satu sama
Langit sudah gelap saat Chaki sampai di depan pintu bercat biru langit, pintu asramanya, pintu kamarnya —dan Bima. Ada pertimbangan beberapa saat sebelum ia membuka pintu itu, perasaan antara siap dan tidak untuk menghadapi pembahasan mereka nanti. Chaki sadar, semakin lama sesuatu dipendam, maka semakin besar efek yang akan ditimbulkan dan itu tidak baik. Chaki sangat menunggu datangnya hari ini, Bima ingin terbuka dengannya bukan? Tapi di lain sisi Chaki takut menghadapi kenyataan lainnya, hanya belum siap sama sekali.
Pintu terbuka sebelum sempat Chaki memegang kenopnya. Cowok jangkung yang Chaki kenal dengan baik, dengan plastik hitam di tangan kanannya nampak terkejut mendapatinya di depan pintu.
“Loh Chaki, kamu udah pulang? Kok gak langsung masuk?”
Chaki mendengus, merutuki dalam hati kinerja jantungnya yang sangat ekstra hanya setelah menyadari jarak Bima sangat dekat dengannya. Wangi sabun mandi yang Bima pakai juga tiba-tiba membuat bagian dari dalam dirinya bergejolak aneh. Wangi lemon, dia juga menggunakan sabun yang sama, tapi entah mengapa saat Bima yang menggunakan wanginya jadi lebih....enak?
“Cha?”
Sadar Bima sudah bertanya dua kali Chaki buru-buru menyahuti, “Iya ini mau masuk, Bima keburu buka pintu duluan,”
“Yaudah sana mandi dulu, abis itu makan ya aku baru masak. Aku buang sampah bentar,”
Chaki mengangguk dan menurut untuk langsung masuk dan mandi sementara Bima turun ke lantai bawah untuk membuang sampah.
Selesai mandi Chaki melihat Bima sudah ada di meja makan kecil mereka, menyambutnya dengan senyum hangat yang kali ini membuat darahnya berdesir. Chaki pikir tubuhnya belakangan ini sering terasa aneh.
“Makan yang banyak ya, Cha,”
Chaki mendelik kearah Bima setelah duduk di kursinya, “Harusnya yang ngomong gitu Chaki gak sih?”
Bima tertawa, kemudian menyendok nasi nya dengan lahap. Makan bersama Chaki bisa membuatnya begitu bersemangat. Jujur, makan adalah hal yang paling sulit Bima lakukan. Itu sebabnya Bima sadar mengapa penyakitnya yang ia kira hanya maag biasa ternyata berubah pesat menjadi tukak lambung kronis.
Mata Chaki tak melepaskan Bima sekalipun, memastikan dengan baik bahwa Bima menghabisi seluruh makanannya dan tak bersisa sebutir nasi pun. Sesekali Chaki akan menambahkan lauk pada piring Bima, memindahkan ayam kecap miliknya yang sudah di suwir pada sendokan nasi Bima atau menambahkan minum ke gelas Bima yang dirasa mulai berkurang isinya.
Bima tersenyum, memakan semua yang diberikan Chaki dengan hati menghangat. Perasaan senang bersarang dalam hatinya. Chaki menjadi berkali-kali lipat lebih perhatian dan manja sejak dirinya masuk rumah sakit dan Bima sadar itu. Bima mendapatkan usakan lembut di kepalanya setelah semua makanannya tandas tak bersisa.
“Pintar Bima makannya,” Chaki tersenyum lebar sampai mata, maka bulan sabit kesukaan Bima ikut terbit. Menghantarkan rindu-rindu yang tunai satu persatu. Sudah lama sekali tak bertemu senyum itu.
Segelas kopi hitam dan cokelat hangat sudah ada di tangan masing-masing. Tapi mereka masih mempertahankan kesunyian yang menelan mereka diam-diam. Bima sibuk memikirkan darimana awal cerita yang harus ia jelaskan. Sedang Chaki takut, sebab masalahnya kini bukan hanya tentang Bima yang belum mau membagi kisahnya, ini lebih dari itu.
