susu pisang
Kantin FISIPOL itu luas, cukup bersih dengan meja dan lantai yang jarang berserakan tissue atau botol minum seperti kantin fakultas lain. Makanannya juga enak meski pilihannya tak banyak, dengan harga yang masih bisa dijangkau kantong anak kuliahan seperti Jeongguk. Hanya saja ada satu kekurangan yang cukup fatal kalau Jeongguk bisa bilang. Tidak ada susu pisang. Seluruh nilai plus kantin fakultasnya menjadi tidak berharga bagi Jeongguk tanpa hadirnya susu pisang disana.
Itu sebabnya Jeongguk lebih memilih menjadi pelanggan setia kantin fakultas sebelah —Fakultas Ekonomi, daripada kantin fakultasnya sendiri. Apalagi alasannya kalau bukan karena disana susu pisang selalu tersedia. Tapi, tetap saja harus berebut dengan mahasiswa lain, karena entah kenapa susu pisang itu sangat laris.
Kantin Ekonomi tidak kalah luas, lebih luas malah kalau boleh dibilang. Tempatnya sangat strategis dan lebih tertata dengan rapi. Makanannya lebih enak dan juga bervariatif. Minus nya hanya pada harga makanan yang lebih mahal. Ya benar sih, ada harga ada rasa.
Selain itu juga karena teman-temannya yang selalu mengajak Jeongguk untuk menyegarkan mata dari pelik dan sesaknya materi kuliah. Omong-omong fakultas sebelah memang punya stok mahasiswa pencuci mata seperti yang dibilang teman-temannya. Bening-bening mirip kaca sih.
Sampai akhirnya Jeongguk menemukan satu. Mahasiswa fakultas sebelah yang mampu menarik atensi nya sejak awal pertemuan mereka, meski sampai detik ini Jeongguk tidak tau siapa gerangan nama pemuda itu. Miris sekali.
Hari itu Jeongguk melihatnya, berada dalam antrian memperebutkan susu pisang bersamanya dan puluhan mahasiswa lain. Pemuda mungil itu berdiri disampingnya, sedang kepayahan menahan desakan dari depan dan belakang. Tubuh ramping itu terdorong kesana kemari hingga akhirnya menabrak tubuh bongsor Jeongguk. Beruntung Jeongguk langsung menahan dengan cara memeluknya dari samping.
Jeongguk dapat melihat dengan jelas rona kemerahan dari kedua pipi pemuda yang tingginya tidak mencapai bahu Jeongguk itu. Dia punya mata sipit yang kini mengerjap lucu, punya bibir berisi yang kini sedikit terbuka karena kaget, punya pipi yang mengembang tapi malah membuatnya jadi gemas bukan kepalang, punya bulu mata yang lentik panjang dan juga punya hidung minimalis yang nampak manis.
Jeongguk terpaku pada paras elok itu sampai tubuhnya sendiri kaku dan matanya tak berkedip. Pemuda dalam pelukan Jeongguk berdeham dan menjauh dari pelukan Jeongguk dengan kikuk. Dia berkali-kali meminta maaf karena sudah menabrak tubuh Jeongguk dengan ekspresi yang sangat lucu, mirip sekali dengan Boni, kucingnya dirumah.
Hari itu, untuk pertama kalinya Jeongguk punya alasan lain untuk selalu makan di kantin Ekonomi selain karena susu pisang dan ajakan teman-temannya.
Jeongguk sangat ingin berkenalan sejak hari itu, tapi selalu tidak bertemu waktunya. Entah karena jam mereka yang berbeda, atau karena pemuda itu yang selalu tenggelam dalam kerumunan antrian dan mendadak hilang.
Pernah juga waktu itu karena sudah seminggu tidak melihat si pemuda manis di kantin Jeongguk jadi gelisah seharian, memikirkan tentang kemungkinan yang ada;
Apa dia sakit?
Apa dia bosan antri?
Yang paling ngawur, apa dia sudah menyerah menyukai susu pisang?
Dan kemungkinan lainnya.
