang Bima katakan padanya, mereka sampai di kota kelahiran Bima dua jam kemudian. Itupun masih harus naik angkutan umum dari terminal bus menuju rumah Bima. Jujur, Chaki baru lakukan ini pertama kali. Atau memang semua yang Chaki lakukan bersama Bima adalah semua pertama kalinya. Bima adalah semua serba pertama Chaki.

Genggam Chaki tak pernah lepas dari telapak besar hangat milik Bima. Seolah Bima coba beri rasa nyaman dan perlindungan saat Chaki bertemu banyak orang asing ditempat yang juga sama asing. Tapi Chaki pikir, kalau bersama Bima, dimanapun terasa seperti rumah. Hanya saja itu mampu ia ucap dalam diam sambil rasakan jantungnya gemetaran dan hati kesemutan.

Mereka sampai di depan rumah sederhana milik Bima dan keluarganya. Kalau dibandingkan dengan miliknya tentu jauh berbeda, tapi Chaki tak pernah menganggap besar suatu rumah jadi tolak ukur untuk rasa nyaman.

Saat Bima ketuk pintu dua kali dengan salam lembut yang dihaturkan, seorang wanita paruh baya dengan kerutan samar dibawah mata namun masih terlihat cantik pesonanya, membukakan pintu.

Itu Ibu Bima.

Chaki tersenyum kikuk saat disapa, suaranya terdengar gagap ketika menjawab, apalagi saat Ibu Bima menangkap basah genggam mereka yang belum terlepas. Tertawa geli saat lihat respon gelagapan Chaki, sedang Bima hanya terseyum saja.

“Ibu aku cerewet banget, semoga kamu gak pusing.”

Itu adalah kalimat yang Bima ucapkan saat di bus tadi, dan memang tidak ada kebohongan disana. Setelah beri bingkisan yang mereka bawa—brownies cokelat buatan Chaki yang sudah berhasil, Ibu Bima langsung ke dapur dan menyajikannya untuk mereka makan bersama teh hangat dan camilan lainnya.

Chaki sedang memerhatikan rumah Bima yang terasa hangat dan nyaman meski sederhana, saat Ayah Bima keluar dari kamar dengan kursi roda yang di dorong Bima. Juga Adik Bima yang keluar kamar mengucak mata, sepertinya terbangun karena suara berisik yang mereka cipta.

Detik itu Chaki menyadari bahwa rumahnya tak pernah seramai ini, tidak hangat juga terasa penuh kasih sayang. Chaki jadi tahu mengapa Bima punya sifat sabar tak bertepian juga senyum teduh menenangkan. Sebab Bima punya keluarga harmonis yang hangat kasihnya bahkan bisa orang luar seperti Chaki rasakan.

“Panggil Ibu aja,” Ibu Bima mengusak pelan rambut Chaki saat ia beberapa kali memanggil tante, Chaki melirik Bima seolah minta persetujuan dan diberi anggukan. Ibu Bima yang melihatnya kembali menggoda dengan bilang bahwa Chaki tak perlu izin Bima segala.

Tawa mengudara, bersama Chaki yang merasa asing dan familiar secara bersamaan saat bibirnya terus menyebut Ayah, Ibu dan Adik Bima dengan panggilan yang biasa Bima gunakan. Chaki rasa dia punya keluarga lengkap lagi, meski ini bukan miliknya, tapi Bima bilang bisa anggap keluarganya sebagai keluarga Chaki juga.

Ibu memeluk Chaki saat ia tak sengaja menangis diantara tawa menguar, juga secangkir teh hangat yang sudah lewat tenggorokan dan puding cokelat kesukaan Mamanya, dulu. Usapan pada punggungnya terasa menenangkan, seperti pelukan Mama yang hangatnya tak tergantikan.

“Chaki bisa anggap Ibu ini Mama kamu, kalau kamu lagi kangen,” airmatanya diusap lembut telapak Ibu yang terasa mengeras, mungkin akibat dipakai banyak kerja. Bima menatapnya dengan senyum teduh seperti biasa, berikan ketenangan sama lewat tatapnya, seolah bilang semua akan baik saja.

Beberapa jam dirumah Bima, buat Chaki seolah sudah kenal keluarganya sejak lama. Tadi, saat Ayah tahu Chaki pandai main catur dan punya lawan sepadan, senyum tak henti terkembang, apalagi saat Chaki berhasil buat Ayah kalah. Katanya, kalau Bima tak bisa main catur, hanya bisa buat suara gonjreng-gonjreng tengah malam di kamar. Chaki tak henti-henti tertawa karena Ayah punya humor yang bagus, atau memang Chaki yang punya selera humor bapak-bapak.

Pun Dek Rayyan yang sudah mau dekat-dekat dengannya, meski awalnya takut. Bima beritahu kalau Chaki baik dan mau kasih es krim kalau Rayyan baik. Jadilah ia ditempeli dengan pertanyaan; kapan aku dibeliin es krimnya, Kak? Buat Chaki mendelik marah sebab Bima menjerumuskan adiknya, Rayyan sedang pilek saat ini.

Satu hal lagi yang Chaki baru tahu setelah main kerumah Bima adalah panggilannya dirumah; Mas.

Awalnya Chaki tak begitu memerhatikan panggilan itu, sampai Ibu beberapa kali bercerita sambil ucap; “Maaf ya, Cha, rumah Si Mas sama Ibu mah jelek, berantakan ya?”, “Si Mas mah memang begitu, Cha. Pasti anaknya cuek banget ya kalau disana?”, “Kok kamu mau sih temenan sama Si Mas, dia anaknya tuh gak asik. Kira Ibu cuma Yosha aja yang mau temenan sama Mas Bima.” dan lain sebagainya, yang hanya bisa Chaki tanggapi dengan tawa.

Chaki punya cerita bahagia, hari ini. Yang ia dapati bersama Bima, lagi. Chaki pernah punya hari-hari paling buruk dalam hidup, tapi Bima seolah pijar dalam redup. Menawarkan cahaya tanpa pamrih dalam hidup. Chaki temui bahagia, tapi ragu apa bisa ia terus rasakan ini bersama untuk waktu yang lama?


Langit-langit kamar jadi bahan tatap dua orang berbeda tinggi ini. Yang lebih jangkung relakan tangan kanannya jadi bantalan yang lebih kecil. Mereka berencana pergi tidur setelah makan malam dan lewati hari menyenangkan yang juga melelahkan. Besok pagi mereka pulang, jadi harus punya tenaga yang banyak.

Mereka tidur bersama karena tidak ada cukup kamar untuk tampung Chaki, juga tak mungkin biarkan Chaki tidur di sofa depan. Jadi mereka harus tidur berdua diatas kasur yang sama, yang mana sudah terlalu sering mereka lakukan.

Bima sudah beri tepukan pada sisi lengan, juga usakan halus pada kepala, tapi Chaki belum mau jemput alam mimpi. Ada banyak hal dikepalanya yang ingin ia sampaikan, terutama tentang ucapan terimakasih yang rasanya tak cukup hanya sekali diucapkan.

