satu samabagian dua


Chaki mendengar lagi kisah Bima lamat-lamat. Keadaan Bima yang harus menahan lapar dan berpuasa jika tak punya uang menjadi kebiasaan buruk, penyebab Bima punya sakit lambung yang awalnya ia kira hanya maag biasa. Itu sebabnya Bima tak bisa minum kopi, juga makan pedas. Bukan tak suka, tapi tak bisa.

Bima juga jadi pandai masak sebab harus melayani Ayah dan adiknya sementara Ibu berjualan kue keliling. Bima dituntut untuk serba bisa dan mandiri pada usia muda. Perkara keadaan, Bima dewasa sebelum ketentuan.

“Jangan nangis terus dong, Cha,” Air mata Chaki diusap lembut, dikecup kedua matanya bergantian.

Sekali. Kanan.

Sekali. Kiri.

Chaki kaku ditempat, tiba-tiba rasa jantungnya ingin lompat. Jantung, kamu kenapa?

Menyadari keterdiaman Chaki, Bima juga kaget dengan refleks tubuhnya.

“Cha sori aku gak maksud lancang, cuma pikir aku tu—”

“Mau juga disini,”

Tanpa Bima duga respon Chaki jauh dari kata marah, si mungil sibuk memajukan wajahnya dan menunjuk hidungnya sendiri, meminta dikecup disana. Maka siapa Bima berani menolak? Dikecupnya lembut hidung mungil yang memerah sebab banyak menangis.

Chaki terkikik geli kemudian tersenyum bahagia lagi, senyum yang sampai ke mata.

“Bima,”

“Ya?”

“Aku sekarang deg-degan terus tiap deket Bima, kenapa ya?”

Pertanyaan Chaki barusan malah yang membuat jantung Bima bertalu-talu. Degup tak karuan sebab pertanyaan polos Chaki sendiri. Chaki di depannya selalu berbeda dari Chaki yang di kenal semua orang. Chaki di dekapan Bima ini adalah Chaki yang rapuh dan polos. Seolah jika lecet sedikit ia akan retak berserakan.

Bima hanya mengelus lembut penuh sayang lengan Chaki bergantian dengan penggungnya. Meminta Chaki bergantian cerita tentang hal yang masih disembunyikan darinya selama ini. Chaki berdeham saja, tak menolak juga tak menyanggupi.

“Bima pakai sabun lemon yang ditempat sabun kan?”

Chaki mengendusi wangi Bima yang sangat enak saat menyambangi hidungnya, membuat tubuhnya tentu ikut merapatkan diri pada pelukan Bima.

“Iya lah, cuma ada itu juga disana. Emang kenapa?”

Tak ada jawaban dari si pemberi tanya kala Bima menjawabnya, yang ada malah lingkaran tangan pendek yang makin mengerat bersamaan dengan gumaman kata enak tiap kali hidung si mungil bersentuhan dengan kulit lehernya. Lama-lama Bima merasa geli sendiri.

“Kamu kenapa tiba-tiba nempel-nempel gitu?”

“Wangi Bima enak, Chaki suka,” kata si mungil yang mana suaranya teredam dan menghantarkan rasa geli yang menggelitik pada leher Bima. Yang lebih tinggi tertawa dan mencubit gemas pipi montok Chaki.

“Udah gak usah ulur-ulur waktu, better now than never,”

Late bukan now,”

Chaki protes tak suka dan Bima mendebatnya kembali, bilang kalau istilah yang cocok dipakai adalah sekarang.

“Kamu ragu ya sama aku? Apa karena aku jujurnya lama ke kamu jadi kamu udah ragu? Gak mau cerita semuanya lagi?”

Bima terlihat kecewa dan Chaki menggeleng keras. Bukan, bukan seperti itu.

“A-aku takut,”

“Kalau kamu cerita nanti kita satu sama, impas, aku bayar pakai nemenin kamu lewatin masa sulit kamu, Cha.”

Jika dipikir, ini memang impas.

Chaki cerita masa lalunya —yang waktu itu, Bima juga —kini.

