si rindu
Hampir dua minggu ini hidup Calvin rasanya seperti orang gila. Bukan maksudnya gila dalam artian sesungguhnya, namun gila dalam artian yang lebih gila, ya begitu pokoknya. Calvin gila-gilaan menyelesaikan tugas-tugasnya pada masa on job training kali ini —yang mungkin adalah OJT terakhirnya, gila-gilaan mengurus berkas yang dikejar deadline dari kantor sampai harus overtime setiap hari, serta gila-gilaan mengejar hal-hal yang harus ia selesaikan sebelum ia tinggalkan.
Pun bagaimana tidak gila? Selain masalah pekerjaan, belum masalahnya dengan Acel kemarin rampung, Papa tiba-tiba menambah masalah baru dengan menyuruhnya pindah ke perusahaan milik keluarga dan menjadi manager disana untuk menggantikan abangnya. Dan itu lusa. Sungguh apa yang bisa lebih gila lagi dari ini? Rasa-rasanya kepala Calvin bisa meledak saat ini juga.
Namun dari semua masalah gilanya, yang paling membuat hidup Calvin nelangsa adalah Acel yang marah padanya. Ia tidak suka itu, sangat. Acel jadi mengabaikan semua pesan juga telfonnya. Dan perasaan diabaikan seperti itu hanya akan menciptakan rasa khawatir berlebihan pada Acel makin tumbuh, apalagi saat dia jauh sepeti ini. Calvin memang tipe yang protektif terhadap apa yang jadi miliknya. Meski kenyataan bahwa Acel adalah bukan dan sikapnya seperti inilah yang menjadi salah satu sebab Acel marah. Dia akui dia plinplan dan payah, tapi bagaimana ya, Calvin hanya ingin menjaga Acel, itu saja. Meski tidak ada embel apa-apa, tapi dia sudah melabeli Acel sebagai miliknya. Cukup seperti itu dan tidak perlu didebat kembali.
Calvin tak bisa melakukan banyak hal sekarang karena posisinya sedang berada jauh dari Acel. Di diamkan Acel sungguh membuatnya uring-uringan dalam melakukan apapun. Belum lagi rindu yang dengan kurang ajarnya merenggut semua pikiran rasionalnya. Calvin tersiksa, sangat nelangsa hati dan perasaannya kini. Sudah berhari-hari ini permintaan maaf nya melalui pesan singkat tak membuahkan hasil. Menyedihkan.
Jadwal pekerjaan yang menyita waktunya selama seminggu lebih ini akhirnya tuntas. Calvin sementara ini bisa bernafas lega karena ia akan pulang sekarang, meski kenyataan untuk memulai lagi awal yang baru semakin nampak di depan mata. Calvin merapihkan barang-barangnya, mengabsen kembali satu persatu sebelum koper besarnya ditutup dengan sedikit terburu-buru.
Calvin memasukan kopernya ke bagasi dengan cepat, berlari kearah kemudi dan melajukan mobilnya seperti kesetanan. Seharusnya Calvin pulang dengan akomodasi yang di sediakan oleh kantor dalam masa OJT ini, namun karena waktu pulangnya yang lebih lama, menyebabkan Calvin memutuskan untuk membawa kendaraan pribadi. Tujuannya hanya ingin mempercepat waktu kepulangan, itu saja.
Berkali-kali jam di pergelangan tangannya dilirik, yang mana menyebabkan laju mobil Calvin makin kencang membelah jalan. Sekarang pukul dua siang dan ia menargetkan untuk sampai ke kantor Acel sebelum jadwal Acel pulang. Ya, Calvin sengaja pulang buru-buru untuk bisa bertemu dengan Acel, mengabaikan lelah tubuhnya yang butuh untuk diistirahatkan setelah seminggu bergelut dengan pekerjaan.
Sayang, rencana tinggal rencana, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Untuk yang kesekian kalinya, Calvin terlambat lagi. Bukan lelahnya luruh karena bertemu Acel, yang ia dapat malah kenyataan kalau Acel sudah tidak nampak lagi di kantornya saat ia sampai disana setelah kejar-kejaran dengan waktu. Pemuda itu pulang entah dengan siapa hari ini. Apakah itu Jovan ataukah Sena? Calvin tidak tahu karena handphone-nya dalam keadaan mati hingga ia tak bisa menghubungi siapapun.
