reason — bagian dua
Tidak ada yang pernah berakhir baik dari memendam. Memendam kebenaran, memendam perasaan, memendam sakit, memendam keinginan, memendam amarah.
Seperti menggores luka pada tempat yang sama. Memendam segala hal punya waktunya sendiri, dimana itu akan terasa sangat sakit dan tak mampu lagi untuk diabaikan. Sebab segala hal ada batasnya, sebab luka yang berdarah harus diobati.
Saera mengangguk pada Bima sekali lagi, mencoba meyakinkan cowok itu bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa memang sudah seharusnya mereka membiarkan Chaki dan Abangnya bicara berdua. Hela napas Bima kasar, ia mendekat kearah kursi Chaki sebelum kakinya melangkah keluar ruangan. Chaki mendongak kearahnya, ada jutaan rasa dari netra sekelam malam itu, membuat Bima ingin memeluk dan menariknya dari sana, tapi ia tahu bahwa ia tidak mungkin membiarkan masalah ini berlarut.
“Cha, bentar. Sebelumnya izinin aku ngelakuin satu hal,” Chaki masih diam, saat Bima berjalan mendekati Nico. Mencoba mencari tahu apa yang akan dilakukan Bima sesungguhnya.
“Bang, sori, gua harus ngelakuin ini dulu. Soalnya gua tau Chaki gak akan bisa, gua mewakilkan apa yang harusnya dia lakuin sejak lama,” Nico pun diam, mencerna.
Kerahnya ditarik Bima dengan kasar sampai ia harus berdiri. Tanpa aba-aba Bima menyapa pipinya dengan kepal kuat yang menghantam tulang pipi. Saera berteriak kecil. Chaki berjengit di kursinya, mencoba memanggil Bima yang kini semakin gencar memukul wajah Nico tanpa ampun. Tidak ada perlawanan, bahkan saat perutnya terasa nyeri karena pukulan itu sudah berpindah. Nico bisa merasakan bibirnya robek, lebam pada pipi juga perutnya yang nyeri, namun tak ada niatan untuk membalas Bima. Ia memang lebih dari pantas untuk menerima ini semua.
Nico bertanya-tanya, sedalam apa luka yang telah ia tancapkan pada sosok rapuh yang kini kabur dalam pandangan, sebab matanya sudah bengkak akibat pukulan Bima yang tak main-main. Nico menerka-nerka, sakit seperti apa yang Chaki bagi pada Bima, sampai cowok itu rasanya bisa membunuhnya saat ini juga kalau tidak karena Chaki yang memintanya berhenti. Dari segala duganya, Nico yakin semua ini belum seberapa, barangkali ia pantas mendapatkan patah kaki atau paling tidak perawatan di rumah sakit dua minggu penuh.
“Aku ada di depan, kalau kamu butuh. Kamu tenang aja, ada aku, Cha, ada aku,” kalimat itu terus terulang dalam kepala Chaki, sebelum Bima benar-benar menghilang dibalik pintu bersama Saera yang panik melihat jemari Bima yang berdarah-darah dan bilang akan segera mengobatinya. Keheningan kembali melanda kedua saudara kandung ini.
Senyum Nico terasa sangat menyakitkan sebab diiringi ringisan. Chaki memandangnya, Nico tak tahu itu apa, tapi rasa rindu yang sudah dipupuk bertahun lamanya membuncah dan membumbung dalam hati. Keinginan untuk memeluk adik kandungnya serasa mencekik, air mata menerobos tanpa diperintah. Memberi rasa sakit lain, saat alirnya melewati luka di matanya yang bengkak dan bibirnya yang robek.
“Hai, Cha? Abang harap bisa berpenampilan lebih baik waktu kita akhirnya bisa ketemu,” Nico berkata, menggerakan bibirnya perlahan karena sumpah ini sangat ngilu.
Tidak ada respon dari Chaki yang sibuk mencari sesuatu dalam tas selempang kecilnya. Nico memaklumi.
“Kabar kamu gimana? Baik? Lagi persiapan ujian ya?” lanjutnya kembali. Sesulit ia berkata sebab sakit yang dirasa, ia tahu memang usahanya harus sepadan dengan seluruh rasa sakit yang pernah ia torehkan.
Alih-alih menjawab, Chaki menyodorkan beberapa lembar tisu kepada Nico.
“Darahnya masih ngalir, harus diobatin, di lap dulu pakai tisu.”
