amelweiss

Oekejebhe


CW // NSFW 🔞🔞🔞

Tags: Newly Wedding Couple. Fluff and Smut. Hurt/Comfort. Mention of Insecurities and Unworthy Feeling. First Time. Top Jeon Jungkook. Bottom Park Jimin. Anal Fingering. Rimming. Nipple Play. Hand Job. Coming Untouched. Anal Sex. Multiple Orgasms. Praise Kink. Vanilla Sex. A Lot of Kissing. 7,4k Words.


Satu

Buah dari kesabaran, perjuangan serta usaha memang benar manis adanya. Tuhan tidak akan pernah menguji setiap manusia di luar batas kemampuan. Barangkali, jika kamu diuji secara terus menerus dan semuanya makin hari makin terasa sulit namun masih bisa dilewati, itu artinya Tuhan percaya bahwa kemampuanmu sesungguhnya lebih dari apa yang kamu ketahui. Sebab Tuhan Maha Mengetahui segalanya.

Chaki merasakan sendiri. Bagaimana dirinya yang kerap menyerah pada hidup, berkali-kali terbanting oleh keras dan pahitnya kenyataan, namun Tuhan tetap beri ia ujian lagi dan lagi. Hebatnya, Chaki bisa lewati semua itu. Meski harus berdarah, meski terkoyak, meski kadang hancur di perjalanan. Tapi, pada akhirnya Chaki selalu temukan lagi terowongan untuknya berjalan. Bersama pijar yang membantunya merangkak keluar perlahan. Menuju cahaya. Menuju apa itu yang orang-orang sebut sebagai bahagia, hasil dari segala jerih dan upaya.

Kebahagiaan masing-masing orang ada beragam jenis dan wujud. Entah dalam bentuk pencapaian, pengakuan, hadiah, maupun bentuk bahagia lain yang tak dipahami orang lain. Pun Chaki yang punya bentuk bahagianya sendiri. Terlahir dalam satu kesempurnaan yang tidak pula sempurna. Realisasi harapan yang tak henti ia langitkan setiap kali kepalanya sejajar dengan telapak kaki—egoisme setara dengan kerendahan hati, dalam sujud setiap hari. Hadir dalam wujud Bima.

Jika mengibaratkan Bima sebagai sesuatu—selain kebahagiaan, maka Chaki tak bisa menjelaskan. Bukan berarti seluruh hal yang ia miliki adalah bukan bahagia; entah keluarga, teman maupun sanak saudara. Namun, Bima adalah bentuk bahagia yang sejak dulu ia damba. Bentuk bahagia yang tak mampu digeser siapa pun. Cukup Bima saja, ia tak butuh yang lain sebab Bima saja sudah lebih dari cukup untuk dirinya.

Kesalahannya selama ini dalam memaknai hidup membuat Chaki sadar bahwa Tuhan tidak menguji umatnya tanpa alasan. Tidak serta merta ingin lihat umatnya menderita tanpa cecap bahagia. Hanya saja, ia yang tak mampu menerjemahkan sikap seperti apa yang harus dilakukan untuk menghadapi situasi ini atau itu. Lantas Bima ada di sana. Sebagai hadiah, sebagai pelita, sebagai pijar yang menemaninya melewati lorong gelap menuju cahaya.

Bahkan saat keputusan besarnya untuk meninggalkan pijar itu pun, Chaki masih bisa merasakan cahaya di dalam hatinya, menuntunnya perlahan untuk berdiri dan berjalan dalam tiap-tiap langkah yang pasti. Maka tidak salah jika Chaki menyebut Bima adalah bahagianya yang berwujud, karena Bima adalah itu semua, bahkan melebihinya.

Sabarnya yang tak bertepian, kelembutan yang selalu dihaturkan, kerap kali membuat Chaki berpikir bahwa kebahagiaan seperti ini tidak pantas ia terima dalam hidup. Bima terlalu berlebihan untuknya. Pemikiran tentang tahu diri mampir ke otaknya. Apalagi sejak mereka berpisah karena sebuah keharusan menurut Chaki. Bima sudah berada di puncak, sedangkan ia masih belajar berlari.

Waktu lima tahun cukup membuat Bima yang sudah terlatih lewati berbagai bentuk medan juga terjal bebatuan untuk mendaki ke atas. Meski mungkin ada kesulitan baru yang asing, tapi Bima adalah si kuat dan teguh yang tak akan mundur begitu saja. Sedang Chaki masih harus meraba, memahami pelan-pelan, juga sembuh secara perlahan. Lima tahun bukan waktu yang lama, juga bukan sebentar. Tidak cukup buat Chaki berlari, tapi mampu buat ia berjalan santai tanpa tertatih.

Dua

Hadirnya Bima dalam hidupnya—sekali lagi, buat ragu dan ingin berbenturan. Chaki ingin Bima untuknya, hanya untuk ia sendiri. Tapi rasa kecil itu datang kembali, menyuruhnya untuk tahu diri, ia bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Hanya seseorang dengan cacat sana sini yang sudah berani tinggalkan luka yang dalam pada hati Bima. Buat Bima kecewa setelah seluruh usahanya beri Chaki segala yang mampu dibaginya.

