meet


Gemerlap lampu tumpang tindih bergantian, riuh-riuh sorak suara bersahutan dengan musik, bersatu padu. Ramai. Satu kata yang menggambarkan tempat ini. Berbeda sekali dengan Chaki yang kini tengah memandang kosong gelas jus di tangannya. Meski sudah mengambil duduk yang cukup jauh dari panggung dan gerombolan manusia haus hiburan, Chaki tetap dapat menangkap dengan jelas kebisingan yang ada.

Seno yang daritadi berbicara panjang lebar dan semangat padanya akhirnya jengah juga karena tak ditanggapi sama sekali. Cowok yang lebih tua tiga tahun dari Chaki itu menggerutu tentang betapa sia-sia lima belas menit suaranya dia keluarkan dengan berteriak karena suasana ramai ini dan hanya mendapatkan helaan nafas dari lawan bicara.

Tak lama gerutuan Seno berakhir saat melihat figur cowok lain yang dengan riang berjalan ke arah mereka tepat di belakang punggung Chaki.

“Kevin!” Chaki ikut menoleh ke sampingnya saat teriakan Seno terhadap nama seseorang cukup menarik perhatiannya. Tapi belum sempat lihat, seseorang itu sudah duduk di sampingnya sambil merangkul bahunya.

“Hai, kalian udah lama ya?” Suara Kevin terdengar ringan dan ceria. Sepertinya suasana hatinya sedang baik.

Chaki tersenyum menanggapi, mencoba terlihat ceria padahal dia sibuk merutuk dalam hati karena Kevin ada disini, Kevin tidak pernah membiarkannya berpikir tenang. Cowok itu akan menggoda dan menempelinya terus dan itu membuat pusing.

“Baru aja kok,” Itu Seno lagi yang menjawab, sebelum cowok itu berjalan kearah bartender untuk memesankan minuman setelah bertanya pada Kevin.

Kevin sebenarnya tidak sebegitu menyebalkan, hanya saja suasana hati Chaki sekarang ini membuatnya jadi bersungut-sungut pada siapapun yang berpotensi untuk mengganggu nya.

Dengan terpaksa Chaki harus menanggapi celotehan Kevin dan menjawab semua pertanyaan cowok itu perihal keabsenannya selama satu bulanan ini dan mengapa ia mengabaikan pesan Kevin.

Chaki meringis saat Seno tiba-tiba datang dan menjawab; “Gak usah lo gangguin lagi dia, Kev. Udah punya penjaga,” kemudian meletakkan dua gelas koktail yang dipesannya.

“Wah serius, Sa? Sakit banget, sakit hati gue ini, pantesan gue dicampakkan sebulanan ini,” kata Kevin dramatis, sebelah tangannya memegangi dada dengan khidmat, sebelahnya lagi memegang minuman dan menenggaknya.

“Gak usah norak ya Kak Kev, pulang nih gue,” Chaki gemas juga pada obrolan kedua kakaknya ini sedangkan Kevin dan Seno tergelak.

“Lo cuma minum jus, Sa? Tumben banget?” Tanya Kevin sangsi, karena setidaknya Chaki akan memesan rum atau koktail juga.

“Gak boleh sama pacarnya, ntar diomelin. Lagi berantem,” Seno kembali menyerobot bicara dan berbisik pada kalimat terakhir, padahal Chaki masih mendengar dengan jelas.

Chaki mendelik tidak suka, “Ih Kak Seno ya bawel banget dari tadi. Dibilang bukan pacar gue kok!”

Mereka kembali tergelak, menggoda Chaki —oh, atau mari kita sebut disini Esa, merupakan hal yang menyenangkan. Respon yang diberikan si mungil selalu saja mengundang tawa dan kegemasan. Ketahuilah bahwa Seno dan Kevin tidak sampai hati untuk mengajarkan hal-hal buruk pada Chaki yang sudah mereka anggap seperti adik mereka sendiri ini. Meski Kevin kerap kali menggoda dan melempar gurauan betapa dia sangat menyukai si mungil, namun itu tidak benar-benar dalam artian yang dalam. Kevin memang suka, namun masih dalam tahap mengagumi. Rasa sayang sebagai kakak lebih mendominasi.