Belum memyerah, tanpa banyak membuang waktu, Calvin bergegas melajukan mobilnya kembali. Membelah jalan menuju kompleks apartemen Acel, memutuskan untuk menunggu disana. Calvin berharap barangkali saja usahanya tidak sia-sia. Barangkali saja ia dapat bertemu si mungil karena rindunya kini makin menggerogoti hati dan Calvin tak mampu membendungnya lagi.
Dewi fortuna berada di sisinya kali ini. Acel belum pulang ketika ia masuk dan memeriksa apartemen pemuda itu. Calvin tentu tau password apartemen si mungil, pun dengan Acel yang mengetahui password apartemennya. Bahkan password handphone juga mereka tahu satu sama lain. Mereka memang sudah pada tahap saling berbagi dan mengetahui, tapi tanpa ikatan yang jelas pasti.
Satu jam Calvin menunggu Acel di ruang tengah, tubuh bongsor nya yang lelah dibawa berbaring pada sofa. Mengabaikan fakta bahwa bajunya masih belum diganti dan tubuhnya sudah sangat lengket. Suara kode yang ditekan dan pintu terbuka terdengar bersamaan suara suara langkah pelan yang terdengar seketika terhenti. Mata Calvin terbuka, ia yakin itu Acel, dan pemuda itu menyadari kehadiran sepasang sepatu miliknya di pintu masuk.
Acel masuk dengan hati-hati sebelum ia melihat seonggok daging berbalut kemeja awut-awutan berusaha bangun dari tidurnya di sofa ruang tengah. Manik mereka bertemu, Acel kini melihat dengan jelas keadaan wajah —yang kalau boleh jujur sangat dirindunya ini, tak kalah berantakan. Cokelat terang bertemu hitam kelam. Acel yakin sekali melihat keputusasaan pada manik hitam kelam yang seminggu ini memenuhi pikirannya. Terselip rindu sama besar seperti miliknya saat tatapan mereka terkunci pada detik Acel berniat memakinya saat melihat sepatunya di dekat rak tadi.
Calvin diam di tempatnya, terhipnotis oleh tatapan si mungil yang hampir dua minggu ini tidak ia temui. Calvin tidak mengetahui bahwa selama hampir dua minggu tidak bertemu, Acel bisa makin menawan dan menggemaskan seperti ini. Rasanya ia ingin menangis sebelum akhirnya ia mendekati Acel dan menarik pemuda mungil itu kedalam pelukan. Acel tidak menolaknya, tak juga membalas peluknya. Pemuda itu hanya diam saat isakan lolos dari mulut Calvin, sesak dan senang yang membuncah sudah tak dapat ditahan lagi.
Calvin terisak kuat disana, hidungnya melesak makin dalam pada perpotongan leher Acel. Meraup wangi nya dengan rakus seolah melampiaskan segala rindu nya disana. Betapa hausnya dia akan wangi menenangkan pemuda di dekapannya ini, betapa menderitanya ia tanpa perhatian pemuda ini, betapa rasanya ingin mati ia tanpa kehadiran pemuda ini. Isakan Calvin mereda saat tangan pendek dengan jemari gempal mengelus punggungnya naik turun dengan lembut.
Acel membawa Calvin duduk kembali di sofa, sebelum melepas pelukan dan berjalan menuju kamarnya tanpa sepatah kata apapun. Calvin yakin sekali bahwa dirinya tak dimaafkan Acel kali ini. Dirinya sudah siap kalau Acel ingin mencaci makinya, namun yang ia lihat adalah adalah segelas teh hangat yang disodorkan dihadapan wajahnya.
“Minum dulu,” Akhirnya setelah sekian lama, suara Acel yang kian lama kian lembut Calvin rasa menyambangi telinganya kembali.