Tapi benar adanya, Bima adalah pemilik sabar tak bertepian itu, pemilik kasih tak berakhiran itu. Bahkan setelah segala yang ia lakukan, setelah kesulitan yang ia berikan pada produser muda itu, Bima tetap dengan cuma-cuma membuka tangannya lebar-lebar. Sanggup mendekapnya kembali dalam kehangatan yang melingkupi. Seolah maaf bukan hal sulit, apa pun itu pemicu salahnya. Bima kembali merengkuhnya, dalam kasih sayang yang berhamburan.

Chaki pernah bertanya tentang lima tahun Bima tanpa kehadirannya. Tidak ingin besar kepala bahwa ia bisa berpengaruh besar pada diri Bima, tapi ia sadar luka yang diberikannya mampu menyakiti juga. Penjelasan Bima buat Chaki menangis semalaman. Memerlukan dekap sang produser muda pada tubuhnya sejak petang membentang ke penghujung hari yang kelam. Mereka menghabiskan waktu berdua di apartemen Chaki beberapa hari. Berbagi apa-apa yang sudah mereka lewati satu sama lain.

Tidak ada satu hari pun Chaki mau angkat kaki dari pikiran Bima, begitu pernyataan yang keluar dari mulut produser muda itu. Setiap hari menjalani hidup dengan meneguhkan hati serta kepercayaan yang mulai patah. Bima tak sekuat itu. Ada waktu-waktu di mana ia menyerah dan memilih untuk membenci Chaki yang menghilang tanpa kejelasan. Meratapi luka-luka yang terbaret sepanjang dada. Bukan satu dua orang yang bersedia menyembuhkan luka Bima. Banyak. Ada banyak perempuan dan laki-laki di tempat kuliahnya dulu mencoba untuk mendekati. Dari semuanya satu yang paling menonjol. Namanya Indira. Rupanya seelok namanya. Kebetulan berasal dari Negara kelahirannya pula, Indira mahasiswi dari Indonesia.

Gejolak rasa tidak mengenakkan merambat naik ke dada Chaki selama mendengarkan cerita Bima. Hatinya tercubit-cubit oleh sesuatu tak kasat mata. Tidak mengerti mengapa bisa sesak begitu saat Bima menceritakan bagaimana kedekatannya dengan perempuan bernama Indira. Jika dibandingkan dengan perempuan itu, Chaki tak punya apa-apa. Sebab bukannya menemani Bima melewati masa sulit seperti yang Indira lakukan, Chaki justru si pemberi kesulitan itu sendiri. Air mata Chaki tak bisa dicegah saat Bima mengatakan bahwa Indira pernah terang-terangan mengungkapkan perasaan, hal yang juga Chaki tak mampu lakukan karena keterbatasannya dalam mengartikan rasa.

Usapan lembut pada bekas tangis, senyum hangat yang terukir apik di bibir Bima, juga kalimat; “Pada akhirnya aku sadar, aku nggak bisa. Aku memang sayang sama dia tapi hanya sebatas teman. Bahkan setelah semua yang udah Indira lakukan. Perjuangannya, kebaikan hatinya, perhatiannya, dia nggak berhasil buat kamu pergi dari sudut hati aku. Selalu ada kamu di sana, Cha. Di bagian terdalam yang gak bisa orang lain sentuh, di bagian yang udah aku lindungin sendiri secara nggak langsung. Selalu kamu dan cuma mau kamu, katanya hatiku sih, gitu,” berhasil buat Chaki lega. Seolah beban berat yang menggantung di pundaknya terhempas angin.

Tawa gemas Bima menguar sementara dengan lelehan air mata Chaki yang menganak sungai. Tidak bisa berhenti. Bagaimana Bima bercerita tentang usahanya untuk melupakan dan membenci Chaki berakhir sia-sia, karena di sudut terdalam hatinya ia masih mengamini segala doa, juga mengimani kemurahan hati-Nya. Perihal ia dan Chaki. Jika tak bisa di hidup yang ini, barangkali Tuhan mau ia rayu untuk kehidupan yang lainnya lagi, supaya mereka bisa bersandingan kembali.

Chaki pernah punya hari-hari berat, pun juga Bima. Tapi kehadiran satu sama lainnya—meski hanya dalam bentuk kenangan yang tersimpan cantik di sudut kepala, jadi kekuatan mereka. Bima pulang ke rumahnya, juga Chaki yang mendekap erat bahagianya. Mereka sudah tercipta seperti itu. Tuhan mau bermurah hati pada mereka karena kesabaran yang mereka rangkai bersama. Jadi, tidak perlu menunggu kehidupan yang selanjutnya, mereka dibiarkan kembali bersama dalam hidup yang ini. Hidup yang sedang mereka jalani.

