the meeting
Gavi duduk termenung di Cafe yang sudah dijanjikan kemarin dengan orang yang tanpa di duga akan memberikan pekerjaan padanya. Kopi panas pesanannya baru saja datang, masih mengepul di depannya. Sekilas ia melirik jam tangan Rolex Yacht-Master putih yang bertengger manis di pergelangan kirinya. Masih pukul 4.43 sore, ada 17 menit lagi dari waktu yang telah dijanjikan.
Gavi mengeluarkan Canon 700D miliknya dan mulai memotret sembarang. Coba mengabadikan setiap moment yang tertangkap oleh lensa kameranya. Waktu berlalu begitu saja, sekarang adalah jam yang sudah mereka tentukan, namun orang yang ditunggu belum tiba juga. Lalu lintas memang sedang macet-macetnya, Gavi memaklumi. Pemuda itu menyesap lamat kopi panasnya dan menghirup aromanya, mencoba memberi ketenangan pada perasaannya yang sejak tadi gugup.
“Maaf saya sedikit terlambat. Benar anda Bapak Gavi?”
Sebuah suara familiar menggelitik indra pendengarannya. Gavi mengangkat kepalanya untuk menatap sosok tersebut. Kemudian ia terkejut bukan main, saat netra nya bertemu pandang dengan netra yang berbeda warna. Gavi yakin orang itu sama terkejut dengannya, karena matanya membeliak meski tak bisa lebih lebar lagi dari adanya.
“Loh? Lo kan yang waktu itu di pameran?” Pekik seseorang yang tak lain dan tak bukan adalah Acel. Si mungil menunjuk Gavi tepat di depan wajahnya menggunakan jari telunjuk gemuk miliknya.
“Lo Omega rese itu?”
“Ih apaan sih kok lo ngatain gue Omega rese?” Acel bungkam seketika selepas melontarkan pertanyaan tersebut. Si mungil memejamkan matanya, menghembuskan nafas sebelum memasang senyum yang susah payah ia lakukan.
Acel hampir saja kehilangan wibawa dan melupakan tujuannya datang kemari. Tidak bisa dibiarkan, Acel harus professional karena sedang dalam lingkup kerja nya. Acel adalah orang yang mampu menempatkan diri sesuai keadannya, jadi mari buang dulu emosinya. Semangat Cel!
Acel berdeham, “Sori, bisa kita obrolin hal yang jadi tujuan kita sejak awal?” suaranya sangat sopan, meski Gavi bisa mendengar ada penekanan di beberapa kata.
Gavi memutar bola matanya bosan, lantaran melihat perubahan ekspresi yang ditunjukkan Omega di depannya dalam sepersekian detik.
“Oke,” katanya kemudian.
“Oke kita mulai dari awal ya, kenalin saya Marcel Adiputra selaku Public Relation dari Ram's Entertainment,” Acel mengulurkan tangannya pada Gavi, memberi gesture meyakinkan bahwa mereka memang harus berkenalan dari awal.
“Gavriel Chandra,” Gavi membalas uluran tangan Acel, ekspresinya datar saja.
“Oke, saya panggil Mas Gavi ya karena kelihatannya gak jauh beda dengan saya usianya,” kata Acel lagi, seluruh pergerakan si mungil sangat luwes sekali di mata Gavi, suaranya juga enak untuk di dengar berkali-kali.
“Jadi gini Mas Gavi, perusahaan kami rencanya mau mengadakan pameran, sekaligus peresmian gedung baru sih. Jadi kami mau mengenalkan ke publik yang masih awam tentang perusahaan kami. Kami butuh banyak orang untuk bekerja dalam team dalam hal pengambilan gambar untuk profile perusahaan ya misalnya tuh pekerjaan apa saja yang dilakukan dan sebagainya, juga untuk ngisi pameran itu sendiri,”
Gavi hanya mengangguk sambil mendengarkan penjelasan Omega mungil dihadapannya. Jujur boleh dikatakan bahwa Acel adalah salah satu tipe Omega yang memiliki scent menenangkan dan Alpha Gavi menyukai scent dari Omega milik Acel. Wangi lavender yang lembut dan manis.
“Jadi gimana? Mas Gavi tertarik gak untuk kerja sama bareng kami?” Gavi terbangun dari lamunannya. Gavi sendiri tidak sadar bahwa sedari tadi ia hanya memperhatikan labium penuh si Omega bukan penjelasan mengenai kontrak kerja mereka.
“Ya? Gimana?”
“Mas Gavi dengar kan yang tadi saya jelasin? Apa ngelamun ya?” Nada yang Acel lontarkan jahil sekali, padahal hati sudah kesal setengah mati, pemuda di depan Acel ini sangat tidak sopan, dingin dan cuek. Kalau bukan karena kebutuhan perusahaan yang terburu, Acel mungkin akan mencoba untuk mencari orang lain saja. Namun apa daya, kebutuhan perusahaan sangat mendesak.
“Nggak, saya dengerin. Oke, saya setuju. Kira-kira kapan ya mulai kerja nya?”
Ekspresi wajah Acel berubah cerah saat Gavi akhirnya setuju untuk bekerja sama dengan mereka.
“Beneran Mas Gavi setuju?” pertanyaan Acel dibalas anggukan.
“Jadi nanti Mas kerja di tim saya. Besok sudah mulai masuk ya Mas Gavi. Jam 9 sudah di kantor,” jelas Acel.
“Oke, makasih banyak udah ngerekrut saya,” ucapan yang dilontarkan dengan ekspresi sedatar itu membuat Acel menggelengkan kepalanya.
“Sama-sama, memang Mas berbakat kok. Walau ngeselin,” kata Acel dan menggumam di akhir kalimat. Gavi berniat membalas ucapan Acel namun diurungkan niatnya.
“Ya udah cuma itu saja yang mau saya sampaikan. Ngomong-ngomong saya duluan ya Mas Gavi. Sampai ketemu besok. Senang bisa kerja sama bareng Mas Gavi,” Marcel tersenyum sebelum akhirnya ia meninggalkan posisi duduknya, menuju pintu keluar cafe.
Gavi masih duduk di tempatnya semula, menatap gelas coklat panas milik Acel. Aroma lavender Acel tidak pernah lepas dari indra penciumannya bahkan setelah Omega itu pergi. Alpha Gavi perlahan mulai menyukai scent lavender Acel.
“Apaan sih, lo mikir apa Gav?”