Chaki berdeham, beranjak dari kursi katanya ingin mengisi ulang kopi. “Besok aja,” katanya sebelum berlalu melewati Bima.
Bima mencekal pergelangan tangan Chaki, membuat si mungil berhenti dari langkahnya.
“Apa?” Alisnya terangkat tanda tak mengerti.
“Sengaja biar gak jadi bahas yang aku bilang tadi siang?” Bima menemukan air wajah Chaki yang kaku, yakin bahwa tebakannya benar.
Bima menarik Chaki duduk kembali, mengelusi jemari gempal yang mungil dalam genggaman. “Kalau kamu gak mau kita bahas ini kita bisa bahas lain kali,” Bima menjeda memerhatikan Chaki yang nampak terganggu, ada ragu yang terbaca jelas dari matanya, “Tapi nanti masalah kita jadi makin numpuk, gak baik menunda suatu hal yang sebarusnya segera diselesaikan itu,” tambahnya kemudian.
Chaki membuat pola acak pada meja dengan jemari lainnya, menyadarkan Bima bahwa Chaki kini sedang menentukan keputusan yang cukup berat bagi dirinya sendiri.
Bima membawa tubuhnya merapat kedepan, melepas genggam dan menangkup dunia dalam kedua telapaknya. Wajah Chaki, dunia Bima dalam bentuk perbandingan skala terkecil.
“Cha, liat aku,” Jemari Bima menuntut wajah Chaki untuk menatap manik madu cowok itu mau tak mau. Chaki bisa lihat ada keyakinan disana, keyakinan yang Bima coba tunjukkan padanya.
“Kalau masalahnya dihindarin terus nanti makin besar. Kalau nunggu siap, manusia gak akan pernah siap. Jadi, daripada dihindarin terus mending kita hadapin bareng-bareng. Kamu sama aku, kamu punya aku sekarang Cha,” Bima mencoba meyakinkan kembali.
“Lagi pula ini awalnya mau bahas tentang aku dulu kok, kamu mau tau kan?” kata Bima lagi, pancaran mata yang mengisyaratkan keyakinan memberi Chaki kekuatan, kekuatan untuk menabahkan hatinya sendiri.
Chaki mengangguk.
“Aku yakin kamu udah nunggu jujurnya aku ini dari lama, maaf aku siapnya terlambat Cha. Sampai kita harus berantem dulu kaya tempo lalu baru aku sadar,” Bima melepas tangkupannya. Mempersilahkan Chaki untuk mencari tempat ternyaman untuk mendengarkan kisahnya. Meski tahu nyaman Chaki akan berakhir pada dekap hangat dengan kepala bersandar pada dadanya.
“Gakpapa, pasti berat buat Bima juga,” jawab Chaki yang kini sudah meyakini dirinya sendiri.
“Bisa iya bisa enggak, soalnya aku udah ngalamin ini bertahun-tahun jadi gak merasa terbebani sama sekali,” dagu Bima dibawa keatas kepala Chaki, mengusak disana dengan gerakan kecil-kecil.
Chaki memejamkan mata sementara Bima mulai menceritakan segala hal yang akhirnya mampu menjawab semua pertanyaannya satu persatu.
Bima bukan dari keluarga yang berada, bukan juga berasal dari keluarga tak punya. Bisa dikatakan tak pernah kurang tapi tak pernah juga berlebihan. Biasa saja. Hanya biasa saja.
Keluarga Bima tegolong keluarga yang harmonis, sangat harmonis malah. Ayah dan Ibunya saling mencintai, juga merawat Bima dan adiknya yang masih bayi —Rayyan, tak pernah kurang-kurang. Ayah punya rumah makan kecil-kecilan, kamudian berkembang hingga membuka kafe yang masih dirintis dari bawah.
Waktu itu Bima masih di sekolah dasar, Om-nya datang sendiri ke rumah menawarkan diri untuk membantu pembangunan dalam rangka ekspansi kafe lebih besar lagi. Katanya, bahkan akan dibuatkan cabang dekat rumah Om-nya.
