diam


Sore itu, Calvin yang baru saja sampai di apartemennya belum genap tiga puluh menit berlari dengan tergesa keluar dari apartemennya menuju basement, di mana mobilnya berada. Melihat Acel yang pergi keluar tanpa izin padanya membuat emosinya meletup-letup tidak karuan, sampai-sampai ia meremas kemudi mobilnya tanpa sadar hingga buku-buku jarinya memutih. Jika ada yang bertanya kenapa bisa ia seperti itu hanya karena Acel pergi tanpa izinnya, ia pun tidak tahu. Calvin hanya takut dengan kemungkinan-kemungkinan buruk seperti ada orang yang ingin menjahati Acel dan sebagainya. Dia hanya ingin melindungi Omega yang sudah empat tahun ini bersamanya, meski hanya dengan embel-embel sahabat.

Mobil Calvin melaju dengan cepat, mengejar waktu agar cepat sampai ke taman yang disebutkan Acel tadi di telfon dan dengan segera menemui Acel-nya. Tepat ketika mobilnya terparkir, Calvin keluar terburu-buru dan langsung mencari pemuda yang sejak tadi memenuhi ruang kepalanya sampai rasanya ingin pecah. Pikiran dan hatinya kalut, ada rasa meletup-letup yang ingin dikeluarkannya hanya karena masalah ini.

“Acel!” Calvin sengaja berteriak, mencoba menarik perhatian Acel yang sampai saat ini belum terlihat olehnya.

“Acel!”

Calvin berjalan tergesa mencari Acel, sampai langkahnya melambat begitu melihat laki-laki yang ia cari tengah duduk memandangi sungai di depannya dengan tenang, tanpa suara, tanpa gerakan apapun, hanya memandang kosong sungai dengan langit sore menghiasi atapnya.

“Kamu disini,” Kata Calvin sedikit menurunkan suaranya karena sudah menemukan pemuda yang dicarinya sejak tadi, sudah melihat pemuda yang membuat hatinya gelisah. Dia mendekat kearah pemuda mungil yang masih bergeming meski Calvin yakin bahwa Acel sadar akan keberadaannya saat ini.

“Aku panggilin kamu daritadi Cel, bukannya nyahut,” Calvin berdiri menjulang di depan Acel yang justru malah berdiri dan meninggalkan Calvin ditempatnya. Hal itu berhasil membuat pemuda jangkung itu terpancing lagi emosinya.

“Acel!”

Calvin menarik lengan Acel sampai tubuh ramping pemuda itu menghadap ke arahnya.

“Aku ngomong sama kamu,” Nada Calvin kembali tinggi.

Acel hanya menatap kesal Calvin, manik matanya yang jernih mengunci tatap pada sepasang bola mata kelam yang kini menyala marah. Acel tetap menatap mata itu, menantangnya tanpa gemetar. Calvin tahu bahwa Acel juga marah padanya, namun tangan besar Calvin di lengan Acel tidak mengendur juga, cara menuntut Acel untuk menjawabnya.

“Aku gak mau ngomong sama kamu,” Jawab Acel lugas. Mata sipitnya kembali menatap tajam, bibirnya mencebik kecil. Ya, Acel benar marah padanya. Kalau situasinya tidak seperti ini barangkali Calvin sudah membawa si mungil ke dalam dekapnya karena demi apapun dia rindu Acel seharian ini meski saat bersama Vidya. Namun Calvin sadar bahwa situasi ini sangat tidak memungkinkan.

“Cel jangan kaya anak kecil gini lah,” Suara Calvin melunak, tatapan Acel dan cebikan di bibirnya membuat Calvin kalah. Acel adalah tipe orang yang selalu menggemaskan meski dalam suasana hati apapun.

“Aku mau pulang,” Katanya final. Acel si keras kepala. Lalu Calvin bisa apa lagi?

Calvin menghela nafasnya, mencoba menahan segala gejolak yang sesungguhnya masih meletup-letup di dadanya. Ia melepaskan lengan Acel dan keduanya berjalan menuju mobil Calvin tanpa sepatah kata. Calvin baru mau membukakan pintu mobilnya untuk Acel, namun tangan kecil Acel jauh lebih dulu membukanya, ia langsung masuk dan menutup pintu mobil dengan keras sampai membuat Calvin terlonjak.

Sepanjang perjalanan, Acel diam. Tak menanggapi semua ucapan Calvin sama sekali. Calvin berulangkali bertanya padanya, menawarkan makan dan ini itu, tapi Acel masih bergeming, memilih untuk memandang keluar jendela daripada menatap Calvin pun mengindahkan seluruh ucapan pemuda jangkung itu. Lagi-lagi Calvin memilih mengalah. Memang ini salahnya juga.

Mobil Calvin berhenti di depan bangunan apartemen Acel. Biasanya sebelum turun dari mobil Acel akan memberinya salam perpisahan pada pipi kiri. Namun jangankan salam perpisahan, bahkan belum sempat ia mengatakan apapun, Acel sudah keluar dari mobilnya dengan membanting pintu mobil dan berlari masuk meninggalkan Calvin sendirian di mobilnya yang kini sibuk membenturkan kepalanya pada kemudi mobil.

Meninggalkan Calvin dengan kehampaan pada pipi kirinya.

Meninggalkan Calvin dengan dinginnya atmosfer di dalam mobil yang biasanya dipenuhi oleh ocehan dan tawa si mungil.

Meninggalkan Calvin dengan rasa bersalahnya karena sudah membentak pemuda itu dan menarik lengannya dengan kasar.

Calvin lupa bahwa Acel tidak suka dikasari,

Lupa bahwa Acel sangat perasa dan pemikir keras,

Lupa bahwa ini bukan sepenuhnya salah Acel.

Dan Calvin menyesalinya.