Siapa yang tau keberuntungan macam apa yang Jeongguk dapat. Hari ini Jeongguk melihat pemuda manis yang nampak berkali lebih manis memakai kemeja biru langit kebesaran sedang berjalan kearah kantin. Jadi Jeongguk tidak berpikir dua kali untuk memanfaatkan kesempatan emas ini.
Jeongguk tersenyum kecil, menepuk dadanya seolah meyakinkan tindakan yang akan ia lakukan ini. Jeongguk yang seakan sudah tau bahwa pemuda itu akan ikut antrian berjalan mendekatinya perlahan, sebelum pemuda berkemeja biru langit itu sampai ke kerumunan.
“Susu pisangnya udah abis,” kata Jeongguk saat pemuda itu kini berada tak jauh darinya.
Langkah pemuda itu terhenti mendadak, menengok kearah Jeongguk dengan alisnya yang tertaut, lalu wajahnya nampak terkejut. Jeongguk yakin pemuda itu mengingatnya.
Belum sempat pemuda itu menyahuti, Jeongguk sudah menyodorkan dua botol susu pisang miliknya,
“Gue beli tiga, kebanyakan. Ambil aja dua nya,” kata Jeongguk, suaranya begitu tenang, berbeda dengan hatinya yang sedang bertabuh seperti genderang.
“Eh?” Mata pemuda itu membulat lucu membuat Jeongguk tanpa sadar terkekeh kecil.
Pemuda itu mematai Jeongguk yang masih terkekeh, barangkali bingung siapa gerangan cowok jangkung yang tanpa tedeng aling-aling memberinya dua botol susu pisang.
“Gak mau?” tanya Jeongguk, tangannya yang menggenggam susu pisang ditarik kembali.
“E-eh mau mau,”
Jeongguk tertawa lalu memberikan susu pisangnya pada pemuda itu.
Untuk catatan : Jeongguk tidak suka berbagi, terutama untuk hal yang sangat disukainya.
“M-makasih,” ucap pemuda itu malu-malu, “Gue gantinya berapa?”
Jeongguk menyeringai kecil, ini dia.
“Kalau gantinya pakai nama lo aja gimana?” alisnya naik sebelah, membuat pemuda di depannya meremat dua botol susu pisang dalam genggamannya.
“Atau kalau gak pakai nomor—”
“Jimin,” cicit pemuda itu, sangat pelan.
“Sori?” tanya Jeongguk, telinganya agak bermasalah kalau sedang ramai begini.
“Nama gue, Jimin,”
Tanpa Jeongguk sadari bibirnya sudah tersenyum sangat lebar sampai pemuda di depannya —Jimin, heran.
Jeongguk berdeham saat Jimin bilang terimakasih untuk kedua kalinya dan pamit untuk pergi.
“Omong-omong Jimin,”
“Ya?” Jimin menengok kembali kearah Jeongguk sebelum sempat melangkah jauh.
“Susu pisangnya ada dua. Satu udah dibayar pakai nama, jadi sisa satu lagi—” Jeongguk sengaja menggantung kalimatnya membuat wajah manis Jimin nampak cemas menebak-nebak.
“Pakai apa?”
“Pilih, pakai nomor telfon lo atau pakai pulang hari ini bareng gue?”
Jimin terkejut, sejurus kemudian tawanya pecah. Tawa Jimin renyah sekali, begitu merdu dan ringan di telinga Jeongguk. Rasa-rasanya Jeongguk ingin mendengar tawa ini setiap hari. Saat membuka mata di pagi hari dan sebelum menutup mata di malam hari.
Untuk sesaat Jeongguk pikir susu pisang tidak bisa lebih manis dari senyum malu-malu Jimin saat pemuda itu memilih untuk pulang bersamanya.
Jeongguk mulai belajar tentang berbagi sore itu.
Berbagi hal yang paling dia suka; susu pisang,
Berbagi jok motor kesayangannya; Si Beben,
Berbagi tawanya; yang sangat langka,
Pada seseorang yang sangat manis,
Pada seseorang yang tawanya menular,
Pada sesorang yang membuat Jeongguk punya alasan kuat untuk makan di kantin fakultas sebelah lebih dari sekadar susu pisang.