Ditengah hening juga hembus napas mereka, serta detak jantung yang iramanya lama-lama menenangkan, Chaki buka suara,

“Mas Bima..” katanya pelan, murni ingin menggoda dan menarik perhatian Bima. Yang mana tanpa Chaki sadari itu berhasil buat Bima berhenti bernapas, karena jantungan tiba-tiba.

“Kok diem aja, Mas?”

Dipanggil seperti itu malah buat Bima ingin gila. Bagaimana ya beritahunya, seperti ada serangan bom dadakan dalam hatinya. Meledak dan luluh lantak.

Saat lengannya digoyang Chaki karena tak dapat jawab, Bima hanya berdeham karena tahu pasti suaranya akan tergagap kalau bicara.

Chaki memutar tubuhnya, menghadap kiri kearah Bima sepenuhnya. Diambilnya sisi wajah Bima agar ikut lihat wajahnya, kemudian tersenyum saat lihat wajah Bima yang terlihat memerah? Entah apa Chaki salah lihat.

Beri elusan pada pipi Bima saat tatap mereka terkunci satu sama lain, kemudian Chaki bicara lagi dengan segenap kesungguhan, “Makasih banyak, untuk semuanya.” katanya lembut, bicara tepat di depan wajah Bima.

“Semua yang udah Bima kasih ke Chaki. Semua termasuk pengalaman-pengalaman ini. Chaki suka Ibu Bima, suka keluarga Bima, suka semuanya. Makasih ya, Mas,” Chaki tersenyum lagi, lembut dan manis tanpa tahu wajah Bima makin memerah dibawah temaram lampu yang untungnya menyamarkan.

Bima diam karena masih tenggelam, dalam tatap juga senyum tulus yang hangat serta panggilan biasa yang mendadak istimewa jika Chaki yang ucapkan. Sampai ia merasa tersihir ketika kepalanya bergerak maju, sedang tangannya menahan kepala belakang Chaki. Saat jarak makin dekat dan manik Chaki membola, Bima tersadar dan berhenti seketika.

“M-maaf Cha, aku...”

Belum sempat kalimatnya selesai, Chaki beri anggukan seolah lampu hijau, kemudian jemari gempal itu beri elusan halus lagi pada pipi Bima.

“Gakpapa kok, Mas.”

Jadi Bima tersenyum lagi sebelum kembali memajukan kepalanya, juga menahan kepala belakang Chaki dengan tangan kanannya yang tadi dijadikan bantalan, saat kemudian bibirnya bertemu manis bibir gemuk yang sering merajuk padanya.

Mereka berciuman.

Pada tengah malam, sebelum mereka menjemput mimpi. Di dalam kamar Bima, saat mereka menginap setelah Chaki bertemu keluarganya. Mereka berbagi ciuman manis yang hangat dengan rasa membuncah di dada.

Malam itu, Bima tidur dengan tenang juga tepukan di pipi. Sedang Chaki sibuk memerhatikan Bima lebih lekat lagi. Ciuman tadi, Chaki bisa rasakan getarannya sampai ulu hati. Chaki tatap Bima khidmat tanpa berkedip seolah memastikan sesuatu dan meminta kekuatan.

Dalam keyakinan yang ia bangun tinggi diatas es tipis, apakah berlebihan jika Chaki punya harapan dan ingin egois? Kali ini saja...

Chaki ingin bahagia dan ia tahu bahagianya ada pada Bima, maka bolehkan Chaki?

kenapa?


Sekembalinya Chaki dari acara menginap bersama Bang Nico dan Kak Saera tiga hari yang lalu, Bima merasa ada yang aneh dari sikap teman sekamarnya itu. Bukan aneh dalam artian buruk, namun entah juga ini baik atau tidak, yang jelas pemilik senyum sabit itu gerak-geriknya terasa berbeda. Chaki jadi lebih manja, semakin banyak berceloteh dan nampak bingung.

Memasak, yang jelas bukan merupakan kegiatan wajibnya—karena Bima sendiri punya kemampuan memasak lebih dari Chaki, kini sudah seperti ajang unjuk bakat dadakan. Sudah dua hari ini, Chaki mengambil tanggung jawab sebagai juru masak untuk masalah makan mereka berdua. Selain itu, sudah dua malam belakangan Chaki sering lihat-lihat resep kue yang ditemukannya di internet dan mencatatnya dengan serius.

Bima rasa ada yang tidak beres disini.

Sore ini, sepulangnya dari minimarket, alih-alih melihat Chaki duduk manis di meja belajarnya dengan setumpuk buku berserak tak beraturan, yang dilihat Bima adalah meja berantakan dengan wajah tak kalah berantakan milik Chaki di dapur mini mereka.

Harum kue yang baru saja diangkat setelah dikukus terasa manis saat menyambangi penghidunya. Bukan wajah senang, wajah mungil itu malah ditekuk dibarengi gerutuan kecil.

”...kenapa lagian Chaki banyak banget masukin baking powdernya—,” hela napas berat Bima dengar.

Bima tersenyum kecil mendengar gerutuan itu, berjalan mendekat kemudian meletakkan belanjaan diatas meja, Chaki masih tak menyadari kalau Bima sudah kembali. Sapaan halus Bima buat mata sipit itu membulat kaget dan sejurus kemudian tatapnya berubah nanar, seolah ingin tumpahkan segalanya lewat tatap.

“Kamu ngapain?”

Yang ditanya mendelik sinis pada kue cokelat yang teronggok di meja kemudian melirik Bima sedih, membuat cowok jangkung itu tak bisa menahan senyum karena gerak-gerik Chaki yang lucu.

“Chaki habis ngancurin dapur,” bibirnya dicebikkan, dia berdiri dari duduknya kemudian membereskan segala kekacauan. Diletakannya piring dan gelas kotor di westafel untuk dicuci.

Kaki Bima terayun mendekat, coba ambil alih kegiatan Chaki mencuci piring, namun mendapat tolakan keras, “sana mandi dulu gih. Ini biar Chaki beresin.”

Diangguki saja, Bima jadi anak penurut jika bersama Chaki.

Lima belas menit kemudian Bima keluar dari kamar mandi dan temukan dapur yang sudah bersih tertata, plastik belanjaan sudah lenyap, barangkali isinya sudah nangkring ditempat seharusnya. Bima berjalan kecil menuju kasurnya sambil mengeringkan kepala, ada pemilik senyum sabit sedang duduk menyilang kaki disana dan menyuruhnya mendekat, duduk di karpet bawah.

Duduk menghadap Chaki, Bima menurut saja saat tangan mungil itu mengeringkan rambutnya dengan usakan-usakan lembut. Rasanya hangat dan nyaman, apalagi ketika suara lembut itu mampir menggelitik gendang telinganya, bilang rambutnya sudah panjang dan harus segera dipotong. Bima hanya mampu bergumam, kelewat fokus pada pemandangan di depannya.

Elok rupa Chaki tak bisa diabaikan begitu saja. Chaki punya bibir gemuk yang mengerucut lucu kalau sedang fokus, hidung mungil yang manis, pipi mengembang terkadang merona kemerahan, bulu mata lentik berkedip menawan, dan juga mata sipit sekelam malam yang selalu membuat Bima tenggelam pada tatapnya.