Senyum terkembang, hari itu Ayah dan Ibu bahagia. Tentu mempercayakan sepenuhnya karena Adik Ayahnya tersebut sudah dipercaya, juga kerap membantu Ayahnya.
Hari beganti, pembangunan tak kunjung terjadi apalagi ekspansi. Ayah sudah resah, sebab seluruh modal dan tabungan semua, sudah tak ada lagi bersisa.
Sampai suatu hari setelah bulan terlewati, Adik Ayahnya datang membawa kabar mengejutkan. Dia tertipu, mereka tertipu dan itu jumlahnya sudah bukan puluhan. Ayah tumbang, Ibu menangis nengiringi sampai ke rumah sakit.
Hari ini hari terburuk bagi Bima dan keluarganya, karena Ayah dinyatakan terkena stroke dan tak mampu melakukan apa-apa lagi untuk menunjang keluarga.
Pasang surut hidup Bima rasakan sejak dirinya menginjak kaki di tahun pertama Sekolah Menengah Pertama nya. Ada hari-hari Bima harus rela menahan lapar dari pagi sampai pulang, dan rela makan hanya dengan nasi hangat dan garam saat dirumah. Ibu saat itu belum ada modal untuk kembali usaha, jadi hanya bisa berjualan kue keliling.
Bima sudah terbiasa, tak jajan, tak punya banyak teman —sebab berteman butuh modal banyak, tak bisa ikut banyak kegiatan sekolah, tak mampu beli buku, bahkan sepatu rela diganti alas berkali-kali serta tas yang harus kembali dijahit ditempat yang sama robeknya.
Bima —barangkali karena jiwanya sebagai anak pertama, tak pernah sekalipun mengeluh. Selalu berpikir bagaimana caranya mencari uang, entah itu jual kue di sekolah, mengamen, atau bantu-bantu tetangga di bengkel dekat rumah.
Tahun kedua Bima kenal Yosha, bersamaan dengan kesukaannya pada musik mulai bertumbuh seiring Yosha yang kerap mengajaknya bergabung dengan ekskul musik. Sejak saat itu, Bima punya teman yang terima dia apa adanya. Juga punya alasan untuk bekerja lebih giat hingga akhirnya Bima punya Pablo dari hasil peras keringat.
Setelahnya Bima coba cari uang dengan bernyanyi, mulanya kebisaan otodidak, lama-lama terbiasa karena latihan saat ekskulnya. Yosha selalu temani, mendukung Bima seolah tahu yang Bima butuh hanya dukungan. Hanya kata bahwa Bima bisa.
Bima berlari, kemudian tersandung batu.
Bima berjalan kemudian terinjak duri.
Pada akhirnya Bima selalu mampu bangkit lagi. Demi Ibunya, demi Ayahnya juga demi adiknya.
Bima ingin fokus bekerja, putus sekolah saja katanya. Namun Yosha bersikeras sebab Bima sangat sangat pandai jika boleh dikata. Hanya keadaannya yang tak memadai untuk Bima menunjukkan betapa cerdas dirinya.
Bima kubur dalam-dalam soal jadi pintar, sebab tak punya waktu belajar. Bima hanya tahu cari uang, untuk bantu keluarga bertahan hidup, juga bantu Ayah agar berobat jalan terus. Kerja tugas dan ujian yang penting selesai.
Bima tak pernah tinggal kelas dan tak pernah berada di urutan paling bawah. Biasa saja. Sebab, dirinya biasa saja, katanya.
Seiring berjalannya waktu, uang Bima dan tabungan ibu terkumpul, cukup untuk meneruskan kafe sedikit demi sedikit dan mulai merintis kembali saat Bima berada di akhir tahun pertama Sekolah Menengah Atas. Baru berjalan dua tahun kesini, dan masih belum mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Itu sebab Bima tetap bekerja, makin giat saja karena kebutuhan pengobatan Ayah dan keperluan adiknya Rayyan makin meningkat. Bima bersyukur ada Theo yang menemani, juga Yosha yang senantiasa mendukung. Mereka membantu Bima, membuatkan Bima saluran YouTube-nya sendiri, mengunggah video Bima yang bermain gitar agar banyak kontennya, mencoba mencari uang dengan cara berbeda. Namun masih sedikit peminatnya.