Senyum Calvin mengembang mencapai matanya, perasaan hangat menjalari hati dan perasaannya bersamaan dengan rasa bahagia saat meneguk teh buatan Acel. Acel duduk disampingnya, sedikit memberi jarak namun masih dekat dalam jangkauan. Calvin diam setelah mendengar helaan nafas panjang tak lama setelah ia meletakkan gelas kosong ke meja. Acel menunggunya bicara, tapi ia masih diam saja.
“Kalau kamu cuma mau diam, di apartemen kamu aja. Aku capek,” Acel baru akan berdiri sebelum Calvin menarik tangannya, membuat ia berbalik kearah pemuda jangkung itu.
“Maaf,” Hanya itu kalimat yang mampu keluar dari bibir Calvin seiring dengan kepalanya yang makin tertunduk.
Acel menghela nafas kembali sebelum melepas genggaman Calvin dan duduk di sebelahnya lagi. “Buat apa emangnya?”
Calvin diam, bingung ingin jawab apa karena sadar sekali banyak salahnya. “Buat bikin kamu gak marah lagi. Maaf aku udah bentak kamu, udah marah-marah gak jelas. Maaf udah ngatur-ngatur dan udah bikin kamu nangis,” keluar juga semua kata yang sebelum ini hampir ditelannya karena takut.
Acel memandang kearah Calvin, merasa sangsi dengan permintaan maaf yang nyatanya akan berulang kembali karena ini bukan kali pertama maupun kedua Calvin meminta maaf dengan alasan yang sama. Pun dengan mereka yang bertengkar karena hal yang sama juga, berulang seperti itu terus. Namun jauh dalam lubuk hatinya, meski Acel tak mengerti mengapa Calvin bersikap seperti ini, Acel sadar semua demi kebaikannya juga. Apalagi sikap Calvin memang menjadi-jadi setelah kejadian yang menimpanya dulu.
“Maksud kamu nangis itu apa? Biar aku maafin?” Calvin menggeleng, bibirnya masih menekuk kebawah. Sungguh Calvin mirip sekali dengan Tanie yang merajuk saat tak diberi makan saat ini.
“Aku cuma takut kamu marah,” kata Calvin, nadanya dibuat sesedih mungkin.
Acel tersenyum geli, benar-benar seperti Tanie versi manusia sekali Calvin ini. “Apa bedanya? Cengeng banget jadi cowok,” Calvin diam saja, wajahnya makin menekuk dan mengundang iba.
“Maaf, Cel,”
Acel berdeham menanggapi, Calvin mendongak secepat kilat kearahnya dan mengguncang lengannya pelan. “Dimaafin?” serunya senang.
“Iya,” Calvin tak bisa menyembunyikan rasa senangnya lagi karena kini si mungil kembali berada dalam dekapannya.
“Kangen banget aku sama kamu, Cel,” Calvin mengendusi scent Acel dalam-dalam pada tengkuknya, sementara si mungil yang duduk di pinggir ranjang sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil setelah selesai mandi dan berganti pakaian.
“Mandi sana ih, kamu bau keringat,” Acel mendorong pelan tubuh Calvin yang sejak Acel memaafkannya tadi tidak mau lepas dan terus menempelinya seperti lintah.
Calvin menjauhkan kepalanya kemudian merajuk, “Padahal masih kangen,” katanya sambil berjalan gontai menuju kamar mandi.
“Manja banget sih, disuruh mandi doang susah. Nanti kalo udah mandi boleh nempel-nempel lagi deh. Lagian kamu tuh baru pulang dinas bukannya bersih-bersih dulu kek malah kesini,” Omel Acel.
“Mandiin sekalian dong biar semangat aku nya,” Goda Calvin kemudian berlari dan terburu menutup pintu kamar mandi sebelum handuk basah Acel sempat mengenai wajahnya.
Wajah Acel kini bersemu saat Calvin yang sudah selesai mandi menagih janjinya. Bukan hanya menempeli bahkan kini pemuda jangkung itu sedang menopang dagu memandanginya kemudian mengecup pipi kanan, menjauhkan wajah dan memandanginya kemudian mengecup lagi pipi kiri, begitu seterusnya selama sepuluh menit berlangsung. Dan setiap detik pipi Acel bersemu setiap detik itu pula Calvin semakin menyukainya. Acel itu galak tapi mudah sekali di goda. Calvin jadi gemas sendiri.