Terlalu fokus pada kelam manik itu, Bima tak menyadari bahwa Chaki sudah selesai dan kini balas tatap matanya. Cokelat madu dan hitam kelam. Mereka terkoneksi dalam, merajut benang-benang imajiner yang hanya mereka mampu pahami, seolah saling menyampaikan perasaan.

Kejernihan itu tak bisa Bima temukan lagi disana, ada yang mengeruh dan berpendar pudar, ada kosong dan keraguan besar, belum sempat Bima selam lebih jauh, pandangan Chaki dialihkan buru-buru, melirik apapun selain Bima. Seolah mencegahnya untuk membaca lebih jauh lagi.

Bima yakin, memang ada yang salah.

Deham kecil terdengar, suasana canggung berusaha Chaki cairkan. Cowok mungil itu bangkit dan menuju dapur mereka. Meletakkan handuk di tempatnya, kemudian mengambil makanan yang ia buat sore tadi untuk mereka berdua.

“Ayo makan, Chaki udah masak.”

Bima mengangguk, berdiri dan berjalan mendekati meja makan kecil.

Mereka makan dalam diam, satu sibuk memikirkan keanehan yang lain, satu lagi sibuk merasakan degupan jantung yang tak beraturan karena tatapan dalam tadi.


“Enak kok,” Bima mengunyah brownies cokelat gagal yang Chaki buat, tadinya ingin dibuang ke kotak sampah, namun Bima keburu lihat duluan.

Kecanggungan sudah menguap secepat kedip mata. Jika menyangkut mereka berdua, entah kenapa selalu ada nyaman melingkupi jika salah satu sudah ambil langkah duluan. Pun memang mereka tidak bisa lama berdiaman. Katanya, terasa aneh, ada yang kosong dan juga kurang lengkap.

Takut-takut Chaki tatap lekat Bima yang makan kue buatannya, khawatir teman asramanya keracunan karena produk gagal tersebut. Tapi sejak tadi yang dilontarkan Bima adalah pujian.

“Itu ngembang banget, terus Chaki kayanya kebanyakan ngasih susu kental manis sama tepung. Aneh gitu kok, udah sini buang aja, nanti Bima sakit perut,” tangan pendeknya menggapai-gapai, tapi Bima lebih cepat untuk bawa loyang itu kebelakang tubuh.

“Yaudah biar buat aku aja, udah sana belajar, aku mau ngabisin ini kok,”

Apa seenak itu ya? Perasaan saat dicobanya tadi rasanya masih kurang pas, dan mengembang. Itu kesalahan terfatal karena brownies seharusnya tidak mengembang. Tapi Chaki jadi penasaran karena Bima terlihat sangat nikmati kue buatannya.

“Mau?” tanya Bima, agak sedih lihat wajah penasaran Chaki.

Yang lebih kecil mendengus, kemudian menjulurkan lidah dan pergi ke meja belajar di bawah kasur tingkat. Kesal, karena tahu Bima hanya mengejek.

Saat Chaki mulai tenggelam dalam kegiatan belajarnya, Bima menghampiri. Duduk pada tangga kasur tingkat Chaki, memberi segelas susu hangat.

“Kamu kenapa?” tanya Bima saat baru saja Chaki mengucap terimakasih dan meneguk susu.

Alis Chaki terangkat sebelah, bingung dalam hal konteks apa yang Bima tanya padanya.

“Tiba-tiba bikin brownies cokelat, dari kemaren aku perhatiin juga kamu liat-liat resep kue di internet,”

Penjelasan Bima membuat Chaki membulatkan mulut.

Ditutupnya buku catatan yang tadi dibaca, dia hanya mengulang saja apa yang dipelajari saat les tambahan siang tadi di sekolah. Dia geser duduk menghadap Bima sepenuhnya.

“Katanya Ibu Bima suka brownies kukus yang rasa cokelat, jadi Chaki coba buat,” ucapan kelewat jujur Chaki buat Bima tersedak ludah sendiri. Terkejut saat tahu fakta bahwa Chaki mau repot-repot belajar buat kue cokelat kesukaan Ibu, karena mereka memang akan mengunjunginya lusa. Dalam hati bertanya keras-keras, untuk apa?

Setelah diberi tepukan dipunggung oleh si pemilik senyum sabit, Bima baru tanggapi, “buat apa, Cha?”

“Ya buat Ibu Bima, masa kesana gak bawa apa-apa?” Chaki menyilang tangan di dada, tanda bahwa obrolan ini akan serius.

“Kalau beli, kesannya kaya kurang sopan menurut Chaki. Sekalian biar Ibu Bima nilai Chaki baik dan gak nelantarin anaknya, karena Chaki juga bisa masak.”

Alasan Chaki tidak bisa diterima nalar otaknya dengan logis, apalagi dengan perasaan yang Bima miliki secara sepihak. Tapi, alih-alih memusingkan debaran jantung yang tak karuan, yang Bima lakukan adalah mengusak helai lembut itu sayang. Sebisa mungkin menekan angan agar tak melayang terlalu tinggi, sebab ia tahu Chaki tidak dalam perasaan seperti miliknya.

“Jadi, tiga hari ini uring-uringan karena mau ketemu Ibu?”

Pertanyaan Bima dijawab anggukan kelewat semangat. Itu memang sebuah kebenaran.

“Chaki belum pernah diajak pulang kampung untuk ketemu orangtuanya teman Chaki, mungkin karena Chaki emang nggak punya teman yang kaya gitu,”

Bima tersenyum, diam mendengar dengan sabar.

“Chaki juga gak ngerti, kenapa Chaki segugup ini mau ketemu Ibu Bima.”

Bohong. Chaki mengerti kenapa sebabnya.

Karena emang gak ada teman yang begitu, Cha, pikir Bima dalam, tanpa sadar kalau ia sebenarnya sudah suarakan hal itu dengan bibirnya barusan dan Chaki pilih pura-pura tak dengar apapun.

“Suatu hari kamu bakal ngerti perasaan kamu sendiri, Cha. Cepat atau lambat,”

Ada hening menjeda saat Chaki sibuk merutuk dalam hati kinerja jantung yang tambah ekstra.

Maaf, Chaki bohong, Bima.

Sudahnya, Bima beri kata teduh penenang jiwa sambil beri Chaki peluk hangat sebentar, berkata bahwa Ibunya pasti akan suka Chaki meski mereka tak bawa apa-apa, kehadiran mereka adalah yang terpenting.

Mereka berakhir belajar bersama di bawah kasur tingkat Chaki. Kemudian setelahnya tidur di kasur masing-masing. Memang bukan kewajiban untuk tidur bersama, sementara mereka punya dua kasur terpisah.

Bima lagi-lagi coba cari petunjuk dari tindak-tanduk Chaki, teringat obrolan dengan Nico tempo lalu. Namun nihil, seolah benar, ragu dan bingung itu hanya karena Chaki gugup ingin bertemu Ibu.

Tanpa tahu, ada hal lain lagi yang Chaki kubur dalam, sendirian. Bima coba lihat kedalam matanya, tapi Chaki adalah penyimpan rahasia yang baik.

