gakpapa kok, mas
Seperti yang Bima katakan padanya, mereka sampai di kota kelahiran Bima dua jam kemudian. Itupun masih harus naik angkutan umum dari terminal bus menuju rumah Bima. Jujur, Chaki baru lakukan ini pertama kali. Atau memang semua yang Chaki lakukan bersama Bima adalah semua pertama kalinya. Bima adalah semua serba pertama Chaki.
Genggam Chaki tak pernah lepas dari telapak besar hangat milik Bima. Seolah Bima coba beri rasa nyaman dan perlindungan saat Chaki bertemu banyak orang asing ditempat yang juga sama asing. Tapi Chaki pikir, kalau bersama Bima, dimanapun terasa seperti rumah. Hanya saja itu mampu ia ucap dalam diam sambil rasakan jantungnya gemetaran dan hati kesemutan.
Mereka sampai di depan rumah sederhana milik Bima dan keluarganya. Kalau dibandingkan dengan miliknya tentu jauh berbeda, tapi Chaki tak pernah menganggap besar suatu rumah jadi tolak ukur untuk rasa nyaman.
Saat Bima ketuk pintu dua kali dengan salam lembut yang dihaturkan, seorang wanita paruh baya dengan kerutan samar dibawah mata namun masih terlihat cantik pesonanya, membukakan pintu.
Itu Ibu Bima.
Chaki tersenyum kikuk saat disapa, suaranya terdengar gagap ketika menjawab, apalagi saat Ibu Bima menangkap basah genggam mereka yang belum terlepas. Tertawa geli saat lihat respon gelagapan Chaki, sedang Bima hanya terseyum saja.
“Ibu aku cerewet banget, semoga kamu gak pusing.”
Itu adalah kalimat yang Bima ucapkan saat di bus tadi, dan memang tidak ada kebohongan disana. Setelah beri bingkisan yang mereka bawa—brownies cokelat buatan Chaki yang sudah berhasil, Ibu Bima langsung ke dapur dan menyajikannya untuk mereka makan bersama teh hangat dan camilan lainnya.
Chaki sedang memerhatikan rumah Bima yang terasa hangat dan nyaman meski sederhana, saat Ayah Bima keluar dari kamar dengan kursi roda yang di dorong Bima. Juga Adik Bima yang keluar kamar mengucak mata, sepertinya terbangun karena suara berisik yang mereka cipta.
Detik itu Chaki menyadari bahwa rumahnya tak pernah seramai ini, tidak hangat juga terasa penuh kasih sayang. Chaki jadi tahu mengapa Bima punya sifat sabar tak bertepian juga senyum teduh menenangkan. Sebab Bima punya keluarga harmonis yang hangat kasihnya bahkan bisa orang luar seperti Chaki rasakan.
“Panggil Ibu aja,” Ibu Bima mengusak pelan rambut Chaki saat ia beberapa kali memanggil tante, Chaki melirik Bima seolah minta persetujuan dan diberi anggukan. Ibu Bima yang melihatnya kembali menggoda dengan bilang bahwa Chaki tak perlu izin Bima segala.
Tawa mengudara, bersama Chaki yang merasa asing dan familiar secara bersamaan saat bibirnya terus menyebut Ayah, Ibu dan Adik Bima dengan panggilan yang biasa Bima gunakan. Chaki rasa dia punya keluarga lengkap lagi, meski ini bukan miliknya, tapi Bima bilang bisa anggap keluarganya sebagai keluarga Chaki juga.
Ibu memeluk Chaki saat ia tak sengaja menangis diantara tawa menguar, juga secangkir teh hangat yang sudah lewat tenggorokan dan puding cokelat kesukaan Mamanya, dulu. Usapan pada punggungnya terasa menenangkan, seperti pelukan Mama yang hangatnya tak tergantikan.
“Chaki bisa anggap Ibu ini Mama kamu, kalau kamu lagi kangen,” airmatanya diusap lembut telapak Ibu yang terasa mengeras, mungkin akibat dipakai banyak kerja. Bima menatapnya dengan senyum teduh seperti biasa, berikan ketenangan sama lewat tatapnya, seolah bilang semua akan baik saja.
Beberapa jam dirumah Bima, buat Chaki seolah sudah kenal keluarganya sejak lama. Tadi, saat Ayah tahu Chaki pandai main catur dan punya lawan sepadan, senyum tak henti terkembang, apalagi saat Chaki berhasil buat Ayah kalah. Katanya, kalau Bima tak bisa main catur, hanya bisa buat suara gonjreng-gonjreng tengah malam di kamar. Chaki tak henti-henti tertawa karena Ayah punya humor yang bagus, atau memang Chaki yang punya selera humor bapak-bapak.
Pun Dek Rayyan yang sudah mau dekat-dekat dengannya, meski awalnya takut. Bima beritahu kalau Chaki baik dan mau kasih es krim kalau Rayyan baik. Jadilah ia ditempeli dengan pertanyaan; kapan aku dibeliin es krimnya, Kak? Buat Chaki mendelik marah sebab Bima menjerumuskan adiknya, Rayyan sedang pilek saat ini.
Satu hal lagi yang Chaki baru tahu setelah main kerumah Bima adalah panggilannya dirumah; Mas.
