kenapa?


Sekembalinya Chaki dari acara menginap bersama Bang Nico dan Kak Saera tiga hari yang lalu, Bima merasa ada yang aneh dari sikap teman sekamarnya itu. Bukan aneh dalam artian buruk, namun entah juga ini baik atau tidak, yang jelas pemilik senyum sabit itu gerak-geriknya terasa berbeda. Chaki jadi lebih manja, semakin banyak berceloteh dan nampak bingung.

Memasak, yang jelas bukan merupakan kegiatan wajibnya—karena Bima sendiri punya kemampuan memasak lebih dari Chaki, kini sudah seperti ajang unjuk bakat dadakan. Sudah dua hari ini, Chaki mengambil tanggung jawab sebagai juru masak untuk masalah makan mereka berdua. Selain itu, sudah dua malam belakangan Chaki sering lihat-lihat resep kue yang ditemukannya di internet dan mencatatnya dengan serius.

Bima rasa ada yang tidak beres disini.

Sore ini, sepulangnya dari minimarket, alih-alih melihat Chaki duduk manis di meja belajarnya dengan setumpuk buku berserak tak beraturan, yang dilihat Bima adalah meja berantakan dengan wajah tak kalah berantakan milik Chaki di dapur mini mereka.

Harum kue yang baru saja diangkat setelah dikukus terasa manis saat menyambangi penghidunya. Bukan wajah senang, wajah mungil itu malah ditekuk dibarengi gerutuan kecil.

”...kenapa lagian Chaki banyak banget masukin baking powdernya—,” hela napas berat Bima dengar.

Bima tersenyum kecil mendengar gerutuan itu, berjalan mendekat kemudian meletakkan belanjaan diatas meja, Chaki masih tak menyadari kalau Bima sudah kembali. Sapaan halus Bima buat mata sipit itu membulat kaget dan sejurus kemudian tatapnya berubah nanar, seolah ingin tumpahkan segalanya lewat tatap.

“Kamu ngapain?”

Yang ditanya mendelik sinis pada kue cokelat yang teronggok di meja kemudian melirik Bima sedih, membuat cowok jangkung itu tak bisa menahan senyum karena gerak-gerik Chaki yang lucu.

“Chaki habis ngancurin dapur,” bibirnya dicebikkan, dia berdiri dari duduknya kemudian membereskan segala kekacauan. Diletakannya piring dan gelas kotor di westafel untuk dicuci.

Kaki Bima terayun mendekat, coba ambil alih kegiatan Chaki mencuci piring, namun mendapat tolakan keras, “sana mandi dulu gih. Ini biar Chaki beresin.”

Diangguki saja, Bima jadi anak penurut jika bersama Chaki.

Lima belas menit kemudian Bima keluar dari kamar mandi dan temukan dapur yang sudah bersih tertata, plastik belanjaan sudah lenyap, barangkali isinya sudah nangkring ditempat seharusnya. Bima berjalan kecil menuju kasurnya sambil mengeringkan kepala, ada pemilik senyum sabit sedang duduk menyilang kaki disana dan menyuruhnya mendekat, duduk di karpet bawah.

Duduk menghadap Chaki, Bima menurut saja saat tangan mungil itu mengeringkan rambutnya dengan usakan-usakan lembut. Rasanya hangat dan nyaman, apalagi ketika suara lembut itu mampir menggelitik gendang telinganya, bilang rambutnya sudah panjang dan harus segera dipotong. Bima hanya mampu bergumam, kelewat fokus pada pemandangan di depannya.

Elok rupa Chaki tak bisa diabaikan begitu saja. Chaki punya bibir gemuk yang mengerucut lucu kalau sedang fokus, hidung mungil yang manis, pipi mengembang terkadang merona kemerahan, bulu mata lentik berkedip menawan, dan juga mata sipit sekelam malam yang selalu membuat Bima tenggelam pada tatapnya.

Terlalu fokus pada kelam manik itu, Bima tak menyadari bahwa Chaki sudah selesai dan kini balas tatap matanya. Cokelat madu dan hitam kelam. Mereka terkoneksi dalam, merajut benang-benang imajiner yang hanya mereka mampu pahami, seolah saling menyampaikan perasaan.

Kejernihan itu tak bisa Bima temukan lagi disana, ada yang mengeruh dan berpendar pudar, ada kosong dan keraguan besar, belum sempat Bima selam lebih jauh, pandangan Chaki dialihkan buru-buru, melirik apapun selain Bima. Seolah mencegahnya untuk membaca lebih jauh lagi.

Bima yakin, memang ada yang salah.

Deham kecil terdengar, suasana canggung berusaha Chaki cairkan. Cowok mungil itu bangkit dan menuju dapur mereka. Meletakkan handuk di tempatnya, kemudian mengambil makanan yang ia buat sore tadi untuk mereka berdua.

“Ayo makan, Chaki udah masak.”

Bima mengangguk, berdiri dan berjalan mendekati meja makan kecil.

Mereka makan dalam diam, satu sibuk memikirkan keanehan yang lain, satu lagi sibuk merasakan degupan jantung yang tak beraturan karena tatapan dalam tadi.


“Enak kok,” Bima mengunyah brownies cokelat gagal yang Chaki buat, tadinya ingin dibuang ke kotak sampah, namun Bima keburu lihat duluan.

Kecanggungan sudah menguap secepat kedip mata. Jika menyangkut mereka berdua, entah kenapa selalu ada nyaman melingkupi jika salah satu sudah ambil langkah duluan. Pun memang mereka tidak bisa lama berdiaman. Katanya, terasa aneh, ada yang kosong dan juga kurang lengkap.

Takut-takut Chaki tatap lekat Bima yang makan kue buatannya, khawatir teman asramanya keracunan karena produk gagal tersebut. Tapi sejak tadi yang dilontarkan Bima adalah pujian.