Bersama dalam ikatan yang jelas, menjadi keputusan mereka. Butuh berhari-hari setelah beberapa tahun untuk menyadari bahwa yang mereka butuhkan selain saling mengasihi adalah sebuah ikatan. Ikatan tegas untuk mengklaim bahwa mereka adalah milik satu sama lain. Bima-nya Chaki memiliki satu arti dengan Chaki-nya Bima. Tenang dan lega tak bisa tergambarkan di hati meski Bima akhirnya tetap harus kembali, meninggalkan Chaki demi pekerjaannya. Namun, ikatan itu membuatnya punya keyakinan yang berbeda. Kali ini tak ada keraguan, sebab Chaki hidup dalam hatinya, dalam hidupnya, dalam dirinya. Chaki adalah miliknya.

Tiga

Pada suatu hari Bima merasa bahwa ikatan itu belum kuat. Kepemilikannya masih bersifat sementara. Predikat kekasih saja tidak cukup. Semakin jauh mereka, semakin besar pula rasa ingin memiliki Chaki secara utuh. Jadi, ia mengutarakan ingin hatinya pada Ibu dan Ayah. Meminta pendapat tentang seperti apa yang seharusnya dilakukan. Tentu orang tuanya mendukung niat itu tanpa kurang-kurang, apalagi yang ingin ia kejar, kata orang tuanya.

Serpihan yang digenggam tampak sudah aman, tapi bisa saja tercecer kembali. Tidak ingin serpihannya dibawa pergi lagi, Bima menguatkan tekadnya, setelah segala dukungan juga bantuan orang tuanya. Bima menghubungi Papa dan Bunda Chaki, menjelaskan maksud dan niat hati. Membawa pada jenjang yang lebih tinggi ikatan yang ia dan Chaki punya. Sambutan hangat juga suka cita semakin meyakinkan Bima. Benar, ini sudah jalannya. Chaki-nya, miliknya, sebentar lagi akan menjadi utuh.

Kepulangan Bima saat Chaki sudah lulus dari delapan belas bulannya menjalankan koas, menjadi hari di mana ia melamar calon dokter itu dalam keharuan dan keharusan yang benar. Bukan main-main seperti pesan yang mereka tukar tempo lalu. Sebuah kata ya yang sebenarnya Bima tahu akan ia dapat, tetap berhasil buatnya menangis. Sesuatu tentang Chaki-nya selalu berhasil buatnya sentimental tanpa alasan yang jelas. Terasa utuh, meski belum sempurna.

Empat

Pusara milik Mama pagi ini terasa dingin. Sedingin cuaca pagi dengan embun-embun yang terbentuk cantik. Isak-isak angin membawa bau segar itu ke penghidu. Seolah menyambut suka cita kedatangan sepasang insan yang separuh resmi dalam ikatan. Tangan mungil Chaki dengan cekatan menyirami air dari atas ke ujung pusara Mama. Menabur bunga-bunga dengan bau pandan yang enak sepanjang bekas air pada tanah yang basah tadi. Sebuket krisan putih tak lupa diletakkan di atasnya. Chaki berdoa dengan khidmat. Matanya tertutup, meresapi bagaimana perasaan dan harapannya kini bersisian. Di sampingnya, Bima mengikuti. Mengirim doa pada Almarhumah Mama Chaki, kelak akan berganti jadi Mamanya juga.

“Chaki minta restu, Ma,” suara Chaki membelah sunyi kompleks pemakaman ini. “Bima, teman Chaki yang dulu pernah kenalan sama Mama, mau mengikat Chaki dalam ikatan yang lebih sakral. Tetap sebagai teman tapi yang menemani sepanjang hidup sampai ajal.”

Hening menyelinap di antara keduanya. “Kalau Mama di sini, Chaki yakin Mama akan suka dia juga, seperti Chaki.” Ada jeda sejenak, tarikan napas kuat-kuat dilakukan Chaki supaya tidak menangis di depan pusara Mama.

Usapan tangan Bima pada punggung sedikit banyak membantu. “Chaki yakin Mama bisa liat Chaki dan mau liat Chaki bahagia. Sekarang Chaki udah bahagia. Mama bisa tenang karena Bima bakal gantiin Mama jagain Chaki, dia—”

Chaki tidak tahu bahwa obrolan satu pihaknya pada pusara Mama membuat sisi rapuhnya keluar. Dia menangis tanpa bisa lanjutkan permintaan izinnya pada Mama.

“Tolong restuin kami, Ma. Saya akan jaga Chaki sepenuh hati saya. Saya janji akan buat dia bahagia seperti apa yang selalu Mama upayakan dan harapkan untuk Chaki. Saya minta izin untuk bisa memiliki dan mencintai Chaki seutuhnya. Saya minta izin untuk mencuri cintanya Chaki juga dari Mama. Meminta Chaki untuk berbagi, meski Mama tetap punya porsi besar tersendiri. Dengan segala kurang dan buruknya saya, saya butuh Chaki untuk melengkapinya, Ma. Semoga Mama ikut bahagia bersama kami.” Kalimat sambungan Bima mau tak mau buat Chaki makin menangis dan berakhir dalam pelukan Bima.

