changing
Terhitung dua minggu sudah sejak Gavi mulai bekerja sebagai photographer yang direkrut oleh Acel. Bertemu hampir setiap hari, bekerja bersama untuk merampungkan project mereka, bahkan makan siang bersama sudah dilakukan keduanya. Tidak juga berubah menjadi akrab sih, hanya saja mereka sudah bisa menghargai kehadiran satu sama lain sebagai rekan kerja. Meski pertemuan pertama mereka tidak cukup baik, namun profesionalitas tetap terjaga di antara mereka.
Meski sesekali Acel kerap mencibir omongan Gavi yang pedas —di luar lingkup pekerjaan tentunya, begitu pun sebaliknya. Bagaimana juga mereka agak sulit di satukan, seperti air dan minyak. Gavi yang kelewat cuek dengan Acel yang butuh di respon. Gavi yang tidak banyak omong tapi lebih banyak bekerja dengan Acel super detail dan cerewet. Pertengkaran kecil tentu tidak bisa terhindarkan.
“Mata lo tuh awas juling ya kalo gue kasih tau begitu terus,” kata Acel yang jengah dengan tingkah Gavi yang sering memutar bola matanya, malas jika sudah mendengar ocehan Acel yang super berisik. “Gue boss lo, kalo lo lupa,” Acel tidak benar-benar seserius itu mengatakannya, mereka tahu kok, sebab seringkali melontarkan ucapan-ucapan seperti itu namun tidak ada yang sakit hati.
“Lo tuh bisa gak sih gak usah pake titel boss padahal kita lagi break,” sewot Gavi setiap kali Acel mengancamnya. Serius ya, dia hanya ingin menikmati makan siangnya saat ini, bukan menikmati omelan Acel.
Acel tertawa dan menjulurkan lidahnya iseng, “suka-suka gue dong.”
Acel baru saja selesai melakukan sebuah panggilan, ia menyimpan ponselnya ke dalam saku sebelum menghampiri Gavi yang menunggu bersandar di sisi mobil. Mereka baru saja selesai survei lokasi untuk pengambilan gambar Gavi, untuk pameran nanti. Lokasinya masih mencari yang pas, kemarin mereka mengunjungi beberapa pantai, juga hutan kota. Hari ini beberapa lokasi yang cukup dekat, taman kota. Tema pameran kali ini adalah nature, mengikuti konsep gedung baru yang akan diresmikan itu, yang mengusung tema go green. Jadi, sebisa mungkin mereka harus mengeksplor tempat-tempat yang masih asri, belum terlalu banyak terjamah orang.
“Oh, udah?” Gavi menegakkan tubuhnya, menatap Acel yang hanya manggut-manggut selagi matanya bergerak memerhatikan sekitar. Mereka sekarang ada di salah satu restoran dekat taman kota, setelah sebelumnya makan siang dan memutuskan untuk kembali mencari sudut yang pas untuk dijadikan tempat pengambilan gambar.
“Gav, makan es krim dulu yuk?”
“Kita kesini kan mau hunting lokasi ya, Pak Marcel yang terhormat,” Acel menepuk lengan Gavi dengan kencang kemudian menggerutu, Gavi mengaduh sambil mengelus lengannya.
“Gue mau makan es krim dulu pokoknya,” Gavi memutar matanya malas, sudah pasti dia mengikuti langkah si Omega, bisa mengamuk seperti bayi kalau Gavi meninggalkannya untuk hunting sendirian.
Acel terkekeh melihat Gavi yang membuntutinya, ia memesan es krim dengan ukuran besar, lebih besar dari wajah Acel yang agak mungil —ini kata Gavi. Gavi tidak berniat untuk makan es krim, tapi Omega di depannya terus saja menyodorkan es krim yang dipesan untuk Gavi.
“Ambil gak? Gue mau makan es krim gue juga nih, bukan megangin punya lo.”
Emang dasar menyebalkan, gumam Gavi.
Pekerjaan Acel dan Gavi kini lebih banyak di luar kantor, baik itu hunting lokasi atau menemui orang-orang penting, juga dilakukan keduanya. Mengingat waktu peresmian gedung baru dan pameran tak lama lagi berlangsung. Oleh sebab itu, Acel jadi jarang mengobrol lama dengan Calvin, meksipun berangkat dan pulang kerja masih bersama. Sesekali Acel menerima panggilan dari Calvin saat makan siang untuk sekadar bertukar kabar tentang dimana Acel, bagaimana pekerjaannya, sudah makan dan lain sebagainya.
Gavi yang secara tidak langsung selalu manjadi saksi hidup atas kegiatan bertukar kabarnya Acel tersebut sesekali melirik. Pasalnya Acel selalu bicara dengan nadanya yang sok manis saat bicara dengan Calvin, tidak seperti panggilan lainnya yang terdengar formal dan sopan. Gavi sih tidak pernah peduli dan ambil pusing dengan siapa Acel bicara, bukan urusannya juga bukan? Namun ia mengambil kesimpulan bahwa orang yang sering bicara dengan Acel di telfon adalah pacarnya, mungkin yang waktu itu di lobby kantor, tidak terlalu penting juga sih untuk diingat.
Hari itu tak jauh berbeda, Acel baru saja menutup panggilannya dengan Calvin dan senyumnya merekah lebar, menempel lebih lama pada wajah Acel daripada waktu-waktu kemarin. Hal itu membuat Gavi heran sendiri, tapi lebih memilih tidak membuka mulutnya untuk komentar. Tidak penting.
Suara dering pesan masuk mengalihkan fokus Gavi pada ponselnya. Ketika melihat sang Mama yang mengiriminya pesan, Gavi langsung mengambil ponselnya, wajah yang semula tenang kian lama kian mengeras. Berubah drastis dalam waktu sepersekian detik.
Acel memerhatikan perubahan ekspresi itu, ia yang semula akan menyuapkan nasi ke dalam mulutnya kini menyimpan sendoknya lagi di atas piring. Entah mengapa perasaannya jadi ikut tidak enak, barangkali saja terjadi sesuatu yang buruk. Jangan salahkan Acel, bukan karena dirinya seorang Omega, pada dasarnya Acel memang adalah orang yang sangat sensitif dan perasa. Jadi hal-hal kecil saja kerap kali membuat nya penasaran setengah mati.
Setelah Gavi menyimpan ponselnya di atas meja, Alpha itu langsung menenggak kopinya cepat, dalam diam. Gavi tidak berkata apapun tapi rahangnya masih mengeras, juga alisnya yang berkerut tegang.
“Lo kenapa Gav?” Acel mencoba bertanya.
Gavi melirik ke arah Acel sebelum mengatakan tidak apa-apa. Setelahnya Acel hanya diam, merasa lancang kalau ia memaksa Gavi bilang padanya. Lagi pula dia siapa? Mereka tidak cukup akrab untuk saling berbagi kisah. Tapi biar begitu, mata Acel selalu kembali memperhatikan Alpha yang scentnya berubah, pekat, mendandakan Gavi sedang marah dan kesal sejak menerima sebuah pesan tadi.
Kenapa lo jadi pengen tau sih Cel? Kebiasaan deh. Keluh Acel dalam hati.