tolong, bu
Chaki tersenyum saat Ibu kembali mengelus kepalanya sayang sembari mengobrol agak serius dengan Saera. Mereka duduk di kursi pojok kafe milik keluarga Bima, ingin melihat-lihat katanya. Ayah di rumah, mengurus burung murai peliharaannya, sedangkan Rayyan sudah tidur siang setelah meminta Chaki menemani bermain robot di kamar. Dari ekor matanya, ia menangkap senyum Saera yang lembut, dan dibalas dengan anggukan paham.
Kenyataannya, Chaki berkunjung ke rumah orangtua Bima, bukan menginap ditempat Saera seperti yang ia katakan. Memang ia sudah pernah berjanji untuk main kerumah Ibu di lain waktu, hari ini dipilihnya karena ada hal yang ingin diutarakannya juga pada Ibu. Itu melibatkan Saera.
Sambutan Ibu selalu hangat, bahkan sebelum berangkat selalu menanyakan keyakinan Chaki karena kesini tanpa Bima. Ibu lebih dari mengerti kalau ada yang ingin dikatakannya tanpa Bima tahu.
“Menurut Ibu, gimana?” Saera memastikan kembali. Raut wajah Ibu nampak kaget dan bingung, tapi Chaki bisa lihat ada binaran harap disana.
Remasan telapak Chaki pada jemari Ibu membuat kebingungan beliau tak berlangsung lama, diberinya pengertian pelan-pelan.
“Ini akhirnya tetap jadi punya Ibu, semua Ibu yang jalanin. Kak Saera cuma bantu aja, Bu,” Ibu menatap ragu, tawaran barusan memang begitu bagus untuk keberlanjutan usahanya. Tapi apa tidak merepotkan? Apa seperti itu bisa?
“Modal Ibu nggak banyak, nak. Kamu pasti kesulitan.”
Kekhawatiran Ibu sedikit banyak bisa Saera pahami, biar bagaimanpun mempercayai orang yang baru ditemui bukanlah hal yang mudah. Jadi ia harus membuat hal ini jadi sederhana.
“Anggap seperti franchise, Bu. Tapi nanti Ibu boleh cicil pelan-pelan ke aku. Bedanya sama franchise biasa, ini bisa Ibu kembangkan sendiri, nanti awal-awalnya aku bantuin semua Bu.”
Ibu mengangguk-angguk mengerti, barangkali penjelasan Saera mulai membuka pikirannya.
“Usaha Kak Saera udah terkenal lho Bu ditempatku. Di sekolah juga Kak Saera buka cabang satu. Nah kalau Ibu buka disini, aku jamin pelan-pelan bisa ramai lagi deh. Apalagi Ibu jago banget bikin-bikin kue gitu.”
Nyatanya rayuan Chaki menghasilkan anggukan kepala Ibu dan senyum hangat dengan binaran keyakinan yang belum pernah dilihatnya. Saera menghela napas lega, seolah beban dipundaknya tentang menunaikan permintaan tolong Chaki ini berhasil luruh sekaligus saat Ibu menyetujui ide mereka.
Saera bisa lihat airmata yang menggenang dipelupuk mata Chaki saat ia menatapnya. Bahagia, lega, tapi ada beban berat tersirat disana.
Beban berat Chaki.
Rumah Ibu agak lengang selepas makan malam. Tadi siang, selesai mereka membicarakan mengenai pembangunan ulang beberapa sudut dan desain kafe, Saera pamit pulang setelah mendapat panggilan penting. Katanya itu dari pihak kontraktor. Jadi demi keberlangsungan semua rencananya secara cepat, Saera harus meninggalkan Chaki sendiri. Lagipula, Chaki nampak senang-senang saja, rumah ini sudah seperti rumahnya sendiri.
Cuaca sedang bagus karena langit dipenuhi banyak bintang saat dilihat dari teras depan. Kepulan asap dari cokelat hangat buatan Ibu menghalau sedikit hawa dingin. Tawa Rayyan sayup-sayup hilang ditelan sunyi saat balita itu tertidur dalam pelukan Chaki. Kemudian Ayah mengangkatnya, membawanya dalam pangkuan diatas kursi roda dan bilang akan menidurkan Rayyan di kamarnya.
Chaki dapat pelukan familiar yang hangat milik Ibu, serta haturan terimakasih yang tulus menggetarkan jiwa Chaki yang lemah. Padahal belum apa-apa yang diberikannya, tapi Ibu bertingkah seolah-olah Chaki sudah memberikan sekantong mutiara.