Pagi itu kicau-kicau burung bersahutan. Bersama desau angin yang berembus memberi sejuk bagi jiwa-jiwa lelah yang telah jauh mengembara. Seolah alam memberi tanda. Restu untuk mereka berdua, sepasang insan dengan keinginan kuat untuk bersama. Alam ikut bersuka cita.

Lima

“Kamu ngapain?” Chaki bicara setengah berbisik. Mematai bagaimana dengan mudahnya Bima mencoba masuk kamarnya dengan memanjat tangga di luar jendela. Produser muda itu seperti menghiraukan dinginnya angin malam menusuk tulang. Hanya mengenakan kaos oblong putih tulang dan jeans belel tanpa jaket atau mantel.

Hela napas lega, jendela kamar Chaki ditutup oleh Bima yang beri cengiran tak berdosa. Tungkainya melangkah ke arah kasur, kemudian duduk tanpa peduli tatap tajam dan menuntut milik Chaki yang menyoroti gerak-gerik calon suaminya itu tanpa mau berkedip.

“Apa?” Tubuhnya Bima rebahkan pada kasur luas sang calon dokter. Bergelung dengan selimut berbau lembut, persis seperti bau tubuh Chaki. Hangat kayu manis dan manis vanili. Nyaman dan menenangkan. Selimut ditarik paksa saat Bima masih membaui benda itu dalam-dalam, seolah kurang pasokan oksigen.

“Pulang sana, kamu ngapain ke sini coba? Nanti kalau ketauan, kamu diomelin Papa sama Bunda.” Tubuh bongsor itu beringsut dan ditegakkan. Bima menyerah juga diomeli Chaki.

Sumpah ia ingin mengutuk siapa pun yang dulu sudah mencetuskan ide gila tentang calon pengantin yang harus berjauhan sebelum menikah. Apa-apaan itu? Bima jadi tidak bisa memeluk Chaki dan merasakan geli yang menyenangkan saat si mungil mendusal-dusal di dadanya. Tidak tahukah bahwa ia rindu Chaki setiap hari dan rasanya seperti tercekik mati jika tak bertemu?

“Gak mau.”

Penolakan keras kepala itu terus keluar sebesar apa pun usaha Chaki untuk mengusir. Calon dokter muda itu mendesah dan memilih duduk di kursi belajar, menghadap Bima yang duduk di pinggir ranjang.

“Kamu kenapa? Ngapain nyetir tengah malam dari rumah ke rumah aku? Tiga jam loh jaraknya, Bim. Kamu nggak pakai jaket juga. Ini tuh jam satu pagi bukan satu siang. Bahaya tau nggak sih?”

Nadanya berbisik namun begitu tegas dan kejam. Satu sisi merasa marah karena calon suaminya yang membandel, tapi di sisi lain ia kasihan. Dari penampilannya yang awut-awutan ini Chaki paham bagaimana perasaan Bima. Ia pun merasakan hal yang sama namun masih bisa ditahan.

“Aku kangen, Cha.”

Tiga kata. Tiga kata biasa tapi cara Bima mengucapkannya seolah meminta seluruh dunia dan isinya lantas Chaki akan dengan senang hati memberikan. Cara Bima mengucapkannya seolah membuat Chaki merasa dibutuhkan di dunia ini lebih dari apa pun.

Hatinya bergetar dan mulai melunak.

“Kangen tapi kita nggak boleh ketemu.”

Chaki tersenyum. Bima yang manja adalah sisi lain kesukaannya. Ah, tapi ia tidak boleh lembek. Bima kelewat paham bagaimana cara menjinakan sisi galaknya. Produser muda itu tetap harus ditindak tegas.

“‘Kan memang begitu tujuannya, Bima.” Tangan Chaki menyilang di depan dada. Memperhatikan bagaimana si bongsor yang bersila di atas kasurnya itu protes mati-matian dengan ekspresi yang menggemaskan. Chaki jadi geli sendiri, inikah calon suaminya yang dulu sok berani menghajar Abang dan menemui Papa?

“Kata Bunda, kita nggak boleh ketemu dulu. Supaya pas ketemu nanti rasa kangennya beda, supaya kamu dan aku lebih—”

“Kangennya beda tiap hari kok. Tiap jam malah. Menit, detik, pokoknya kangen terus deh.”

Hela napas Chaki sarat frustrasi.

“Ini baru tiga hari, masih ada empat hari lagi. Dipingit juga melatih sabar, supaya kalau udah nikah kita bisa hargain hadirnya satu sama lain. Belajar untuk bersabar dalam rumah tangga. Bima, kamu nggak boleh nakal, ini tradisi, lho.”

Wajah memberengut itu mau tak mau buat Chaki tertawa kecil. Ia beringsut dan mendekati Bima yang sedang merajuk.

“Katanya juga biar pangling. Kalau nggak ketemu aku seminggu pas harinya nanti kamu kan lagi kangen-kangennya ke aku tuh, terus ngeliat akunya beda karena udah lama nggak ketemu. Jadi makin keliat—”

“Keliatan bersinar? Ganteng? Cantik?”