Awalnya Chaki tak begitu memerhatikan panggilan itu, sampai Ibu beberapa kali bercerita sambil ucap; “Maaf ya, Cha, rumah Si Mas sama Ibu mah jelek, berantakan ya?”, “Si Mas mah memang begitu, Cha. Pasti anaknya cuek banget ya kalau disana?”, “Kok kamu mau sih temenan sama Si Mas, dia anaknya tuh gak asik. Kira Ibu cuma Yosha aja yang mau temenan sama Mas Bima.” dan lain sebagainya, yang hanya bisa Chaki tanggapi dengan tawa.
Chaki punya cerita bahagia, hari ini. Yang ia dapati bersama Bima, lagi. Chaki pernah punya hari-hari paling buruk dalam hidup, tapi Bima seolah pijar dalam redup. Menawarkan cahaya tanpa pamrih dalam hidup. Chaki temui bahagia, tapi ragu apa bisa ia terus rasakan ini bersama untuk waktu yang lama?
Langit-langit kamar jadi bahan tatap dua orang berbeda tinggi ini. Yang lebih jangkung relakan tangan kanannya jadi bantalan yang lebih kecil. Mereka berencana pergi tidur setelah makan malam dan lewati hari menyenangkan yang juga melelahkan. Besok pagi mereka pulang, jadi harus punya tenaga yang banyak.
Mereka tidur bersama karena tidak ada cukup kamar untuk tampung Chaki, juga tak mungkin biarkan Chaki tidur di sofa depan. Jadi mereka harus tidur berdua diatas kasur yang sama, yang mana sudah terlalu sering mereka lakukan.
Bima sudah beri tepukan pada sisi lengan, juga usakan halus pada kepala, tapi Chaki belum mau jemput alam mimpi. Ada banyak hal dikepalanya yang ingin ia sampaikan, terutama tentang ucapan terimakasih yang rasanya tak cukup hanya sekali diucapkan.
Ditengah hening juga hembus napas mereka, serta detak jantung yang iramanya lama-lama menenangkan, Chaki buka suara,
“Mas Bima..” katanya pelan, murni ingin menggoda dan menarik perhatian Bima. Yang mana tanpa Chaki sadari itu berhasil buat Bima berhenti bernapas, karena jantungan tiba-tiba.
“Kok diem aja, Mas?”
Dipanggil seperti itu malah buat Bima ingin gila. Bagaimana ya beritahunya, seperti ada serangan bom dadakan dalam hatinya. Meledak dan luluh lantak.
Saat lengannya digoyang Chaki karena tak dapat jawab, Bima hanya berdeham karena tahu pasti suaranya akan tergagap kalau bicara.
Chaki memutar tubuhnya, menghadap kiri kearah Bima sepenuhnya. Diambilnya sisi wajah Bima agar ikut lihat wajahnya, kemudian tersenyum saat lihat wajah Bima yang terlihat memerah? Entah apa Chaki salah lihat.
Beri elusan pada pipi Bima saat tatap mereka terkunci satu sama lain, kemudian Chaki bicara lagi dengan segenap kesungguhan, “Makasih banyak, untuk semuanya.” katanya lembut, bicara tepat di depan wajah Bima.
“Semua yang udah Bima kasih ke Chaki. Semua termasuk pengalaman-pengalaman ini. Chaki suka Ibu Bima, suka keluarga Bima, suka semuanya. Makasih ya, Mas,” Chaki tersenyum lagi, lembut dan manis tanpa tahu wajah Bima makin memerah dibawah temaram lampu yang untungnya menyamarkan.
Bima diam karena masih tenggelam, dalam tatap juga senyum tulus yang hangat serta panggilan biasa yang mendadak istimewa jika Chaki yang ucapkan. Sampai ia merasa tersihir ketika kepalanya bergerak maju, sedang tangannya menahan kepala belakang Chaki. Saat jarak makin dekat dan manik Chaki membola, Bima tersadar dan berhenti seketika.
“M-maaf Cha, aku...”
Belum sempat kalimatnya selesai, Chaki beri anggukan seolah lampu hijau, kemudian jemari gempal itu beri elusan halus lagi pada pipi Bima.
“Gakpapa kok, Mas.”
Jadi Bima tersenyum lagi sebelum kembali memajukan kepalanya, juga menahan kepala belakang Chaki dengan tangan kanannya yang tadi dijadikan bantalan, saat kemudian bibirnya bertemu manis bibir gemuk yang sering merajuk padanya.
Mereka berciuman.
Pada tengah malam, sebelum mereka menjemput mimpi. Di dalam kamar Bima, saat mereka menginap setelah Chaki bertemu keluarganya. Mereka berbagi ciuman manis yang hangat dengan rasa membuncah di dada.
Malam itu, Bima tidur dengan tenang juga tepukan di pipi. Sedang Chaki sibuk memerhatikan Bima lebih lekat lagi. Ciuman tadi, Chaki bisa rasakan getarannya sampai ulu hati. Chaki tatap Bima khidmat tanpa berkedip seolah memastikan sesuatu dan meminta kekuatan.
Dalam keyakinan yang ia bangun tinggi diatas es tipis, apakah berlebihan jika Chaki punya harapan dan ingin egois? Kali ini saja...
Chaki ingin bahagia dan ia tahu bahagianya ada pada Bima, maka bolehkan Chaki?