“Bu, Chaki mau minta tolong sama Ibu, boleh nggak?” Kepala Ibu menoleh kesamping, melihat Chaki menggenggam mugnya erat dan memainkan jarinya disana.
“Minta tolong apa, sayangnya Ibu?”
Mata Chaki menerawang jauh, barangkali takut dianggap tidak sopan dan terlalu ikut campur. Tapi hatinya berkata ia harus melakukan ini, langkah yang tepat untuk kebaikan Bima dan keluarganya.
“Bima, tolong bujuk Bima, Bu.” Ibu mengernyit bingung, lantas wajah sendu Chaki kini jadi pemandangannya.
“Bujuk Mas untuk apa, Cha?”
Bibirnya di gigit. Rupanya Ibu belum tau, rupanya Bima tidak menceritakan ini pada siapapun. Apakah Chaki salah kalau mengambil langkah ini? Apakah Bima nanti akan marah padanya?
“Tolong minta Bima ambil beasiswanya, Bu.”
Ibu nampak terkejut, Bima tidak pernah bilang apa-apa soal beasiswa padanya. Anak sulungnya itu bersikukuh untuk tidak melanjutkan kuliah dan akan mulai mencari kerja saja, karena katanya akan merepotkan. Bima ingin segera menggantikan tugasnya sebagai pencari nafkah utama.
Diamnya Ibu membuat Chaki sendiri kalut. Ia takut salah, tapi ia tidak ingin Bima menyia-nyiakan kesempatan dan melupakan keinginannya. Chaki hanya ingin Bima sekali saja memikirkan dirinya sendiri, ingin Bima juga melakukan apa maunya, tidak hanya berkorban untuk banyak orang.
“Tolong yakinin Bima kalau semua akan baik-baik aja, walaupun Ibu ditinggal Bima kuliah, semua akan berjalan baik dan Chaki akan bantu jagain Ibu,”
Ibu belum merespon apa-apa, saat ia lihat mata Chaki yang tak behenti mengeluarkan airnya. Chaki menangis, tidak keras sekali tapi itu menyayat hati. Tangisan sendu yang membuat hati seorang Ibu memahami dengan jelas apa inginnya Chaki sesungguhnya. Juga apa yang sedang diupayakan anak manis ini.
Maka saat tangisan pilu itu makin terdengar Ibu kembali membawa Chaki dalam pelukan. Membiarkan bajunya basah saat Chaki menjelaskan semuanya patah-patah, diantara tangis yang tak kunjung mereda.
Malam itu, Ibu paham. Apa ingin Chaki.
Matanya sulit ia pejamkan, meski ia sudah berusaha keras ingin menjemput tidur karena matanya lelah akibat banyak mengeluarkan air. Bau jaket kebesaran yang dikenakannya belum cukup membantu menenangkan. Seperti Bima ada disini, tapi tak mampu dipeluknya.
Chaki rindu.
Detak jarum jam makin nyaring membelah sunyi, mengantarkan Chaki pada waktu-waktu kemarin. Membuatnya makin sulit tidur. Ia kembali menangis, ingat bagaimana obrolannya dengan Bima beberapa hari yang lalu, di pinggir pantai.
Selalu ada obrolan-obrolan ringan yang manis atau obrolan yang dalam, waktu ia bersama Bima. Tingkat keingintahuannya selalu muncul jika melihat Bima yang setenang air juga selalu bersahaja. Dia tidak mampu membaca mata seperti Bima, juga tidak mengerti bagaimana mengartikan sikap seseorang padanya, ia payah. Jadi daripada menerka, Chaki selalu jadi si serba ingin tahu kalau sudah bersama Bima.
Sore itu ditengah suara kicau burung yang indah, juga debur ombak yang menyenangkan, mereka duduk dibawah pohon kelapa yang masih agak rindang. Menikmati bagaimana angin pantai berdesau membawa bau asin dan segar menggelitik penghidu.
“Memang mimpi dan harapan itu perlu ya?” Hidung Chaki mengerut lucu, kebiasaannya kalau berpikir sesuatu yang seolah baru diketahuinya.
Kekehan kecil Bima menguar, bersamaan tarikan gemas pada hidung minimalis Chaki membuat si empunya mengaduh.
“Perlu. Mimpi itu memang belum tentu terjadi, tapi kita perlu mimpi. Supaya kamu tau di masa depan kamu mau apa, mau melangkah kemana. Sedangkan harapan itu kaya doa, berkemungkinan besar untuk terjadi atau juga enggak. Tergantung waktunya, kapan yang tepat.”