Chaki (akan) cerita masalahnya —tentang Abangnya, Saera, Seno dan lainnya, Bima (akan) menemani Chaki menghadapi kelamnya.

Chaki mengangguk, meneguhkan hatinya bahwa barangkali sudah saatnya berdamai dengan masa lalu nya, toh kini dia punya Bima dibelakangnya. Juga punya Bima di depannya. Bima yang akan menjaganya, janjinya.


Hubungan Chaki dengan Abangnya tergolong rumit. Jika ditanya pasti; apakah Chaki menyanyanginya, tanpa pikir dua kali Chaki akan menjawab tidak tanpa gemetar.

Jauh di dalam lubuk hatinya, Chaki tahu bahwa itu adalah sebuah kebohongan yang besar. Chaki, menyayangi Abangnya. Sangat.

Chaki tak pernah benci, meski harus berdiri dibawah bayang-bayang Abangnya. Bukan salahnya, salah Chaki sendiri dia tak punya nilai lebih untuk diidentifikasi mudah dengan orang lain.

Orang-orang lebih suka memanggilnya; Adiknya Nico, daripada namanya, sekali lagi Chaki paham itu bukan salah Abangnya.

Ayah selalu lebih suka Abangnya, menomorsatukan si sulung daripada memberi sedikit perhatian dan iba pada si bungsu. Juga itu bukan salah Abangnya.

Chaki tahu, disini ia yang bersalah. Terlalu banyak kurang, terlalu banyak cacat, tak pernah jadi cukup dan tak pernah jadi layak. Sekali lagi Chaki tak pernah benci Abangnya, cukup tahu diri akan kemampuannya.

Dulu sekali, waktu itu Chaki di Sekolah Menengah Pertama, Abang punya pacar; Saera. Sangat baik dan hangat, semacam cokelat lumer di siang hari. Mudah diterima, menyenangkan hati.

Begitu cara Saera masuk ke keluarganya, terutama masuk ke dalam daftar orang-orang yang Chaki ingin bagi cerita pertama kali. Lebih dari orangtuanya, lebih dari Abangnya, lebih dari siapapun. Sebab Chaki memang tak punya siapa-siapa sejak dulu.

Saera berubah menjadi orang penting dan kotak sampah berjalannya seiring waktu. Chaki suka sekali cokelat dan Saera tak pernah lupa. Sama hal dengan Saera yang tak pernah lupa bertanya pada Chaki; bagaimana kabarnya hari ini, ada cerita apa hari ini. Serta memberi Chaki banyak tawa dan penyemangat hidup lainnya.

Chaki percaya Saera, sangat. Chaki pikir semua ketidak-dekatan Abangnya dan dia tak jadi masalah sebab Abangnya punya kemampuan yang bagus dalam hal mencari pacar. Chaki suka Saera, suka Saera jadi Kakaknya, suka Saera bersama Abangnya, meski Chaki tak pernah begitu peduli pada apa yang dilakukan Abangnya.

Sampai saat Mama pergi dan Abangnya memutuskan sekolah di luar negeri. Chaki hancur saat itu, butuh tempat membuang tangis sedang Abangnya pergi tanpa pikir apa-apa. Saera ikut hilang entah kemana, padahal dialah orang pertama yang ingin Chaki jadikan tempat aduan. Saera tak ada kabar, tak pernah datang kembali. Hilang bersamaan tawanya yang tak pernah berderai lagi, juga bersamaan cokelat-cokelat yang tak pernah datang.

Suatu hari Chaki dapat kabar, Abangnya putus dengan Saera. Abangnya yang lakukan.

Chaki jadi tahu, semua orang yang bertahan di sisinya lagi-lagi hanya sebab bayang-bayang Abangnya. Chaki tak pernah mampu menyamai.

Sejak itu Chaki tak suka cokelat. Juga tak pernah mau membuka diri. Sebab sebagian orang hanya berpura-pura peduli, padahal dia hanya ingin tahu, tak pernah lebih lagi.

Sedang bersama Seno, Kevin dan Wildan, Chaki hanya berteman biasa. Membuat lingkup baru, memakai nama baru sebab Chaki sudah sering disakiti. Ingin kenal hal yang belum pernah ia temui. Chaki temukan nyaman, pakai topeng yang lain. Pakai Esa tiap kali ingin lepas penatnya.