Harap Bima, Chaki bisa segera tahu arti dari perasaannya. Tanpa paham bahwa Chaki tahan diri untuk tak dipeluk Bima malam ini karena Chaki sendiri sudah tahu perasaannya, tak ingin Bima dengar detak jantung serta tahu gugupnya. Serta tak ingin Bima lebih dalam baca matanya, karena dia adalah pembaca mata yang baik.

Chaki sudah sadar perasaannya, tapi ia bisa buat apa?

reason — bagian dua


Tidak ada yang pernah berakhir baik dari memendam. Memendam kebenaran, memendam perasaan, memendam sakit, memendam keinginan, memendam amarah.

Seperti menggores luka pada tempat yang sama. Memendam segala hal punya waktunya sendiri, dimana itu akan terasa sangat sakit dan tak mampu lagi untuk diabaikan. Sebab segala hal ada batasnya, sebab luka yang berdarah harus diobati.

Saera mengangguk pada Bima sekali lagi, mencoba meyakinkan cowok itu bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa memang sudah seharusnya mereka membiarkan Chaki dan Abangnya bicara berdua. Hela napas Bima kasar, ia mendekat kearah kursi Chaki sebelum kakinya melangkah keluar ruangan. Chaki mendongak kearahnya, ada jutaan rasa dari netra sekelam malam itu, membuat Bima ingin memeluk dan menariknya dari sana, tapi ia tahu bahwa ia tidak mungkin membiarkan masalah ini berlarut.

“Cha, bentar. Sebelumnya izinin aku ngelakuin satu hal,” Chaki masih diam, saat Bima berjalan mendekati Nico. Mencoba mencari tahu apa yang akan dilakukan Bima sesungguhnya.

“Bang, sori, gua harus ngelakuin ini dulu. Soalnya gua tau Chaki gak akan bisa, gua mewakilkan apa yang harusnya dia lakuin sejak lama,” Nico pun diam, mencerna.

Kerahnya ditarik Bima dengan kasar sampai ia harus berdiri. Tanpa aba-aba Bima menyapa pipinya dengan kepal kuat yang menghantam tulang pipi. Saera berteriak kecil. Chaki berjengit di kursinya, mencoba memanggil Bima yang kini semakin gencar memukul wajah Nico tanpa ampun. Tidak ada perlawanan, bahkan saat perutnya terasa nyeri karena pukulan itu sudah berpindah. Nico bisa merasakan bibirnya robek, lebam pada pipi juga perutnya yang nyeri, namun tak ada niatan untuk membalas Bima. Ia memang lebih dari pantas untuk menerima ini semua.

Nico bertanya-tanya, sedalam apa luka yang telah ia tancapkan pada sosok rapuh yang kini kabur dalam pandangan, sebab matanya sudah bengkak akibat pukulan Bima yang tak main-main. Nico menerka-nerka, sakit seperti apa yang Chaki bagi pada Bima, sampai cowok itu rasanya bisa membunuhnya saat ini juga kalau tidak karena Chaki yang memintanya berhenti. Dari segala duganya, Nico yakin semua ini belum seberapa, barangkali ia pantas mendapatkan patah kaki atau paling tidak perawatan di rumah sakit dua minggu penuh.

“Aku ada di depan, kalau kamu butuh. Kamu tenang aja, ada aku, Cha, ada aku,” kalimat itu terus terulang dalam kepala Chaki, sebelum Bima benar-benar menghilang dibalik pintu bersama Saera yang panik melihat jemari Bima yang berdarah-darah dan bilang akan segera mengobatinya. Keheningan kembali melanda kedua saudara kandung ini.


Senyum Nico terasa sangat menyakitkan sebab diiringi ringisan. Chaki memandangnya, Nico tak tahu itu apa, tapi rasa rindu yang sudah dipupuk bertahun lamanya membuncah dan membumbung dalam hati. Keinginan untuk memeluk adik kandungnya serasa mencekik, air mata menerobos tanpa diperintah. Memberi rasa sakit lain, saat alirnya melewati luka di matanya yang bengkak dan bibirnya yang robek.

“Hai, Cha? Abang harap bisa berpenampilan lebih baik waktu kita akhirnya bisa ketemu,” Nico berkata, menggerakan bibirnya perlahan karena sumpah ini sangat ngilu.

Tidak ada respon dari Chaki yang sibuk mencari sesuatu dalam tas selempang kecilnya. Nico memaklumi.

“Kabar kamu gimana? Baik? Lagi persiapan ujian ya?” lanjutnya kembali. Sesulit ia berkata sebab sakit yang dirasa, ia tahu memang usahanya harus sepadan dengan seluruh rasa sakit yang pernah ia torehkan.

Alih-alih menjawab, Chaki menyodorkan beberapa lembar tisu kepada Nico.

“Darahnya masih ngalir, harus diobatin, di lap dulu pakai tisu.”

Kalimat itu patah-patah dan terasa kaku, tapi air mata Nico tidak bisa mengkhianati perasaannya sendiri. Nico benar rindu sampai ingin mati, Nico benar ingin menariknya dalam dekap meski itu harus menyembah kaki adiknya dulu. Suara lembut itu, sudah hampir tiga tahun ia tak pernah mendengarnya. Nico menangis sampai sesaknya ikut hinggap pada dada, di depan Chaki. Melupakan sejenak tentang predikat mahasiswa berwibawa, kebanggaan, juga predikat lainnya di kampus. Sebab Nico pada akhirnya adalah manusia biasa, yang rindu rumah juga tempat pulangnya. Merindunya sampai ia juga punya sakit yang sama yang selalu ia pendam sendirian.

Air mata Chaki ikut luruh, buru-buru ia hapuskan. Tangannya mengelap darah segar yang masih keluar dari sudut bibir Nico. Gerakan tangannya terhenti saat Nico membawa kedua telapaknya dalam genggam yang gemetar, meragu, namun penuh kehangatan. Hangat yang bertahun-tahun sudah hilang dalam kamus mereka berdua. Chaki diam memandangi tangannya, kemudian matanya naik menatap netra yang sama kelam dengan miliknya, netra yang meredup dengan genangan air di pelupuknya.

“Maaf, maaf, maaf, maaf. Chaki maafin Abang, Cha. Maaf untuk semuanya, maaf, maaf maaf, maaf..” kata itu meluncur, berkali-kali, kalau bisa ribuan kali. Dibawah napas Nico yang berat, disela ringis yang ngilu. Nico terjatuh, di hadapan Chaki, dengan tangis yang pecah hebat juga tubuh bergetar kuat. Seolah ia ingin menyembah agar diberi pengampunan.

Chaki ikut terduduk, perih hatinya melihat ini semua. Seperti apa yang pernah ia ceritakan pada Bima, ia tidak pernah benar-benar membenci Abangnya. Ia tidak bisa, sebab rasa sayangnya melebihi sakitnya luka. Maka Chaki peluk tubuh itu, memberinya hangat yang sebelumnya begitu asing untuk mereka bagi bersama. Memberitahu bahwa, biar seperti apapun sakitnya, maaf Chaki tetap akan mengalir tanpa syarat pada Abangnya.