Pertemuan mereka tergolong seperti sebuah takdir atau mari kita sebut sebagai sebuah ketidaksengajaan. Saat itu Chaki dan Seno tidak sengaja tertukar dompet saat membayar belanjaan di supermarket dekat sekolah. Kejadian yang lucu kalau diingat karena Chaki tidak pernah punya kartu debit dan kredit sebanyak itu, juga tidak punya ktp. Setelahnya mereka bertemu kembali untuk bertukar dompet setelah Chaki menghubungi nomor telfon pada kartu nama dalam dompet itu.

Sejak saat itu mereka menjadi akrab, sampai Chaki sudah menganggap Seno seperti kakak nya sendiri. Chaki yang memperkenalkan dirinya sebagai Esa mampu menarik perhatian dan rasa gemas Seno sejak awal. Seno adalah mahasiswa Manajemen Bisnis tahun ketiga, memiliki bar sendiri dalam rangka implementasi materi kuliah —katanya. Hingga akhirnya dia sering mengajak Chaki ke bar miliknya dan mengenalkan Chaki pada Kevin, teman baiknya, mahasiswa Photografi tahun ketiga. Juga Wildan, Mahasiswa Seni Musik tahun kedua.

Sebenarnya Seno dan Kevin tidak pernah mengajarkan hal buruk pada Chaki. Hanya saja mereka kerap menemukan kejanggalan pada adik mereka itu, keterdiamannya, kecanggungannya, kemarahan serta gesture nya yang seolah sedang menahan berbagai gejolak. Sampai suatu hari Chaki menangis dan memohon untuk diperbolehkan meminum minuman beralkohol pada mereka. Chaki menangis meraung-raung membuat mereka tak tega sampai akhirnya Seno memperbolehkannya meminum yang berkadar alkohol rendah yang sesungguhnya belum legal Chaki minum.

Chaki juga kerap membantu Kevin dalam menyelesaikan tugasnya. Chaki dengan senang hati menawarkan diri menjadi model dalam setiap tugas Kevin. Awalnya Kevin cukup terkejut melihat banyak luka sayatan pada pergelangan tangan dan paha putihnya. Chaki selalu beralasan luka itu sudah disana sejak lama, Chaki pernah terjatuh dan alasan lainnya. Kevin tentu tak bodoh, namun setelah berbicara dengan Seno mereka memutuskan untuk tak pernah membahas hal itu dan menganggapnya tak ada. Mereka tetap mengawasi Chaki meski banyak, banyak sekali hal yang mereka tidak tahu dari cowok mungil itu. Banyak sekali hal yang mereka ingin pertanyakan padanya. Tapi mereka sadar batasan mereka.

Tidak berselang lama, Seno bertepuk tangan saat seseorang naik keatas panggung bersama gitarnya. Chaki tidak bisa melihat dengan jelas tapi melihat seluruh respon orang-orang dalam ruangan ini tentu cowok bergitar itu adalah primadona disini.

“Loh ada dia Sen?” tanya Kevin tak kalah antusias. Seno mengangguk, senyumnya makin terkembang.

Chaki memandang kearah kedua kakaknya penuh tanya, “Itu yang gue omongin di chat, Sa. Anak baru itu,” kata Seno seolah bisa membaca tatapan Chaki.

Chaki membulatkan bibirnya, mengerti. Penasaran juga dengan si anak baru yang di elu-elukan Seno juga orang-orang disini secara tak langsung. Cowok yang dibicarakan itu sedang membenarkan letak stand mic sebelum akhirnya duduk dengan tenang memangku gitarnya, entah perasaannya saja atau memang Chaki familiar sekali dengan gitar itu. Cowok itu menunduk, memetik satu senar gitar dengan merdu yang bahkan bisa menghipnotis seisi ruangan ini meski hanya suara nafasnya yang terdengar dari microphone. Bahkan suara nafasnya saja enak di dengar.

Petikan gitar mengalun lembut sebagai intro sebelum cowok itu akhirnya mengangkat kepalanya dan menyanyikan bait pertama lagu —yang Chaki sangat familiar sekali, dengan khusyuk sambil menutup mata. Detik itu juga mata Chaki serasa ingin lompat dari tempatnya.