“Aku gak akan gitu,” Bima berseru, meyakinkan Chaki menggebu-gebu.

Chaki tersenyum, Bima tak meninggalkannya, Bima tak akan pergi darinya. Seperti orang-orang yang lalu, singgah sebentar kemudian pergi.

“Gak tau nanti ya,” mencibir keseriusan Bima, Chaki pikir berbagi hal yang awalnya terasa berat jadi mudah kalau orangnya Bima. Sebab Bima selalu disana, tak beranjak tak bergerak. Masih setia menopangnya.

“Gak bakal deh,” ucap Bima mantap, “Jadi aku kenal tiga Chaki sekarang.”

Chaki memiringkan kepalanya, bingung, “Gimana?”

“Chaki di sekolah yang diam, Esa di bar yang liar dan bar-bar, dan Chaki yang di pelukan aku yang manja gak kira-kira,” berakhir dengan Bima yang mengaduh sebab cubitan di perutnya.

“Cha aku mau ngomong serius,”

“Apa?”

“Abang kamu disini, harusnya udah pulang dari minggu lalu. Tapi di per lama karena katanya ada urusan, terutama mau ketemu kamu,” Bima memerhatikan dengan seksama perubahan air wajah Chaki, “Kak Saera juga,” tambahnya lagi.

Chaki meragu, sebagian diri menolak keras sebagian lagi ingin mengakhiri sakit berkepanjangan ini.

Ada aku, ada aku, ada aku, Bima berkali mengulang ucapannya seperti mantra. Mencoba membangun benteng keteguhan dalam jiwa Chaki. Meyakinkan bahwa apapun yang akan Chaki hadapi Bima bersedia jadi tamengnya. Bahwa Chaki akan baik-baik saja sebab Bima sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu disana, melindungi Chaki

“Temuin, Cha, maafin terus lupain kalau emang menurut kamu itu yang terbaik. Mendam luka gak pernah baik, maafin dan ngerelain selalu jadi solusi paling baik. Beratnya cuma diawal, lewat-lewatnya nanti lega gak bisa ke gambar, coba deh,” Bima yakinkan lagi, “Katanya mau coba jadi kaya aku? Cuma perlu hadapin, jalanin, kalau harus dilupain ya lupain, yang penting hidup selalu tentang hadapin masalah, bertahan setelahnya.” Bima tersenyum diakhir.

Chaki berani bersumpah itu adalah senyum yang paling bisa membuatnya tersihir seolah ucapan Bima tak bisa Chaki debat kembali. Seyuman tadi menghipnotis nalarnya Chaki. Maka Chaki anggukan kepala tanpa sadar. Mengundang Bima mendekapnya lebih erat sambil bergumam kamu hebat berulang kali, seperti mantra yang lain lagi.

Chaki bingung dimana letak satu sama yang Bima maksud, sebab ketimbang Bima, dirinya punya lebih banyak beban yang diberi, juga banyak keluhan atas ketidakmampuan diri. Tapi Bima tak pernah protes, selalu meyakinkan dengan hati penuh.

“Kita bakal hadapin mereka sama sama, lupain semua yang dulu, kalau udah dihadapin semua keputusan ada di kamu. Kamu bisa, Cha. Chaki bisa dan Chaki hebat.”

Bima tidak tahu saja bahwa Chaki selalu ingin menangis setiap kali ada kata-kata baik di lontarkan untuknya. Dan Bima tak segan untuk selalu memberinya.

Jadi Chaki biarkan dirinya menangis lagi, membasahi dada Bima dengan air matanya.

“Pokoknya biar impas Bima harus mau Chaki kasih makan sampai besar, Bima kurus banget pipi nya gak bisa gantian aku cubit!”

Chaki mengomel tentang satu sama kembali, membuat tawa berderai menghiasi malam di kamar asrama mereka berdua. Pun Bima bisa apalagi selain mengiyakannya? Bima sudah kalah dengan perasannya sendiri. Telak.