Kemarau bertahun tersapu hujan satu hari. Barangkali hanya butuh kata maaf yang berani untuk menyembuh luka yang bekarat ini. Segala egoisme dan kebencian yang terpupuk, luruh terbawa air mata yang mengalir tulus dari kedua saudara kandung ini. Chaki tidak menyangkal, sakitnya masih disana, tetap ada, namun ada rasa lega saat hatinya mampu memberikan maaf yang Abangnya butuhkan. Seolah duri yang mengganjal telah mampu dibuangnya. Lukanya ada, tapi nanti biar diobati, perlahan-lahan.

Nico menceritakan semuanya, alasan sakit yang harus ia beri juga ia terima. Ia menyanyangi Chaki lebih dari dirinya. Tuntutan Papa begitu banyak pada Nico tujuh tahun, ia belum mengerti apapun tapi Papa memintanya mengerti sejak dini. Papa bilang dia harus jadi orang hebat, hanya orang hebat yang bisa menyelamatkan keluarga. Tanpa kemampuan dan kepintaran, kita tak bisa apa-apa.

Papa mendorong Nico berlari jauh, dengan kedua kaki kecil yang masih rapuh. Nico takut, tapi Papa bilang jika ia ingin melindungi Mama dan Adiknya, Nico harus. Maka Nico belajar mati-matian agar pintar, berusaha menjadi hebat seperti yang Papa minta, sebab katanya itu cara satu-satunya ia bisa menjaga Mama dan Adiknya. Tidak pernah tahu bahwa Papa mendikte hal yang berbeda pada Adiknya, membuat hidup mereka seolah dalam persaingan.

Nico tumbuh dan besar dalam rasa bangga Papa, juga bangga pada dirinya. Sebab ia pikir ia sudah mampu menjaga Mama dan Adiknya. Nico tujuh belas, menyadari bahwa apa yang Papa lakukan penuh ambisi juga egoisme. Papa pernah berkata bahwa orang malas dan bodoh akan membawa derita, tak ingin keluarganya mencecap itu semua maka berusaha sekuat tenaga adalah sebuah keharusan meski itu artinya mendidik kedua anaknya dengan keras. Tapi Nico menyadari, lama kelamaan semua menjadi salah dan melewati jalurnya.

Keinginan Papa benar, namun Papa sudah termakan ambisi. Nico tujuh belas, menyadari bahwa bukan melindungi, yang ia lakukan malah membuat Mama dan Adiknya tersakiti. Segala prestasi dan puja puji yang ia terima, rasanya hambar sebab tangis Chaki dan sakit pipi Mama yang Papa berikan karena katanya tak mampu mengajar Chaki dengan benar. Nico tujuh belas, menyadari bahwa ia telah dibodohi.

Papa suatu hari berjanji, berhenti bertingkah semaunya jika Nico bisa membawa nama baik keluarga, menjadi yang terbaik di kota nya dan sekolah ke luar negeri. Maka Nico kembali mencoba, belajar sampai rasanya mau mati. Saera menjadi saksi hidup bagaimana Nico pingsan saat ujian lalu ikut susulan. Bagaimana Nico mimisan saat jam pelajaran. Nico, tak sekuat itu. Tapi tujuannya tetap satu. Mama dan Adiknya, bahagia.

Nico delapan belas menyadari, bahwa ia adalah realisasi dari ambisius yang sesungguhnya. Sebab sibuknya ia belajar dan mengejar, membuat ia tak pernah dekat dengan Adiknya. Membuat ia tak tahu bahwa ia telah menggores luka. Hari dimana ia melihat Chaki mengepak baju-baju ke dalam koper kecil, ia menyadari bahwa ia tak pernah sesantai itu untuk bisa bertanya apa yang dilakukan Adiknya. Hari itu juga Nico menyadari, bahwa keluarganya jauh dari kata baik-baik saja. Ia, bukannya melindungi, tapi memberi retakan lebih dalam lagi.

Hari itu, Nico delapan belas, tahu bahwa ia merusak segalanya, juga kehilangan segalanya saat Papa memberi tampar pada Adiknya dan Mama yang pingsan karena sakit jantungnya. Nico delapan belas, ia tidak tahu apa-apa.

Hari yang harusnya membahagiakan, menjadi yang paling menyakitkan. Keinginan Papa agar ia sekolah di luar negeri menjadi mimpi buruk saat ia berada pada posisi ini. Dan saat ia harus pergi, saat itu juga Mama meninggalkannya, selamanya. Tanpa Nico yang bisa melihatnya untuk terakhir kali, tanpa Nico yang bisa mengucapkan perpisahan terakhir kali, tanpa Nico yang bisa menggenggam sosok yang melahirkannya untuk terakhir kali. Nico harus pergi, Papa bilang dunia masih berputar meski hidup kita serasa berhenti. Papa bilang Mama akan bangga atas apa yang telah ia lakukan ini.

Nico delapan belas, pergi. Dengan hati dan perasaan yang tercecer, mati.


Tangis Chaki memilukan, tapi peluknya yang hangat pada dada membuat Nico mengembang senyuman. Barangkali bukan hampir tiga tahun, tapi Nico sudah kehilangan Chaki sejak dulu, sejak lama sekali. Usakan pada kepala yang lebih muda ia berikan. Semuanya berat, berat bagi mereka harus hidup dalam prasangka yang menenggelamkan mereka tak ada habisnya.

Nico dua puluh satu, mengerti bahwa tujuan hidupnya menjadi hebat tak akan berarti, tanpa kasih dan sayang keluarganya sendiri.

“Udah ya, Cha. Kamu nggak capek?” Kepala yang ia usak menggeleng, tangisnya sesegukan dan terdengar sangat lucu ditelinga.

“Cha...”

“A-abang, Chaki kangen Abang,” pelukan pada dadanya mengerat, juga bajunya makin basah, tapi Nico belum pernah sebahagia ini. Jadi ia balas lebih erat lagi, mengucapkan maaf berkali-kali, juga kata rindu yang sebelumnya mencekik mati.

“Maafin Abang, Cha. Maafin Abang terlambat,” sebuah gelengan ia terima, Chaki kembali menangis.

Nico dua puluh satu, menyadari bahwa kebahagiaan saat ia bisa dengar tawa Chaki sebab ucapannya lebih dari perasaan menjadi yang terbaik bagi semua orang. Sebab untuk apa jadi terbaik bagi orang lain tapi tidak pernah jadi yang baik untuk keluarganya sendiri.

Nico dua puluh satu, tersenyum bangga di balik kaca. Saat mata Saera dan Bima melihatnya dengan berjuta rasa, tak tahu jelasnya apa, namun ada haru di sana.

Nico dua puluh satu, berjanji bahwa setelah ini, ia hanya ingin melakukan segala hal yang terbaik bagi Chaki. Pada satu-satunya hal yang harus ia bahagiakan dan lindungi dari keegoisan Papa.