Disana, Chaki melihat dengan kedua mata kepalanya, Bima sedang bernyanyi bersama Pablo. Membawakan lagu yang biasa cowok itu jadikan sebagai lullaby Chaki sebelum tidur. Rasa terkejut mendominasi perasaannya.

Chaki langsung mengerti, seolah semua pertanyaan dalam benaknya tentang Bima telah terjawab. Chaki mampu menarik benang merah tentang apa yang dilakukan Bima selama ini. Pandangan Chaki lurus kearah panggung, menatap lekat dengan matanya yang berkaca-kaca. Bolehkah Chaki bilang bahwa dia benar-benar marah dan kecewa sekarang? Bolehkah Chaki?

Kedua bola mata kelam itu akhirnya bersibobrok dengan cokelat madu milik Bima. Chaki bisa lihat keterkejutan pada air wajah Bima dan petikannya pada Pablo yang terhenti sesaat. Bima mengalihkan pandangan kearah lain dan tersenyum dengan canggung sebelum kembali melanjutkan nyanyiannya sambil sesekali melirik kearah Chaki yang kini lebih berminat mengaduk-aduk gelas jusnya.


Chaki tak tahu kenapa harus semarah ini, megetahui hal yang ditutup-tutupi Bima selama berbulan-bulan mereka dekat sementara dia sudah terbuka meski belum pada segala hal, sangat menyakiti hatinya. Chaki pikir mereka sudah pada tahapan saling percaya, tapi ternyata hanya Chaki saja yang percaya Bima. Barangkali Bima belum cukup yakin untuk mempercayakan Chaki.

Kedekatan mereka selama ini ternyata belum cukup. Meski segala kesehariannya Bima selalu tau, kebiasaannya Bima sudah hafal dan hal yang disuka juga tidak suka Bima sudah mengerti. Pun sebaliknya, Chaki tau Bima tidak suka kopi, dia lebih memilih cokelat panas buatan Chaki daripada kopi hitam yang biasa Chaki minum untuk teman begadang. Chaki tau Bima suka melewatkan sarapan dan makan siangnya, hanya karena bersama Chaki saja Bima jadi rajin sarapan karena Chaki tak mau makan jika Bima tak makan. Chaki juga tahu Bima punya penyakit maag kronis, sebabnya dia tak minum kopi dan makan makanan kelewat pedas dan asam.

Mereka berbagi banyak hal. Berbagi kasur Bima yang sebenarnya single bed. Berbagi pelukan setiap salah satunya membutuhkan afeksi, lebih meningkat dibandingkan awal hanya berpelukan saat tidur. Berbagi cerita yang kebanyakan didominasi oleh cerita Chaki dan tawa Bima karena kegemasan. Chaki selalu suka usakan dikepalanya dan Bima tahu itu, maka Chaki akan mendapatkannya secara percuma dari Bima setiap mereka sedang bersama.

Chaki pikir dia sudah tau semuanya tentang Bima, kecuali tentang Bima yang suka keluar malam pada hari tertentu. Yang menyebabkan tidur Chaki tak pernah nyenyak karena menunggu nya sampai pagi. Pukul dua atau tiga Bima baru kembali, Chaki tau karena dia pura-pura tidur. Chaki tidak pernah benar-benar tidur, Chaki tau Bima selalu diam-diam memberi kecupan pada pipi atau keningnya sebelum cowok itu menyusul tidur diranjangnya. Dan Chaki tidak menyukai fakta bahwa ia harus kehilangan pelukan miliknya dan kecupan yang terasa sudah dingin itu karena Bima yang sering pulang larut.

Saat ini Chaki menyadari bahwa yang ia tahu hanya secuil dari bertumpuk-tumpuk rahasia Bima. Hanya setitik dari hamparan luas kisah hidup Bima. Singkatnya, Chaki tak tahu apapun tentang Bima selain dari hal-hal yang ditunjukkan cowok itu saat mereka bersama.

Guncangan pada tubuhnya menyadarkan Chaki dari larutnya pikiran tentang Bima. Meringis dan terkekeh sedikit saat Seno kembali menegurnya. “Bengong terus, ada yang kangen tuh,” Seno menunjuk kearah sampingnya dengan dagu dan Chaki melihat Wildan disana. Tersenyum hangat dengan gigi putihnya yang menyembul dibalik bibir.