Chaki mengangguki pertanyaan Bima. Tangan yang lebih besar membawa tubuh Chaki mendekat padanya dan melingkupinya. Membalut tubuh kecil itu dengan tubuhnya yang dingin akibat terpaan pendingin mobil juga angin malam yang menusuk. Dihirupnya dalam-dalam harum kepala Chaki, turun ke pipi dan berhenti di leher. Harum tubuh dari parfum yang digunakan Chaki makin enak di bagian leher.

“Kamu cantik. Walaupun aku ketemu setiap hari, kamu masih dan akan tetap cantik. Nggak pernah berkurang, selalu nambah. Aku kangen, nggak perlu dijauhin. Liat setiap hari pun masih kangen. Soal sabar, kita udah latihan dari bertahun-tahun lalu. Tapi hari ini aku lagi kangen kamu yang beneran butuh peluk dan dengar suara kamu.”

Chaki mendongak, mempertemukan netra kelamnya dengan iris serupa kolam madu itu. Melihat mata Bima berkaca-kaca Chaki jadi tidak tega. Mungkin calon suaminya ini sedang mengalami hari berat. Chaki mengerti.

“Cha? Kamu belum tidur?” Suara Bunda dari balik pintu kayu cokelat mengejutkan keduanya. Chaki memberi isyarat supaya Bima tutup mulut.

“Ini mau tidur Bunda, tadi baru selesai bikin power point,” sahut Chaki.

Maaf ya Bunbun, aku bohong. Sedikit doang kok.

“Jangan malam-malam tidurnya ya, Sayang? Supaya badan kamu segar pas pagi bangun. Jangan begadang. Kamu harus rawat badanmu lho, kan bentar lagi nikah.”

Semu merah merambati pipi Chaki saat mendengar kalimat Bunda yang juga didengar jelas oleh Bima. Ia malu Bima tahu secara terang-terangan begini kalau ia tengah merawat diri demi pernikahan mereka nanti. Meskipun sebenarnya Bima pasti tahu.

“Iya, Bunbun.”

Suara langkah yang menjauh tidak lama terdengar setelah jawaban Chaki. Bima menjawil hidungnya dan meninggalkan satu kecup di sana. Sang produser muda menariknya dalam peluk kemudian mengajak tidur bersama. Bersikukuh meskipun Chaki menolak. Lama-lama Chaki jadi tidak tega mengusirnya. Bima kelihatan lelah entah karena apa, jadi ia menyerah saja. Membiarkan lengan Bima menjadi bantalannya, sedang lengan yang lain menarik pinggangnya mendekati tubuh si bongsor. Menempel satu sama lain meski masih bisa saling tatap.

“Apa?” Ditatap seperti kamu adalah makhluk langka yang baru saja turun ke bumi buat Chaki jengah juga.

I love you, makasih ya Cha udah mau nikah sama aku.”

Kecup dalam diberikan Bima pada kening Chaki. Begitu manis dan lembut, seperti bagaimana rasa familier itu menggelitik perutnya. Juga kehangatan yang perlahan hinggap pada dada.

Malam itu mereka tidur berdua, berbagi peluk juga kata cinta yang tak pernah habis untuk dihaturkan satu sama lain. Sebab sesungguhnya tidak akan ada satu orang pun yang tahu bagaimana rindu itu sendiri punya peran paling penting dan besar di antara keduanya. Seolah tak akan pernah habis. Mereka sudah terpisah bertahun-tahun, dan menelan rindu masing-masing secara bulat-bulat. Tanpa harus dipisah, bahkan saat sedang saling bertatap pun, rindu itu seolah belum cukup untuk ditumpahkan.

Enam

Terhitung satu bulan sudah Chaki menyandang status sebagai suami Bima. Pernikahan mereka berjalan lancar. Dengan banyak doa dan restu orang-orang tersayang juga para tamu yang hadir. Pada hari itu Chaki merasa menjadi orang paling bahagia, merasa sempurna. Seolah sebelumnya ia tidak pernah mengenal dua kata itu. Hari di mana ia menebar senyum pada semua orang yang hadir untuk menunjukkan bahwa ia sudah berada pada puncaknya, dengan seseorang yang ada di sisinya. Dengan suaminya. Bima.

Semua berjalan seperti bagaimana harapannya. Bima memilih berkarir di Indonesia, menemani Chaki yang melanjutkan program pendidikan spesialis kejiwaan selama empat tahun. Mereka tinggal di sebuah rumah sederhana yang Bima beli dekat pinggiran kota. Jauh dari Ayah dan Ibu serta Papa dan Bunda. Ingin hidup mandiri dan merasakan bagaimana merintis rumah tangga bersama, membangunnya dari bukan apa-apa.

Untuk menemani sibuknya Chaki selama program spesialisasi, Bima membuatkan toko kue kecil untuk Chaki jalani dari awal. Bunda dan Ibu sebenarnya sudah menawarkan untuk membuka cabang salah satu dari toko atau kafe mereka. Tapi Chaki menolaknya dengan halus, katanya ingin merintis toko kuenya dari bawah seperti ia menjalani rumah tangganya dengan Bima. Kemudian kedua ibu mereka setuju.