Sampai Bima pernah bertemu Wildan selesai busking sorenya, cowok itu mengajaknya bekerja untuk tampil di bar dengan tawaran bayaran yang cukup menjanjikan dan stabil daripada busking yang seperti ini.
Bima iyakan.
Satu kali, lumayan juga.
Dua kali, lumayan bayarannya.
Tiga kali, Yosha dan Theo tahu kemudian marah besar.
Sebab itu bar, mereka belum legal dan Bima harus bekerja sampai tengah malam. Bima adalah anak sekolah. Dan Bima berhenti.
Bima melakukan semua seperti semula lagi, sampai akhirnya Bima pindah asrama, menjadi roommate Chaki dan dengan terdesak menerima tawaran Wildan kembali. Kali ini Yosha tak tahu, hanya Theo saja.
”...... tapi sekarang kamu juga udah tau,”
Bima menutup ceritanya saat isakan makin kuat terdengar dan dadanya terasa basah. Chaki menangis sesegukan dan Bima tertawa dibuatnya. Hidung Chaki merah sekali, bibirnya mengerucut seperti anak ayam yang Bima biasa katakan.
“Kok nangis sih, Yam?” Bima bertanya main-main kemudian dapat pukulan telak di dada. Bima tertawa kencang sementara Chaki membenam wajah makin dalam.
“Kok Bima bisa kuat banget sih? Kalo itu aku kali udah nangis setiap hari,” Chaki bertanya meski suaranya sayup teredam dada. Tercekat-cekat sebab nafasnya sulit akibat banyak keluar tangis.
“Aku udah biasa, itu gak perlu ditangisin. Cuma perlu di jalanin. Namanya hidup tuh gak selalu mulus lagi, Cha. Salah satu alasan orang bisa jadi kuat ya karena udah pernah dapet susah berkali-kali, udah diuji berkali-kali. Hidup kan tentang gimana caranya kita belajar dan bertahan. Orang yang hidupnya udah biasa susah, gak akan pernah ngeluh kalau dapat cobaan sedikit. Pasti mikirnya, pasti ada jalan keluar, ayo coba lagi, gitu. Jadinya gak gampang nyerah dan stres sendiri,”
Chaki setuju, merasa hidupnya seperti itu namun Chaki belum mampu seperti Bima. Menjalani hidup dan menghadapi masalahnya. Chaki belum sekuat Bima. Chaki selalu menyalahkan keadaan dan menghindari masalah dengan pelampiasan yang salah.
Chaki jadi berpikir bagaimana hidupnya jika ia bertemu Bima dua tahun lalu. Lebih cepat, lebih dulu. Apa ia tidak akan pernah jadi Chaki yang sekarang? Apa ia bisa lepas dari penyakitnya? Apa ia tidak akan pernah menyakiti dirinya sendiri serta orang-orang sekitarnya?
“Aku harap bisa ketemu Bima lebih cepat dari ini, aku harap bisa ketemu Bima sejak dulu,”
Bima mengelus punggungnya, memberi kecup lembut pada pucuk kepala Chaki. Menenangkannya dan mengatakan bahwa tidak ada yang terlambat, semua sudah direncanakan Tuhan, termasuk di dalamnya adalah pertemuan.
”.... gak ada yang terlambat, akhirnya kamu juga bakal selalu punya aku buat nemenin kamu, Cha.”
Chaki mengangguki, mengamini dalam-dalam karena rasanya kini ia ingin Bima menemaninya sampai lama. Tak tahu ini perasaan macam apa, tapi Chaki pikir ia hanya butuh Bima untuk hidupnya. Menyembuhkan lukanya yang menganga dan menopang dirinya.