Nico dua puluh satu, menyanyangi Chaki sepenuh hati. Dan rasa rindu yang mencekik mati juga masih menemani. Sebab Nico butuh Chaki sebagai rumahnya pulang, lagi.

reason — bagian satu


Telapak hangat makin mengerat, melingkupi jemari yang lebih mungil dalam genggaman. Langit gelap membentang dengan taburan bintang yang berkelip malu sepanjang jalan, menemani langkah kedua orang yang berkutat dengan pikiran masing-masing. Remasan yang posesif dan keringat yang mengalir dalam genggam mengundang kedua sudut bibir Chaki terangkat naik. Bukannya tak sadar, sejak sore Bima terlihat lebih uring-uringan ketimbang dirinya sendiri. Meski tersenyum geli, ada perasaan hangat yang lamat-lamat menyusupi hati. Bima tidak pernah menyadari, apa yang dilakukannya selalu membuat Chaki mendapat kekuatannya sendiri.

Jujur, Chaki sebenarnya sangat tidak siap untuk bertemu Abangnya, pun juga Saera. Anggap Chaki lemah, tapi hatinya tidak pula sekuat itu. Selalu ada rasa sakit yang menancap dalam, hatinya sudah lama remuk redam. Takut, Chaki takut tidak mampu mengendalikan dirinya. Seolah selama ini sudah berlari jauh sekali, hanya untuk mendekati sumber luka kembali. Sia-sia. Namun, tingkah Bima yang seperti ini membuat Chaki yakin akan satu hal; Bima disini, selalu disini untuknya. Maka Chaki pikir, apalagi yang harus ia takuti?

Saat kedua netra cokelat madu itu menatapnya dengan banyak perasaan yang bergumul jadi satu, Chaki mengangguk penuh yakin. “Bima jangan khawatir, aku—kita harus selesain ini, Bim.”

Dan saat sabit ikut terbit setelah senyum terkembang diakhir kalimatnya, angguk kecil Chaki terima dari cowok jangkung di depannya. Bersamaan pintu kayu cokelat yang terbuka dengan denting lonceng menyambut, Chaki yakin ini memang sudah waktu bagi lukanya dicabut.


Ruangan di sudut kiri kafe kopi milik Saera yang jauh dari keramaian pengunjung menjadi pilihan. Sepuluh menit berlalu, setelah kedatangan Chaki dan Bima, namun kesunyian makin kental melingkupi, menelan mereka dalam keterdiaman dan pikiran yang berlarian.

Dibawah meja, telapak Bima masih setia mengenggam, meski matanya kini menatap tajam pada cowok yang duduk di sebelah Saera, tepat di depannya. Seseorang yang baru pertama kali bisa membuat dirinya begitu marah, meski mengenal pun tak pernah. Seseorang yang memancing jiwa pemberontaknya, bahkan tanpa pernah bersapa. Seseorang yang sangat ingin ia buat tak mampu berjalan lagi, tanpa alasan pasti.

Abang Chaki.

Merasakan ketegangan dalam tiap-tiap tarikan nafas di ruangan ini, Saera berdeham.

“Jadi, mau minum apa? Aku udah nanya tiga kali loh, aku bawain apa aja ya kalo gitu,” Saera bersuara, getarnya merambati kesunyian yang seolah mencekik mati. Suaranya ia buat senatural mungkin, meski jauh di dalam hatinya, ia resah.

Matanya melirik Nico, cowok itu tersenyum kecil padanya, Saera mengangguk dan berjalan menjauh. Merasa bahwa Bima yang kini sudah bersandar malas pada kursinya, nampak acuh dan Chaki yang sejak kedatangannya masih setia menunduk, tidak akan menjawab pertanyaannya.

“Cokelat,” adalah kalimat pertama yang keluar dari bibir gemuk Chaki setelah diamnya yang tak berujung. Semua mata memandangnya kini, termasuk Saera yang langkahnya berhenti mendadak.

“Y-ya? Cha?” Saera tidak tahu bahwa suara yang dikeuarkannya sampai bergetar begitu ia mendengar Chaki bicara padanya.

“Bima gak bisa minum kopi, tolong bawakan dia cokelat hangat.”

Saera mengangguk cepat, setelah kata ya ia lontarkan. Sementara Bima, genggamnya tak sekalipun terlepas diantara tatap nanar penuh kerinduan yang Nico berikan pada Chaki yang kini menunduk kembali.

Pada akhirnya mereka menyadari, memaafkan dan menghapus luka yang sudah bernanah termakan usia butuh persiapan lebih lama. Sebab luka yang ditabur garam air mata dan perih ketakutan, tak mudah untuk dilenyapkan.

kok bisa?


Tepat setelah Acel mengirim pesan terakhir pada Gavi, ia segera mengambil jaket dan juga memakai sepatunya. Melangkahkan kakinya menuju lantai dasar untuk menunggu Gavi sampai di apartementnya. Namun, belum saja kaki Acel menginjak lantai dasar, suara denting handphone menyita perhatiannya. Gavi sudah sampai, cepet banget, sengebut apa dia?, pikirnya.

Acel menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari mobil yang Gavi maksud, Acel juga merasa heran karena Gavi memarkirkan mobilnya di parkiran yang biasa digunakan oleh penghuni apartementnya. Kakinya melangkah lebih cepat begitu melihat mobil yang dimaksud, menghampiri alpha menyebalkan yang hari ini menjadi penyelamatnya.

“Hai, sorry ya, lo udah nunggu lama?” Acel duduk di samping Gavi, langsung mengenakan sabuk pengamannya dengan tergesa.

“Lama banget, dari semalem gua disini,”

Mulut Acel membola, tidak paham dengan maksud alpha di sampingnya.

“Hah? Gimana?”

“Gua tinggal di sini juga,”

Mata Acel berkedip-kedip lucu sebelum ia kembali menetralkan air mukanya lagi, kok bisa se apartement segala sih, gerutunya.

OH...


Entah sudah kali keberapa Gavi melihat pemandangan yang sama. Acel dengan seseorang yang terduga sebagai pacar lelaki itu, baru datang di jam yang tidak berselang lama dari dirinya datang. Sumpah Gavi benar-benar tidak peduli, tapi bagaimana bisa ia menulikan diri dari bisik-bisik yang berseliweran di kantor. Bagaimana pun akan sangat bosan kalau kita bekerja tanpa ada bumbu-bumbunya, dan gossip seperti ini adalah salah satu cara orang-orang melepas penat.

Seperti saat ini, entah Gavi yang memang cenderung apatis atau memang dia agak penasaran juga dengan bahan obrolan di kantor. Semua orang ternyata membicarakan Acel, Gavi pikir mungkin orang-orang ini tidak punya banyak pekerjaan deadline yang harus dikerjakan sampai punya waktu luang untuk bergossip. Tapi mau tak mau Gavi jadi mendengar juga apa yang mereka bicarakan.

”....katanya temen dari jaman kuliah sama Pak Acel si Boss itu,” perempuan yang berambut pendek, biasa mengurusi bagian pengeditan berkata. Gavi tidak tahu namanya siapa, tidak begitu peduli.

Hari ini ia punya jadwal survei lokasi agak siang dengan Acel, jadi punya waktu beberapa jam untuk mengecek hasil photoshoot nya beberapa hari yang lalu di kantor.

“Ohh, tapi deket banget ya mereka. Kaya pacaran gak sih menurut kalian?” yang berlipstick agak merah tebal menimpali, tangannya sedang sibuk dengan kaca kecil yang dia arahkan ke bagian mata. Memasang lensa kontak abu-abu.