Keseharian Chaki sebagai seorang suami dijalani Chaki dengan baik. Melayani Bima, memasak, bersih-bersih rumah serta mengurusi segala keperluannya suaminya. Pengalaman ketika pernah tinggal satu atap bersama Bima ketika SMA dulu membuatnya tidak menemukan banyak kesulitan untuk tahu mau dan tidak maunya Bima. Semua benar-benar berjalan dengan lancar.

Kecuali satu hal. Ia dan Bima belum pernah melakukan itu.

Dalam hubungan antara suami, sudah selazimnya mereka berbagi kehangatan satu sama lain. Tapi, mereka belum melakukannya hingga saat ini. Bukan, bukan karena tidak ingin atau bagaimana. Bukan juga mereka sedang mengikuti suatu program atau sesuatu yang lain. Hanya saja Chaki belum siap. Sungguh, ia merasa gagal sebagai seorang suami. Tidak bisa melakukan tugasnya dalam melayani secara utuh. Bima memang tidak menuntut, bahkan menanyakan pun tidak pernah. Barangkali keraguan itu terpancar jelas di kedua mata sehingga Bima bisa membacanya. Lagi-lagi Bima memberikan banyak pengertian, sementara Chaki makin merasa bersalah atas hal tersebut.

Chaki tahu, betapa sulit usaha sang suami untuk menahan hasratnya sendiri. Bima laki-laki normal. Lagi pula bukankah salah satu tujuan dalam menikah juga untuk membuat suatu yang haram itu menjadi halal sebab mereka sudah punya ikatan yang sah di mata agama? Namun, Chaki sendiri belum memberikannya pada Bima. Memberikan apa yang seharusnya suaminya bisa dapatkan. Terkadang ada perasaan takut yang menggerogotinya. Takut Bima akan berpaling atau akan menyalurkannya pada perempuan atau laki-laki lain karena tidak bisa mendapatkan itu darinya.

Bukannya tidak ingin. Chaki punya hasrat sama besarnya. Lebih dari ingin untuk menjadi suami seutuhnya bagi Bima. Memberikan apa yang selama ini dijaganya sebagai hadiah bagi kesabaran suaminya itu. Tapi ia merasa malu, merasa kecil. Ia takut, sebab ia cacat. Chaki takut Bima akan kecewa ketika melihat banyak goresan luka pada tubuhnya. Takut kalau bekas-bekas luka yang melintang sepanjang betis, paha juga perut dan lengannya akan membuat Bima enggan menatapnya. Seketika ia mengutuki bagaimana tingkahnya dahulu. Merusak tubuhnya sendiri.

Ketakutan Chaki semakin menjadi-jadi meski sudah berbagi pada Hafiz dan Yosha pada suatu siang, di salah satu kafe milik Kak Saera. Kak Saera sendiri sudah beberapa bulan tinggal di California, menemani Abang yang dipindah-tugaskan ke sana enam bulan yang lalu. Mereka sempat datang untuk menghadiri pernikahannya dan Bima. Menetap selama seminggu untuk kemudian kembali lagi ke California.

Saran dari Hafiz yang sudah menikah dua bulan lebih dulu darinya, serta Yosha yang usia pernikahannya hampir setahun tidak ada yang mampu meredakan kecemasannya. Barang satu atau dua. Obrolan ketiganya tidak menemukan titik terang maupun jalan keluar. Sebab Chaki dan sifat rendah dirinya itu tak bisa dipisahkan dengan mudah. Mereka tidak memberikan saran apa pun lagi selain hanya mencoba menjelaskan pada Chaki bahwa Bima menerimanya apa adanya. Bahwa Bima adalah orang pertama yang tahu bagaimana Chaki yang dulu. Bima adalah orang yang mencintai Chaki tanpa tetek bengek lain. Cintanya sudah mutlak.

Hal itu setidaknya membuat perasaan Chaki sedikit lebih baik sampai hari menjelang sore. Tapi tidak berlangsung lama, karena ketika malam menjemput dan pesan singkat yang Bima kirimkan bahwa ia akan pulang sedikit terlambat dari studio membuat ketakutan-ketakutannya kembali menghampiri. Pesan yang mereka tukar sebenarnya penuh kata keharmonisan seperti biasa, tapi Chaki tetap merasa janggal dan takut.

Pikiran buruknya berbisik bahwa barangkali suaminya itu pulang ke rumah perempuan lain. Bisa saja mampir ke tempat di mana ia bisa menyalurkan hasrat yang tak bisa Chaki penuhi. Membayangkan potongan-potongan adegan jelek itu membuat Chaki menangis. Mengubur diri pada kerendahdirian yang sudah terlalu curam. Chaki tenggelam di dalamnya.