Chaki manggut-manggut, mengerti apa yang Bima jelaskan tentang mimpi dan harapan versinya sendiri. Selama ini, kalau dari segi pola pikir, Chaki jauh berbeda dengan Bima. Otak pintar tidak menjamin kamu tahu segalanya, ada hal-hal yang bisa kamu ketahui tanpa membaca atau belajar dari buku.
Pembelajaran tentang hal-hal yang berkaitan dengan perasaan, atau pola pikir matang Chaki baru dapatkan dari Bima. Bagaimana harus bersikap jika punya masalah, bagaimana menghadapi situasi seperti ini dalam hidup, juga bagaimana tetap tenang jika sesuatu tidak berjalan sesuai kemauan.
“Chaki gak tau ini mimpi, harapan, atau cita-cita. Tapi Chaki pingin nolong orang kaya Chaki,” tatapan Chaki jauh keujung gulungan ombak, juga kedalaman air laut yang tak mampu diukur. Bima menatapnya, tertarik.
“Orang kaya Chaki butuh sembuh dan diperhatikan, Chaki pingin supaya gak banyak orang-orang yang mengalami hal kaya yang Chaki alami. Gak punya tempat cerita, juga gak bisa menyalurkan emosi,” kemudian Chaki menggeser duduk, menciptakan pasir-pasir halus menempeli pahanya. Ia duduk menghadap Bima sepenuhnya dan menyilang kaki.
“Chaki pingin sembuhin orang, Bim.” kilatan-kilatan semangat pada netra bening kelam itu membuat Bima mengangguk.
“Chaki mau jadi dokter?”
Anggukan kemudian gelengan Chaki buat Bima tertawa, gemas sekali, ia tak menangkap maksudnya.
“Iya dokter. Tapi bukan dokter yang sembuhin sakit di tubuh, Chaki mau sembuhin sakit yang lain.”
Ucapan Chaki buat Bima diam.
Sakit yang lain.
Bukan tubuh.
Bima memahami maksudnya. Sakit yang seringkali banyak orang abaikan.
Kemudian senyum hangat Bima muncul, diberikan usakan lembut dan sayang pada kepala Chaki. Ditatapnya dalam kedua netra itu seolah berikan lagi keyakinan. Meski akhirnya Chaki bilang barangkali itu adalah sebuah mimpi yang sangat sulit ia gapai, jalan hidupnya sudah digariskan. Ia hanya tinggal melangkah pada tiap-tiap jalan setapak yang disediakan cuma-cuma. Entah itu menuju jurang, atau menuju kebun bunga.
Bima bilang Chaki pasti bisa melakukannya, jadikan itu sebuah harapan dan cita-cita mulia. Selipkan juga doa dan usaha, maka keinginan Chaki untuk menjadi yang diinginkannya mungkin bisa terlaksana. Tanpa lihat bahwa ada senyum sendu juga tatap tak rela dari yang lebih pendek.
Saat ditanya apa mimpi dan harapannya, Bima hanya menjawab tentang harapan; Bima ingin membahagiakan keluarga, katanya. Klise, tapi jujur dan sederhana.
Chaki tidak puas, menurutnya Bima sudah melakukan hal itu. Sudah buat Ibu dan Ayah bangga juga bahagia. Ini tentang Bima, tentang dirinya, inginnya tentang dirinya sendiri, Chaki ingin tahu sekali.
Setelah semua candaan dan jawaban asal-asalan yang Bima berikan, Chaki mendengar itu dengan lirih, terbawa sapuan angin juga sayup-sayup kicau burung,
“Aku mau jadi produser,” belum Chaki dengar dengan benar Bima melanjutkan, “...tapi kayanya gak mungkin,”
Bima bercerita tentang hari dimana Pak Harun, Pembina Ekskul Musik, memanggilnya dan menawarkan beasiswa sekolah musik di luar negeri, beasiswa penuh. Chaki bisa lihat ada asa yang meredup, ketika Bima mengungkapkan bahwa di hidup ini kita harus memilih. Kemudian cowok jangkung itu bilang ada hal yang lebih penting daripada sekedar raih cita-cita, ada keluarga yang butuh Bima sokong hidupnya.
Keheningan kemudian melanda, setelah mendengar bagaimana Bima kurang lebih seperti dirinya. Tak punya pilihan sebab keadaan. Chaki sempat lihat ada senyum getir tersirat. Hatinya terasa sakit saat lihat itu, menyadari bahwa Bima seolah tak berdaya menghadapi ini. Kemudian Bima sibuk menyuruhnya menikmati matahari tenggelam di pantai. Membiarkan Chaki memerhatikannya dengan mata berkaca-kaca.
Pada tengah malam sunyi, juga dalam ingatan segar tentang kejadian lalu. Chaki semakin yakin pada tekadnya.