“Esa astaga udah lama banget ya, gue kangen,” Wlidan memeluknya sebentar kemudian mengacak kecil rambut Chaki. Chaki cemberut, sedetik kemudian keterkejutan melandanya. Chaki baru tahu kalau cowok yang sejak tadi memenuhi kepalanya berada disebelah Wildan.

“Oh iya, kalian belum kenalan ya,” Kata Wildan, kemudian Wildan memperkenalkan cowok yang tentu sudah Chaki kenal dengan baik tanpa perlu perantara seperti ini, hanya saja Chaki cukup pura-pura tidak mengenalnya dan bertingkah senatural mungkin.

Chaki menerima uluran tangan yang hangatnya sudah Chaki hafal, yang besarnya sangat Chaki suka sambil menyebutkan nama masing-masing; “Bima,” “Esa.”

Chaki bisa lihat keterkejutan pada ekspresi Bima saat Chaki menyebut Esa, Chaki hanya bertingkah tak peduli kemudian duduk kembali dengan tenang di kursinya.

“Ini loh Sa yang gue ceritain kemarin di chat, anak baru itu. Cakep kan? Bagus banget lagi suaranya, lo denger sendiri tadi kan gimana pelanggan disini pada suka sama dia,” Chaki menganggukan kepala berpura-pura antusias pada ucapan Seno.

Wildan kemudian menimpali dengan berbagai macam cerita yang sekiranya mereka lewatkan. Bertanya tentang kemana saja Chaki sebulan belakangan ini serta mengeluarkan candaan-candaan yang membuat meja mereka makin ramai. Chaki berpura-pura tak tahu atau lebih tepatnya mencoba tak peduli pada sepasang mata yang menatapnya dengan lekat sejak awal tadi.

“Gue ke toilet dulu ya kakak-kakak, bentar doang,” Chaki berpamitan karena merasa bahwa jika berlama-lama disana kepalanya bisa saja bolong ditatapi Bima dari samping seperti itu.


Chaki sedang mencuci tangannya di westafel saat mendengar langkah kaki yang mendekatinya. Tak perlu mengangkat kepala atau menengok Chaki sudah tahu siapa orang yang kini berada semakin dekat dengan posisinya berdiri dan kini berdiri disamping nya. Chaki mengeringkan tangannya nampak tak peduli sebelum suara halus yang kalau Chaki tidak salah dengar sedikit bergetar menyapa indera pendengarannya.

“Esa?” Chaki terpaku sebentar, sebelum melanjutkan acara mengeringkan tangannya tanpa merespon apapun.

Chaki hendak berbalik dan menjauh keluar dari toilet sebelum tarikan tangan yang hangat memaksanya menatap kedua bola mata yang Chaki hindari sejak pertama lihat hadirnya disini.

“Kenapa kamu diem aja, Esa? Aku panggil kamu,” Chaki merasakan ada penekanan dari setiap kata yang Bima lontarkan padanya. Itu tidak baik, tapi Chaki tak peduli. Siapa Bima? Lagipula bukankah mereka tidak sebegitu dekatnya untuk menanyakan hal satu sama lain? Chaki tidak dianggap bukan?

“Lepas,” Chaki berusaha melepaskan cengkraman Bima dan berhasil, cowok itu tidak sampai hati untuk menyakiti Chaki dengan perlakuannya.

“Cha,” Ada keputusasaan pada suara teduh Bima. Chaki rindu panggilan ini sebesar Chaki rindu rumahnya dulu.

Nafas Bima yang menerpa wajahnya hangat, Chaki yakin tubuh cowok itu masih sama hangat seperti saat Chaki mengompresnya sore tadi. Matanya merah, tenaganya juga melemah. Chaki tau karena cengkraman Bima pada lengannya tadi tidak terasa apa-apa.

Chaki diam saja, mencoba mengabaikan fakta bahwa semarah apapun dia rasa khawatirnya tetap lebih besar.

Bima kemudian menuntunnya keluar dari toilet. Mengajak Chaki kearah jalan menuju pintu keluar darurat yang cukup sepi dan jauh dari keramaian.