Tujuh

Malam sudah larut sewaktu Bima menghidupkan lampu ruang tamunya yang gelap. Suasana memang sepi sejak ia melangkah masuk ke dalam rumahnya. Tidak heran sih, sebab ini sudah pukul dua belas lewat lima, sudah tengah malam. Barangkali Chaki sudah tidur. Atau begitulah pikirnya. Tungkai jenjang melangkah pelan ke arah kamar, kembali menghidupkan lampu kamar dengan perlahan. Berharap tidak membangunkan suaminya. Ia membayangkan menemukan gundukan selimut dari tubuh mungil suami tercintanya. Alih-alih gundukan selimut yang ditemukan Bima adalah tubuh meringkuk Chaki di ujung kepala tempat tidur dengan keadaan bergetar ketakutan. Entah sejak kapan.

Rasa khawatir menyergap, membuat langkahnya semakin lebar menuju sang suaminya. Ada perasaan linu di hatinya saat melihat penampakan Chaki. Didekatinya, kemudian direngkuhnya dalam dekap, tubuh itu kembali bergetar hebat.

“Sayang, kamu kenapa?”

Bukan sebuah jawaban yang Bima dapat, melainkan pundaknya yang basah karena tangisan Chaki lainnya.

Tubuh kecil itu dijauhkan dari tubuhnya. Pipi basah yang kemerah-merahan diangkat dan direngkuh. Pemandangan memilukan dari wajah berlinang air mata, hidung merah yang mengerut lucu, mata bengkak serta bibir bergetar. Hati Bima teriris.

“Sayang, kamu kenapa? Siapa yang bikin kamu nangis?” Tangan Bima yang bebas dengan cekatan menghapus tiap-tiap lelehan yang kembali merembes dari pelupuk mata Chaki. Menciumnya dengan sayang kedua kelopak yang kelelahan menangis itu.

Satu kali kiri.

Satu kali kanan.

Pipi Chaki kembali diusap lembut, punggung juga tak luput dari usapan Bima. Sekitar lima menit tangis Chaki mereda berkat usaha Bima memeluk dan memberikan kata-kata penenang. Sang produser muda lebih memilih bungkam, menenangkan Chaki terlebih dahulu ketimbang bertanya apa pun.

“Jelasin ke aku, kamu kenapa nangis? Dimarahi konsulenmu lagi? Diusir? Atau ada apa di rumah sakit?”

Chaki menggeleng kecil.

“Terus kenapa, Sayang? Aku jantungan liat kamu tengah malam begini bukannya istirahat tapi nangis. Aku panik banget. Ayo bilang aku siapa yang harus aku ajak berantem?”

Kalimat tanpa jeda Bima, mengundang tawa kecil Chaki. Meski masih ada isak-isak di sana. Chaki merasa lega setelah hadirnya Bima, setelah dekap hangatnya. Rasa takutnya perlahan memudar.

“Aku gak papa.”

Tatapan curiga Bima bersambut dengan dua kecup pada pipi. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa, Chaki menyuruh Bima membersihkan diri dan berganti pakaian terlebih dahulu sebelum tidur. Seketika Chaki merasa jahat karena sudah berpikiran yang tidak-tidak tentang suaminya. Melihat wajah sarat khawatir itu, tidak mungkin suaminya tega untuk mengkhianatinya, bukan? Jadi ia putuskan untuk menceritakan resahnya pada Bima nanti. Selesai suaminya bersih-bersih.

“Aku udah jadi suami yang baik belum untuk kamu?” Chaki bertanya saat mereka berdua sudah terbungkus selimut dengan kepala bersandar di kepala tempat tidur. Kebiasaan ketika keduanya ingin mengobrol sebelum menjemput tidur.

Bima mengelus kepala Chaki, mata kecilnya terpejam menikmati. “Udah lebih dari cukup buat aku mah, nggak kurang-kurang. Kenapa kamu nanya gitu?”

“Aku nggak berpikir gitu.” Elusan Bima berhenti. Chaki merasakan pergerakan suaminya yang kaku, seperti tak terima.

“Kenapa kamu mikir begitu?”

“Karena memang aku belum jadi suami yang baik buat kamu.” Chaki mendongak, menatap cokelat madu di atas kepalanya. Hidung mereka bersentuhan dengan hangat napas Bima membentur wajahnya. Wanginya menenangkan, wangi pasta gigi rasa mint yang Bima gunakan.

“Kamu abis dengar omongan siapa, Sayang?” Bima bertanya.

“Kamu itu udah jadi suami terbaik, menurutku. Aku yang ngerasain. Kamu jangan suka jadiin diri sendiri untuk subjek penilaianmu atau orang-orang yang nggak punya standar baku, ya? Sayang, ya?” Mata Chaki terpejam saat embusan hangat itu menerpa wajahnya tanpa jeda. “Kasian loh kepalamu udah dipakai mikir keras selama program spesialisasi kamu, mikirin toko kue, mikirin masak apa untuk makan kita terus dipakai mikirin hal yang jawabannya jelas salah.” Chaki makin merasa tidak enak hati. Suaminya ini begitu mencintainya.