Dalam hati Gavi bertanya-tanya sendiri bagaimana bisa dia sangat santai padahal ini sudah dua jam dari jam operasional kerja berlangsung, sedangkan mereka belum melakukan apa-apa.

“Cocok sih, Pak Acel tuh kan kaya manis dan baik banget. Terus liat Pak Calvin juga kayanya dari cara mandang Pak Acel beda banget. Gue suka liatin tuh kalau mereka makan di kantin bareng. Lo bayangin aja, pergi-pulang bareng, makan bareng, terus kaya Pak Calvin sikap nya lembut banget ke Pak Acel. Giliran ke kita galak nya minta ampun,” ini lain lagi, perempuan yang menggunakan rok kurang bahan yang baru saja kembali dari pantry ikut menambahkan.

Gavi menggeleng, dalam hati mengumpati diri sendiri yang mendengarkan obrolan tidak penting seperti itu. Tak lama Gavi mendengar suara Pak Sidik menyapa mereka, dan mereka berlarian ke meja kerja, pura-pura melakukan pekerjaannya.

Lagipula mengapa ruang editing ini harus bersebelahan dengan ruangan perempuan-perempuan itu sih.

“Loh ada Mas Gavi, kamu dicariin Acel lhoo tadi Mas, rupanya lagi edit disini,” itu Pak Sidik, baru saja menemukan Gavi saat memasuki ruangan editing.

“Dimana, Pak? Ini saya ada yang mau di edit sedikit,” jawab Gavi, tidak lupa menyapa sebentar sebagai sopan santun.

“Itu di ruangannya, katanya mau berangkat,”

Gavi yang mendengarnya buru-buru berpamitan, takut akan di makan hidup-hidup. Salahnya lupa menghidupkan mode suara pada ponselnya, hingga ia meringis saat melihat ada 15 missed calls dari Acel.

Mati gue.

changing


Terhitung dua minggu sudah sejak Gavi mulai bekerja sebagai photographer yang direkrut oleh Acel. Bertemu hampir setiap hari, bekerja bersama untuk merampungkan project mereka, bahkan makan siang bersama sudah dilakukan keduanya. Tidak juga berubah menjadi akrab sih, hanya saja mereka sudah bisa menghargai kehadiran satu sama lain sebagai rekan kerja. Meski pertemuan pertama mereka tidak cukup baik, namun profesionalitas tetap terjaga di antara mereka.

Meski sesekali Acel kerap mencibir omongan Gavi yang pedas —di luar lingkup pekerjaan tentunya, begitu pun sebaliknya. Bagaimana juga mereka agak sulit di satukan, seperti air dan minyak. Gavi yang kelewat cuek dengan Acel yang butuh di respon. Gavi yang tidak banyak omong tapi lebih banyak bekerja dengan Acel super detail dan cerewet. Pertengkaran kecil tentu tidak bisa terhindarkan.

“Mata lo tuh awas juling ya kalo gue kasih tau begitu terus,” kata Acel yang jengah dengan tingkah Gavi yang sering memutar bola matanya, malas jika sudah mendengar ocehan Acel yang super berisik. “Gue boss lo, kalo lo lupa,” Acel tidak benar-benar seserius itu mengatakannya, mereka tahu kok, sebab seringkali melontarkan ucapan-ucapan seperti itu namun tidak ada yang sakit hati.

“Lo tuh bisa gak sih gak usah pake titel boss padahal kita lagi break,” sewot Gavi setiap kali Acel mengancamnya. Serius ya, dia hanya ingin menikmati makan siangnya saat ini, bukan menikmati omelan Acel.

Acel tertawa dan menjulurkan lidahnya iseng, “suka-suka gue dong.”


Acel baru saja selesai melakukan sebuah panggilan, ia menyimpan ponselnya ke dalam saku sebelum menghampiri Gavi yang menunggu bersandar di sisi mobil. Mereka baru saja selesai survei lokasi untuk pengambilan gambar Gavi, untuk pameran nanti. Lokasinya masih mencari yang pas, kemarin mereka mengunjungi beberapa pantai, juga hutan kota. Hari ini beberapa lokasi yang cukup dekat, taman kota. Tema pameran kali ini adalah nature, mengikuti konsep gedung baru yang akan diresmikan itu, yang mengusung tema go green. Jadi, sebisa mungkin mereka harus mengeksplor tempat-tempat yang masih asri, belum terlalu banyak terjamah orang.

“Oh, udah?” Gavi menegakkan tubuhnya, menatap Acel yang hanya manggut-manggut selagi matanya bergerak memerhatikan sekitar. Mereka sekarang ada di salah satu restoran dekat taman kota, setelah sebelumnya makan siang dan memutuskan untuk kembali mencari sudut yang pas untuk dijadikan tempat pengambilan gambar.

“Gav, makan es krim dulu yuk?”

“Kita kesini kan mau hunting lokasi ya, Pak Marcel yang terhormat,” Acel menepuk lengan Gavi dengan kencang kemudian menggerutu, Gavi mengaduh sambil mengelus lengannya.

“Gue mau makan es krim dulu pokoknya,” Gavi memutar matanya malas, sudah pasti dia mengikuti langkah si Omega, bisa mengamuk seperti bayi kalau Gavi meninggalkannya untuk hunting sendirian.

Acel terkekeh melihat Gavi yang membuntutinya, ia memesan es krim dengan ukuran besar, lebih besar dari wajah Acel yang agak mungil —ini kata Gavi. Gavi tidak berniat untuk makan es krim, tapi Omega di depannya terus saja menyodorkan es krim yang dipesan untuk Gavi.

“Ambil gak? Gue mau makan es krim gue juga nih, bukan megangin punya lo.”

Emang dasar menyebalkan, gumam Gavi.


Pekerjaan Acel dan Gavi kini lebih banyak di luar kantor, baik itu hunting lokasi atau menemui orang-orang penting, juga dilakukan keduanya. Mengingat waktu peresmian gedung baru dan pameran tak lama lagi berlangsung. Oleh sebab itu, Acel jadi jarang mengobrol lama dengan Calvin, meksipun berangkat dan pulang kerja masih bersama. Sesekali Acel menerima panggilan dari Calvin saat makan siang untuk sekadar bertukar kabar tentang dimana Acel, bagaimana pekerjaannya, sudah makan dan lain sebagainya.

Gavi yang secara tidak langsung selalu manjadi saksi hidup atas kegiatan bertukar kabarnya Acel tersebut sesekali melirik. Pasalnya Acel selalu bicara dengan nadanya yang sok manis saat bicara dengan Calvin, tidak seperti panggilan lainnya yang terdengar formal dan sopan. Gavi sih tidak pernah peduli dan ambil pusing dengan siapa Acel bicara, bukan urusannya juga bukan? Namun ia mengambil kesimpulan bahwa orang yang sering bicara dengan Acel di telfon adalah pacarnya, mungkin yang waktu itu di lobby kantor, tidak terlalu penting juga sih untuk diingat.