“Udah ih basah pipi aku nya,” Tak tahan karena merasa wajahnya makin memanas Acel protes dan menutupi seluruh wajahnya. Calvin hanya tertawa dan kembali memeluknya dan Acel melingkarkan tangannya di pinggang Calvin. Hal itu sukses membuat si jangkung tersenyum lembut tanpa Acel lihat dan membuat perasaan Calvin berbunga-bunga.
Mereka berakhir berpelukan dengan wajah Acel yang tenggelam di dada Calvin. Tadinya, skenario dalam kepala Acel ketika kapanpun ia bertemu Calvin untuk pertama kali setelah lama tidak bertemu, adalah untuk tidak mudah memaafkannya, untuk tidak mudah luluh padanya. Kenyataannya, di detik pertama ia melihat Calvin berdiri di ruang tengah apartemennya dengan penampilan kacau balau, ia ingin sekali memeluk pemuda jangkung itu.
Mereka bertukar banyak cerita apa saja yang mereka lewatkan selama hampir dua minggu ini. Calvin mendengarkan cerita Acel dengan khidmat seperti anak baik. Gerakan tangan dan ekspresi wajah si mungil saat bercerita membuat Calvin tertawa dan mati-matian menahan gemas supaya tak melukai pipi Acel karena sudah dicubitinya sejak tadi.
“Aku kangen banget jalan sama kamu,”
“Aku masa pergi pulang ke kantor jadi repot gak ada kamu, bingung gitu kalo abang gocar langgangan bikin sebel gini,”
“Aku juga kangen sama Tanie. Aku mikirnya aku bakal musuhan dulu sama dia karena lagi musuhan sama kamu.”
Dan Calvin sukses dibuat tertawa terpingkal-pingkal karena keluh kesah Acel yang sangat lucu.
Setelahnya Acel menyuruh Calvin ikut menceritakan kisahnya yang sudah terlewatkan.
“Aku punya berita besar,” Calvin menceritakan semuanya, termasuk mandat Papa tentang menggantikan abangnya.
Acel menatap Calvin dengan mata sipitnya yang membulat lucu, binarnya terpancar jelas bahwa Acel turut senang ketika mendengar Calvinnya akan segera jadi manager. Manager di perusahaan dimana Acel bekerja lebih tepatnya. Yang mana berati bahwa Calvin akan segera menjadi atasannya.
“Bangga banget aku loh. Serius, kita harus rayain ini, Cal!” Acel kegirangan sendiri dan berulang kali mengatakan pada Calvin bahwa ia sangat bangga.
“Apaan, justru aku pusing karena ini, aku ngerasa belum siap, aku masih belum kompeten, aku—”
“Aku percaya kamu bisa,” potong Acel cepat, matanya memandang lurus pada manik kelam Calvin seolah memberi keyakinan dan rasa percaya disana. Calvin tersenyum, merasa cukup jika Acel saja percaya padanya. Merasa cukup atas segala dukungan yang diberikan si mungil. Berkali-kali ia mengucapkan terimakasih sambil mengecupi pipi gembil Acel.
“Pokoknya hari ini kita jalan-jalan dan makan sepuasnya buat ngerayain kamu yang jadi manager hari senin nanti! Leggo!”
Malam itu, Acel memaksa keluar untuk merayakan berita besar ini. Melupakan fakta bahwa ia yang sejak tadi mati-matian menyuruh Calvin beristirahat karena kelelahan. Mereka bersenang-senang sejenak, melupakan sebentar masalah yang mungkin akan datang di kemudian hari.
Siapa peduli? Yang penting, saat ini mereka bisa bersenang-senang. Menghabiskan waktu berdua, berbagi tawa satu sama lain, dengan rengkuhan yang makin mengerat serta tautan jemari yang tak terlepas. Tanpa memusingkan perihal kejelasan, memikirkan pasal hubungan, mengabaikan kenyataan.