Kalimat itu patah-patah dan terasa kaku, tapi air mata Nico tidak bisa mengkhianati perasaannya sendiri. Nico benar rindu sampai ingin mati, Nico benar ingin menariknya dalam dekap meski itu harus menyembah kaki adiknya dulu. Suara lembut itu, sudah hampir tiga tahun ia tak pernah mendengarnya. Nico menangis sampai sesaknya ikut hinggap pada dada, di depan Chaki. Melupakan sejenak tentang predikat mahasiswa berwibawa, kebanggaan, juga predikat lainnya di kampus. Sebab Nico pada akhirnya adalah manusia biasa, yang rindu rumah juga tempat pulangnya. Merindunya sampai ia juga punya sakit yang sama yang selalu ia pendam sendirian.
Air mata Chaki ikut luruh, buru-buru ia hapuskan. Tangannya mengelap darah segar yang masih keluar dari sudut bibir Nico. Gerakan tangannya terhenti saat Nico membawa kedua telapaknya dalam genggam yang gemetar, meragu, namun penuh kehangatan. Hangat yang bertahun-tahun sudah hilang dalam kamus mereka berdua. Chaki diam memandangi tangannya, kemudian matanya naik menatap netra yang sama kelam dengan miliknya, netra yang meredup dengan genangan air di pelupuknya.
“Maaf, maaf, maaf, maaf. Chaki maafin Abang, Cha. Maaf untuk semuanya, maaf, maaf maaf, maaf..” kata itu meluncur, berkali-kali, kalau bisa ribuan kali. Dibawah napas Nico yang berat, disela ringis yang ngilu. Nico terjatuh, di hadapan Chaki, dengan tangis yang pecah hebat juga tubuh bergetar kuat. Seolah ia ingin menyembah agar diberi pengampunan.
Chaki ikut terduduk, perih hatinya melihat ini semua. Seperti apa yang pernah ia ceritakan pada Bima, ia tidak pernah benar-benar membenci Abangnya. Ia tidak bisa, sebab rasa sayangnya melebihi sakitnya luka. Maka Chaki peluk tubuh itu, memberinya hangat yang sebelumnya begitu asing untuk mereka bagi bersama. Memberitahu bahwa, biar seperti apapun sakitnya, maaf Chaki tetap akan mengalir tanpa syarat pada Abangnya.
Kemarau bertahun tersapu hujan satu hari. Barangkali hanya butuh kata maaf yang berani untuk menyembuh luka yang bekarat ini. Segala egoisme dan kebencian yang terpupuk, luruh terbawa air mata yang mengalir tulus dari kedua saudara kandung ini. Chaki tidak menyangkal, sakitnya masih disana, tetap ada, namun ada rasa lega saat hatinya mampu memberikan maaf yang Abangnya butuhkan. Seolah duri yang mengganjal telah mampu dibuangnya. Lukanya ada, tapi nanti biar diobati, perlahan-lahan.
Nico menceritakan semuanya, alasan sakit yang harus ia beri juga ia terima. Ia menyanyangi Chaki lebih dari dirinya. Tuntutan Papa begitu banyak pada Nico tujuh tahun, ia belum mengerti apapun tapi Papa memintanya mengerti sejak dini. Papa bilang dia harus jadi orang hebat, hanya orang hebat yang bisa menyelamatkan keluarga. Tanpa kemampuan dan kepintaran, kita tak bisa apa-apa.
Papa mendorong Nico berlari jauh, dengan kedua kaki kecil yang masih rapuh. Nico takut, tapi Papa bilang jika ia ingin melindungi Mama dan Adiknya, Nico harus. Maka Nico belajar mati-matian agar pintar, berusaha menjadi hebat seperti yang Papa minta, sebab katanya itu cara satu-satunya ia bisa menjaga Mama dan Adiknya. Tidak pernah tahu bahwa Papa mendikte hal yang berbeda pada Adiknya, membuat hidup mereka seolah dalam persaingan.
Nico tumbuh dan besar dalam rasa bangga Papa, juga bangga pada dirinya. Sebab ia pikir ia sudah mampu menjaga Mama dan Adiknya. Nico tujuh belas, menyadari bahwa apa yang Papa lakukan penuh ambisi juga egoisme. Papa pernah berkata bahwa orang malas dan bodoh akan membawa derita, tak ingin keluarganya mencecap itu semua maka berusaha sekuat tenaga adalah sebuah keharusan meski itu artinya mendidik kedua anaknya dengan keras. Tapi Nico menyadari, lama kelamaan semua menjadi salah dan melewati jalurnya.
Keinginan Papa benar, namun Papa sudah termakan ambisi. Nico tujuh belas, menyadari bahwa bukan melindungi, yang ia lakukan malah membuat Mama dan Adiknya tersakiti. Segala prestasi dan puja puji yang ia terima, rasanya hambar sebab tangis Chaki dan sakit pipi Mama yang Papa berikan karena katanya tak mampu mengajar Chaki dengan benar. Nico tujuh belas, menyadari bahwa ia telah dibodohi.