Hari itu tak jauh berbeda, Acel baru saja menutup panggilannya dengan Calvin dan senyumnya merekah lebar, menempel lebih lama pada wajah Acel daripada waktu-waktu kemarin. Hal itu membuat Gavi heran sendiri, tapi lebih memilih tidak membuka mulutnya untuk komentar. Tidak penting.

Suara dering pesan masuk mengalihkan fokus Gavi pada ponselnya. Ketika melihat sang Mama yang mengiriminya pesan, Gavi langsung mengambil ponselnya, wajah yang semula tenang kian lama kian mengeras. Berubah drastis dalam waktu sepersekian detik.

Acel memerhatikan perubahan ekspresi itu, ia yang semula akan menyuapkan nasi ke dalam mulutnya kini menyimpan sendoknya lagi di atas piring. Entah mengapa perasaannya jadi ikut tidak enak, barangkali saja terjadi sesuatu yang buruk. Jangan salahkan Acel, bukan karena dirinya seorang Omega, pada dasarnya Acel memang adalah orang yang sangat sensitif dan perasa. Jadi hal-hal kecil saja kerap kali membuat nya penasaran setengah mati.

Setelah Gavi menyimpan ponselnya di atas meja, Alpha itu langsung menenggak kopinya cepat, dalam diam. Gavi tidak berkata apapun tapi rahangnya masih mengeras, juga alisnya yang berkerut tegang.

“Lo kenapa Gav?” Acel mencoba bertanya.

Gavi melirik ke arah Acel sebelum mengatakan tidak apa-apa. Setelahnya Acel hanya diam, merasa lancang kalau ia memaksa Gavi bilang padanya. Lagi pula dia siapa? Mereka tidak cukup akrab untuk saling berbagi kisah. Tapi biar begitu, mata Acel selalu kembali memperhatikan Alpha yang scentnya berubah, pekat, mendandakan Gavi sedang marah dan kesal sejak menerima sebuah pesan tadi.

Kenapa lo jadi pengen tau sih Cel? Kebiasaan deh. Keluh Acel dalam hati.

kerja


Kepulan asap dari panasnya kopi menemani pagi Acel selagi merapihkan berkas-berkas di atas mejanya. Jarum jam masih menunjuk ke angka delapan, masih ada waktu tiga puluh menit lagi sebelum jam masuk kerja dimulai. Acel kemudian duduk menyesap kopinya sembari memikirkan hal yang perlu ia lakukan seharian ini.

“Pagi, Marcel.”

Acel menaruh gelasnya sebelum menyapa balik laki-laki jangkung di depannya.

“Hari ini kamu perkenalan dulu ya. Pertama ke atasan kita, terus nanti ikut saya keliling kantor dan ikut meeting siang ini ya.”

“Oke,” Gavi mengangguk nurut sebelum mengambil duduk di samping meja milik Acel.

Baru saja Acel akan melangkahkan kaki dari kursinya, Pak Sidik datang dengan senyuman cerah yang menyapanya, “Pagi Marcel,” sapanya.

Acel membalas seraya tersenyum dan membungkuk sopan menanggapi sapaan atasannya, “Gimana? Udah dapat fotografernya?”

“Oh baru saja saya mau ke ruangan Bapak dan mengenalkannya,” Acel tersenyum kembali, membuat Gavi bertanya-tanya mengapa cowok mungil itu sangat mudah tersenyum jika bukan kepadanya, “Namanya Gavi, Pak. Hasil foto-fotonya yang sudah saya kirim email dan bapak approve waktu itu,” yang disebut namanya tentu langsung reflek membungkuk sopan.

Gavi memperkenalkan diri dan keduanya berbincang sebentar sebelum Pak Sidik kembali meminta atensi penuh dari Acel.

“Saya hari ini gabisa ikut meeting, bisa ya kamu nanti kirim ke saya hasil meeting nya? Ambil dua konsep terbaik saja, Cel,” Acel menyanggupi sehingga ia mendapat tepukan di pundaknya.

“Oh iya, berarti pembuatan company profile pun diobrolin sekalian ya, Cel.”

“Siap Pak, untuk pelaksanaan kapan mulai kerja untuk pembuatan sih saya udah buat time schedule, kemungkinan minggu ini Gavi sudah mulai garap kerjaannya Pak.”

Pak sidik mengangguk sebelum berpamitan dengan Gavi dan Acel yang kini masih berdiri menunggu Pak Sidik cukup jauh dari tempatnya sebelum keduanya kembali duduk.


“Lo dengerin gue gak sih?” Omel Acel, ia bahkan melupakan formalitas yang sejak pagi tadi ia coba pakai dengan Gavi.

“Iya di dengerin kok. Omong-omong kita jadi ngomong non formal sekaranag? Gua manggil nama atau gimana?” tanya Gavi penasaran, sebab Acel mendadak bicara non-formal kepadanya.

Menghela nafas kasar Acel menanggapi Gavi asal, “Panggil Mas Acel.”

“Sori? Gak salah?”

“Ih gue kan atasan lo gak salah dong, Gav,” Protes Acel, “Pakai bahasa non-formal aja deh biar lebih santai, kita juga seumuran kan? Tapi gue tetep atasan lo ya, awas lo gak nurut sama gue.”

“Iya, yaudah lanjut lagi ini konsepnya mau gimana tadi?” Baru hari pertama kerja, namun mereka tidak lepas pertengkaran hanya karena hal sepele.


Gavi mengikuti langkah kaki Acel, ia menggerutu di belakang Acel, sedikit kesal karena langkah omega di depannya ini terus saja berhenti untuk menyapa rekan kerjanya. kayak jarang ketemu aja sih, nyapanya gausah lebay kek rutuknya.

Setelah beberapakali keduanya berhenti untuk menyapa beberapa rekan kerja Acel, kini keduanya sudah memasuki sebuah ruangan besar yang biasa digunakan sebagai studio untuk keperluan perusahaan, Acel menyalakan lampu dari saklarnya sebelum matanya mengitari seluruh ruangan besar ini.

“Ini ruangannya, gak akan makan tempat banyak juga kan?”

Gavi mengangguk sembari memandangi seisi ruangan.

“Yang take disini gak banyak kan? Cuma yang sibuk-sibuk gabisa take keluar? Ya tinggal bikin backgroundnya supaya gak monoton itu-itu terus aja sih.”

Acel mengangguk singkat, ia terbatuk ketika debu dari meja yang baru saja ia tiup malah mengganggu hidungnya, Gavi yang melihat itu hanya menggelengkan kepalanya heran.

“Ya itu, yang mesti take diluar dan pas kegiatan aja berarti yang mesti pas lo ngasih taunya.”

Acel menatap heran Gavi yang hanya mengangkat sebelah alisnya karena tatapan Acel itu, “Apa?” tanyanya.

“Udah gue atur, tapi disini gue atasan lo ya, seenaknya aja lo ngatur-ngatur gue? Ngasih tau lo pas atau enggak ya sebebas gue lah, beneran gue bikin lo dateng jauh lebih awal lo ya, mampus.”

Gavi memutar bola matanya malas, omega male disampingnya memang terlalu perasa dan Gavi tidak mau memperpanjangnya, sehingga ia berputar balik meninggalkan Acel untuk mengecek seisi ruangan.