“Mau ngapain sih?” protes Chaki dan melepaskan genggaman Bima dengan menyentaknya.

Bima kaget, tak menyangka bahwa Chaki-nya bisa sekasar ini.

“Jadi kamu sering kesini? Kamu kenal orang-orang itu dan sering minum disini? Kamu gak bilang sama aku, Cha?” Bima mencecarnya dengan berbagai ucapan yang mana seharusnya Chaki lah yang marah disini. Kesabarannya benar sudah pada ambang batasan.

“Bima marah? Bima kecewa karena Chaki gak cerita ke Bima soal Chaki sering ketempat ini?” Tanya Chaki, nadanya tinggi, ada rasa meletup-letup yang harus dikeluarkannya.

Bima diam, sadar kalau emosinya dikeluarkan pada waktu yang tidak tepat.

“Coba Bima ngaca Bim! Bima pikir gimana perasaan Chaki waktu liat Bima disini? Bima pikir Chaki gimana selama ini gak tau apapun tentang Bima dan masalah Bima? Chaki selama ini jadi orang bego yang gak tau apapun sedangkan Bima tau semuanya tentang Chaki, Bim!” Dada Chaki naik turun, nafasnya tersengal. Ini kali pertama Bima melihat Chaki-nya semarah ini. Padanya.

“Bima tuh anggap Chaki apa nggak sih, Bim? Bima anggap Chaki apa? Chaki setiap hari khawatir mikirin Bima, mikirin Bima yang gak pulang kalau gak larut malam. Mikirin Bima yang sering keluar tanpa Chaki tau Bima udah makan atau belum. Bima pikir Chaki gak tau kalau Bima bohong setiap Chaki tanya makan? Bima pikir Chaki gak tau kalau Bima cuma tidur dua jam setiap hari dan bagun pagi lagi buat sekolah? Bima pikir Chaki gak tau Bima suka meringis sakit tengah malam sendirian? Chaki tau Bim Chaki tau semuanya! Chaki gak tidur, Chaki tau, Chaki tau.” Tangis Chaki pecah ditengah segala luapan emosinya. Bima ikut menangis, merasa sakit yang sama karena kecewa pada dirinya sendiri sudah membuat Chaki seperti ini.

“Chaki setiap hari nunggu, nunggu Bima percaya Chaki, nunggu Bima mau cerita sama Chaki. Chaki juga pengen berguna, Chaki juga pengen ikut buang sedihnya Bima, Chaki juga pengen bantu Bima. Chaki pengen Bim, pengen jadi kotak sampahnya Bima. Gak cuma Bima doang!” Bima mendekat kearah Chaki, mencoba memeluknya agar cowok mungil kesayangannya itu tenang. Tapi Chaki berjalan mundur menjauh.

“Jangan dekatin Chaki! Bima diam aja, Chaki belum selesai.” katanya, “Chaki bener-bener kecewa Bim, bener-bener marah dan makin memuncak waktu Chaki liat Bima disini. Bima... Bima bener-bener gak pernah anggap Chaki. Chaki pikir kita dekat, Chaki pikir dengan Chaki berbagi semua Bima bisa sebaliknya. Chaki bahkan udah kepikiran buat ceritain tentang ini, tentang siapa Chaki yang lain, tentang Chaki yang pernah rajin datang ke bar karena sekarang Chaki udah gak pernah lagi. Tapi sikap Bima bikin Chaki mikir dua kali, bikin Chaki ragu kalau akhirnya Bima bener-bener tau semuanya, Bima gak akan pernah sama ke Chaki. Bima gak adil! Bima egois!” Chaki mengakhiri segala kemarahannya dengan menangis meraung sambil terduduk.

Bima juga menangis, bingung ingin mengatakan apa karena semua ucapan Chaki benar. Baru dia akan berjongkok untuk merengkuh Chaki dan dekapan dan menangkan cowok itu, keseimbangannya hilang. Detik itu, kegelapan menjemput dan Bima tau ini adalah batasannya. Batasan yang selama ini diabaikannya begitu saja.

Chaki menjerit terkejut karena Bima pingsan di depan matanya. Orang-orang mengerubungi dan Seno adalah orang pertama yang memanggil ambulance juga mendekapnya sepanjang jalan menuju rumah sakit.