“Itu ngembang banget, terus Chaki kayanya kebanyakan ngasih susu kental manis sama tepung. Aneh gitu kok, udah sini buang aja, nanti Bima sakit perut,” tangan pendeknya menggapai-gapai, tapi Bima lebih cepat untuk bawa loyang itu kebelakang tubuh.

“Yaudah biar buat aku aja, udah sana belajar, aku mau ngabisin ini kok,”

Apa seenak itu ya? Perasaan saat dicobanya tadi rasanya masih kurang pas, dan mengembang. Itu kesalahan terfatal karena brownies seharusnya tidak mengembang. Tapi Chaki jadi penasaran karena Bima terlihat sangat nikmati kue buatannya.

“Mau?” tanya Bima, agak sedih lihat wajah penasaran Chaki.

Yang lebih kecil mendengus, kemudian menjulurkan lidah dan pergi ke meja belajar di bawah kasur tingkat. Kesal, karena tahu Bima hanya mengejek.

Saat Chaki mulai tenggelam dalam kegiatan belajarnya, Bima menghampiri. Duduk pada tangga kasur tingkat Chaki, memberi segelas susu hangat.

“Kamu kenapa?” tanya Bima saat baru saja Chaki mengucap terimakasih dan meneguk susu.

Alis Chaki terangkat sebelah, bingung dalam hal konteks apa yang Bima tanya padanya.

“Tiba-tiba bikin brownies cokelat, dari kemaren aku perhatiin juga kamu liat-liat resep kue di internet,”

Penjelasan Bima membuat Chaki membulatkan mulut.

Ditutupnya buku catatan yang tadi dibaca, dia hanya mengulang saja apa yang dipelajari saat les tambahan siang tadi di sekolah. Dia geser duduk menghadap Bima sepenuhnya.

“Katanya Ibu Bima suka brownies kukus yang rasa cokelat, jadi Chaki coba buat,” ucapan kelewat jujur Chaki buat Bima tersedak ludah sendiri. Terkejut saat tahu fakta bahwa Chaki mau repot-repot belajar buat kue cokelat kesukaan Ibu, karena mereka memang akan mengunjunginya lusa. Dalam hati bertanya keras-keras, untuk apa?

Setelah diberi tepukan dipunggung oleh si pemilik senyum sabit, Bima baru tanggapi, “buat apa, Cha?”

“Ya buat Ibu Bima, masa kesana gak bawa apa-apa?” Chaki menyilang tangan di dada, tanda bahwa obrolan ini akan serius.

“Kalau beli, kesannya kaya kurang sopan menurut Chaki. Sekalian biar Ibu Bima nilai Chaki baik dan gak nelantarin anaknya, karena Chaki juga bisa masak.”

Alasan Chaki tidak bisa diterima nalar otaknya dengan logis, apalagi dengan perasaan yang Bima miliki secara sepihak. Tapi, alih-alih memusingkan debaran jantung yang tak karuan, yang Bima lakukan adalah mengusak helai lembut itu sayang. Sebisa mungkin menekan angan agar tak melayang terlalu tinggi, sebab ia tahu Chaki tidak dalam perasaan seperti miliknya.

“Jadi, tiga hari ini uring-uringan karena mau ketemu Ibu?”

Pertanyaan Bima dijawab anggukan kelewat semangat. Itu memang sebuah kebenaran.

“Chaki belum pernah diajak pulang kampung untuk ketemu orangtuanya teman Chaki, mungkin karena Chaki emang nggak punya teman yang kaya gitu,”

Bima tersenyum, diam mendengar dengan sabar.

“Chaki juga gak ngerti, kenapa Chaki segugup ini mau ketemu Ibu Bima.”

Bohong. Chaki mengerti kenapa sebabnya.

Karena emang gak ada teman yang begitu, Cha, pikir Bima dalam, tanpa sadar kalau ia sebenarnya sudah suarakan hal itu dengan bibirnya barusan dan Chaki pilih pura-pura tak dengar apapun.

“Suatu hari kamu bakal ngerti perasaan kamu sendiri, Cha. Cepat atau lambat,”

Ada hening menjeda saat Chaki sibuk merutuk dalam hati kinerja jantung yang tambah ekstra.

Maaf, Chaki bohong, Bima.

Sudahnya, Bima beri kata teduh penenang jiwa sambil beri Chaki peluk hangat sebentar, berkata bahwa Ibunya pasti akan suka Chaki meski mereka tak bawa apa-apa, kehadiran mereka adalah yang terpenting.

Mereka berakhir belajar bersama di bawah kasur tingkat Chaki. Kemudian setelahnya tidur di kasur masing-masing. Memang bukan kewajiban untuk tidur bersama, sementara mereka punya dua kasur terpisah.

Bima lagi-lagi coba cari petunjuk dari tindak-tanduk Chaki, teringat obrolan dengan Nico tempo lalu. Namun nihil, seolah benar, ragu dan bingung itu hanya karena Chaki gugup ingin bertemu Ibu.

Tanpa tahu, ada hal lain lagi yang Chaki kubur dalam, sendirian. Bima coba lihat kedalam matanya, tapi Chaki adalah penyimpan rahasia yang baik.

Harap Bima, Chaki bisa segera tahu arti dari perasaannya. Tanpa paham bahwa Chaki tahan diri untuk tak dipeluk Bima malam ini karena Chaki sendiri sudah tahu perasaannya, tak ingin Bima dengar detak jantung serta tahu gugupnya. Serta tak ingin Bima lebih dalam baca matanya, karena dia adalah pembaca mata yang baik.

Chaki sudah sadar perasaannya, tapi ia bisa buat apa?