reason — bagian satu


Telapak hangat makin mengerat, melingkupi jemari yang lebih mungil dalam genggaman. Langit gelap membentang dengan taburan bintang yang berkelip malu sepanjang jalan, menemani langkah kedua orang yang berkutat dengan pikiran masing-masing. Remasan yang posesif dan keringat yang mengalir dalam genggam mengundang kedua sudut bibir Chaki terangkat naik. Bukannya tak sadar, sejak sore Bima terlihat lebih uring-uringan ketimbang dirinya sendiri. Meski tersenyum geli, ada perasaan hangat yang lamat-lamat menyusupi hati. Bima tidak pernah menyadari, apa yang dilakukannya selalu membuat Chaki mendapat kekuatannya sendiri.

Jujur, Chaki sebenarnya sangat tidak siap untuk bertemu Abangnya, pun juga Saera. Anggap Chaki lemah, tapi hatinya tidak pula sekuat itu. Selalu ada rasa sakit yang menancap dalam, hatinya sudah lama remuk redam. Takut, Chaki takut tidak mampu mengendalikan dirinya. Seolah selama ini sudah berlari jauh sekali, hanya untuk mendekati sumber luka kembali. Sia-sia. Namun, tingkah Bima yang seperti ini membuat Chaki yakin akan satu hal; Bima disini, selalu disini untuknya. Maka Chaki pikir, apalagi yang harus ia takuti?

Saat kedua netra cokelat madu itu menatapnya dengan banyak perasaan yang bergumul jadi satu, Chaki mengangguk penuh yakin. “Bima jangan khawatir, aku—kita harus selesain ini, Bim.”

Dan saat sabit ikut terbit setelah senyum terkembang diakhir kalimatnya, angguk kecil Chaki terima dari cowok jangkung di depannya. Bersamaan pintu kayu cokelat yang terbuka dengan denting lonceng menyambut, Chaki yakin ini memang sudah waktu bagi lukanya dicabut.


Ruangan di sudut kiri kafe kopi milik Saera yang jauh dari keramaian pengunjung menjadi pilihan. Sepuluh menit berlalu, setelah kedatangan Chaki dan Bima, namun kesunyian makin kental melingkupi, menelan mereka dalam keterdiaman dan pikiran yang berlarian.

Dibawah meja, telapak Bima masih setia mengenggam, meski matanya kini menatap tajam pada cowok yang duduk di sebelah Saera, tepat di depannya. Seseorang yang baru pertama kali bisa membuat dirinya begitu marah, meski mengenal pun tak pernah. Seseorang yang memancing jiwa pemberontaknya, bahkan tanpa pernah bersapa. Seseorang yang sangat ingin ia buat tak mampu berjalan lagi, tanpa alasan pasti.

Abang Chaki.

Merasakan ketegangan dalam tiap-tiap tarikan nafas di ruangan ini, Saera berdeham.

“Jadi, mau minum apa? Aku udah nanya tiga kali loh, aku bawain apa aja ya kalo gitu,” Saera bersuara, getarnya merambati kesunyian yang seolah mencekik mati. Suaranya ia buat senatural mungkin, meski jauh di dalam hatinya, ia resah.

Matanya melirik Nico, cowok itu tersenyum kecil padanya, Saera mengangguk dan berjalan menjauh. Merasa bahwa Bima yang kini sudah bersandar malas pada kursinya, nampak acuh dan Chaki yang sejak kedatangannya masih setia menunduk, tidak akan menjawab pertanyaannya.

“Cokelat,” adalah kalimat pertama yang keluar dari bibir gemuk Chaki setelah diamnya yang tak berujung. Semua mata memandangnya kini, termasuk Saera yang langkahnya berhenti mendadak.

“Y-ya? Cha?” Saera tidak tahu bahwa suara yang dikeuarkannya sampai bergetar begitu ia mendengar Chaki bicara padanya.

“Bima gak bisa minum kopi, tolong bawakan dia cokelat hangat.”

Saera mengangguk cepat, setelah kata ya ia lontarkan. Sementara Bima, genggamnya tak sekalipun terlepas diantara tatap nanar penuh kerinduan yang Nico berikan pada Chaki yang kini menunduk kembali.

Pada akhirnya mereka menyadari, memaafkan dan menghapus luka yang sudah bernanah termakan usia butuh persiapan lebih lama. Sebab luka yang ditabur garam air mata dan perih ketakutan, tak mudah untuk dilenyapkan.