Papa suatu hari berjanji, berhenti bertingkah semaunya jika Nico bisa membawa nama baik keluarga, menjadi yang terbaik di kota nya dan sekolah ke luar negeri. Maka Nico kembali mencoba, belajar sampai rasanya mau mati. Saera menjadi saksi hidup bagaimana Nico pingsan saat ujian lalu ikut susulan. Bagaimana Nico mimisan saat jam pelajaran. Nico, tak sekuat itu. Tapi tujuannya tetap satu. Mama dan Adiknya, bahagia.
Nico delapan belas menyadari, bahwa ia adalah realisasi dari ambisius yang sesungguhnya. Sebab sibuknya ia belajar dan mengejar, membuat ia tak pernah dekat dengan Adiknya. Membuat ia tak tahu bahwa ia telah menggores luka. Hari dimana ia melihat Chaki mengepak baju-baju ke dalam koper kecil, ia menyadari bahwa ia tak pernah sesantai itu untuk bisa bertanya apa yang dilakukan Adiknya. Hari itu juga Nico menyadari, bahwa keluarganya jauh dari kata baik-baik saja. Ia, bukannya melindungi, tapi memberi retakan lebih dalam lagi.
Hari itu, Nico delapan belas, tahu bahwa ia merusak segalanya, juga kehilangan segalanya saat Papa memberi tampar pada Adiknya dan Mama yang pingsan karena sakit jantungnya. Nico delapan belas, ia tidak tahu apa-apa.
Hari yang harusnya membahagiakan, menjadi yang paling menyakitkan. Keinginan Papa agar ia sekolah di luar negeri menjadi mimpi buruk saat ia berada pada posisi ini. Dan saat ia harus pergi, saat itu juga Mama meninggalkannya, selamanya. Tanpa Nico yang bisa melihatnya untuk terakhir kali, tanpa Nico yang bisa mengucapkan perpisahan terakhir kali, tanpa Nico yang bisa menggenggam sosok yang melahirkannya untuk terakhir kali. Nico harus pergi, Papa bilang dunia masih berputar meski hidup kita serasa berhenti. Papa bilang Mama akan bangga atas apa yang telah ia lakukan ini.
Nico delapan belas, pergi. Dengan hati dan perasaan yang tercecer, mati.
Tangis Chaki memilukan, tapi peluknya yang hangat pada dada membuat Nico mengembang senyuman. Barangkali bukan hampir tiga tahun, tapi Nico sudah kehilangan Chaki sejak dulu, sejak lama sekali. Usakan pada kepala yang lebih muda ia berikan. Semuanya berat, berat bagi mereka harus hidup dalam prasangka yang menenggelamkan mereka tak ada habisnya.
Nico dua puluh satu, mengerti bahwa tujuan hidupnya menjadi hebat tak akan berarti, tanpa kasih dan sayang keluarganya sendiri.
“Udah ya, Cha. Kamu nggak capek?” Kepala yang ia usak menggeleng, tangisnya sesegukan dan terdengar sangat lucu ditelinga.
“Cha...”
“A-abang, Chaki kangen Abang,” pelukan pada dadanya mengerat, juga bajunya makin basah, tapi Nico belum pernah sebahagia ini. Jadi ia balas lebih erat lagi, mengucapkan maaf berkali-kali, juga kata rindu yang sebelumnya mencekik mati.
“Maafin Abang, Cha. Maafin Abang terlambat,” sebuah gelengan ia terima, Chaki kembali menangis.
Nico dua puluh satu, menyadari bahwa kebahagiaan saat ia bisa dengar tawa Chaki sebab ucapannya lebih dari perasaan menjadi yang terbaik bagi semua orang. Sebab untuk apa jadi terbaik bagi orang lain tapi tidak pernah jadi yang baik untuk keluarganya sendiri.
Nico dua puluh satu, tersenyum bangga di balik kaca. Saat mata Saera dan Bima melihatnya dengan berjuta rasa, tak tahu jelasnya apa, namun ada haru di sana.
Nico dua puluh satu, berjanji bahwa setelah ini, ia hanya ingin melakukan segala hal yang terbaik bagi Chaki. Pada satu-satunya hal yang harus ia bahagiakan dan lindungi dari keegoisan Papa.
Nico dua puluh satu, menyanyangi Chaki sepenuh hati. Dan rasa rindu yang mencekik mati juga masih menemani. Sebab Nico butuh Chaki sebagai rumahnya pulang, lagi.