“Kita belum pernah ngelakuin itu, Mas. Aku belum ngelakuin tugas aku untuk ngelayanin kamu sepenuhnya. Belum menuhin kebutuhan lahir dan batin kamu secara penuh. Aku suami yang buruk, a-aku—”

Tubuh Chaki diangkat dengan mudah untuk kemudian berada di pangkuan Bima. Menghadap suaminya sepenuhnya.

“Hey… siapa yang bilang begitu ke kamu? Aku nggak pernah sekali pun—”

“Aku yang merasa, Mas. Aku sadar kalau aku kurang.” Kedua telapak mungilnya mencengkram dada Bima. Sementara manik kelamnya kembali menatap kedua netra berarus tenang. “Aku belum bisa ngasih apa yang seharusnya kamu dapat sebagai suamiku, aku takut….”

Kecup singkat mampir di bibir gemetar Chaki. “Nggak begitu, Sayang. Konsep pernikahan bagiku nggak seperti itu. Maaf karena seharusnya sejak awal—sebelum menikah kita udah ngobrolin hal ini. Supaya nggak ada kesalahpahaman. Maaf juga karena setelah menikah aku nggak pernah ngobrolin topik ini sama kamu. Aku boleh tau nggak siapa yang buat kamu akhirnya berpikir kayak gini?”

Chaki menggeleng dan menunduk dalam. “Aku sendiri. Aku-aku takut kamu berpaling karena aku nggak bisa kasih kebutuhan kamu. Aku takut kalau ternyata nggak becus ngelayanin suami.”

Hela napas Bima terdengar berat, membelah sunyi kamar mereka. Wajah Chaki diangkat untuk menghadap wajahnya. “Kamu kok bisa mikir kejauhan, Yang? Aku nggak mungkin berpaling dari kamu cuma karena masalah ini. Sayangku, Cha, dengerin aku ya. Dengerin aku sebagai aku, sebagai Bima yang bertahun-tahun lama kamu kenal dan sebagai suamimu.”

Anggukan kecil Chaki berikan.

“Chaki, tujuanku menikah sama kamu itu bukan sekedar soal ranjang atau soal keturunan. Tujuanku menikah sama kamu sesimpel karena aku mau kamu seutuhnya, buat aku aja. Aku mau jalanin hidupku yang entah sampai berapa lama ini dengan kamu. Apa pun keadaannya, bagaimanapun kekurangannya. Aku mau menjadi sempurna, karena kehadiran kamu di hidupku. Kita sempurna, untuk satu sama lain. Aku menikah sama kamu karena aku yakin kalau kamu adalah tempatku pulang dan istirahat. Nggak ada orang lain, bukan yang lain, karena aku cuma mau kamu, Sayang.”

Air mata Chaki mengalir lagi. Merasa makin buruk akibat prasangkanya sendiri. “A-aku takut. Aku takut, Mas.”

“Kamu takut apa, Sayang? Cerita sama aku apa yang kamu takutin, mau? Tapi kalau belum mau nggak papa, aku nggak nuntut kamu, nggak papa.” Dekap hangat kembali Bima berikan. Menenangkan Chaki dengan hangat dan kalimat-kalimatnya yang bersahaja.

“Sebenernya aku juga mau, Mas. Mau kasih kamu. Tapi aku takut kalau kamu akan kecewa. Aku cacat, Mas.”

Tubuh Chaki dijauhkan dan calon dokter kejiwaan itu bisa lihat kilat marah pada manik suaminya. Sang suami jelas tersinggung jika ia berkata seperti itu.

“Cha, aku nggak suka ya kalau kamu ngomong begitu, menghina fisikmu sendiri. Kamu nggak cacat. Bagian mana yang cacat? Kenapa kamu bisa punya pikiran seperti gitu ke dirimu sendiri? Aku aja bisa cinta kamu dan semua yang ada di diri kamu, Cha. Dan kamu pun harus seperti itu. Cintai diri kamu dulu.”

“Maaf, maaf, maaf. Aku ketakutan. Pikiran burukku datang terus. Takut aku nggak cukup buat kamu, takut aku mengecewakan, takut aku—”

Kata-kata Chaki terhenti begitu Bima membungkamnya dengan sebuah ciuman tiba-tiba. Ciuman yang mendominasi juga penuh kemarahan. Ciuman yang berbicara seolah Bima tak butuh apa-apa. Hanya butuh Chaki saja. Ciuman panjang penuh kerinduan, diselingi lelehan air mata keduanya.

Bima tidak menyangka selama sebulan ini suaminya masih berpikiran negatif. Masih sering berkecil hati. Sedikit banyak ini juga karena kesalahannya. Seharusnya mereka lebih terbuka lagi. Ciuman mereka berlangsung lama dan basah.

Delapan

Tubuh yang lebih kecil sudah telentang tak berdaya di bawah kungkungan sang suami yang kini sibuk menjilati tiap-tiap inci bagian tubuh yang terjangkau lidah. Sepanjang garis rahang sampai leher sudah berubah warna. Bima melukis dengan warnanya sendiri, di atas kanvas putih mulus milik Chaki. Baju sepasang suami ini masih utuh, hanya sudah berantakan tak berbentuk. Ciuman morat-marit yang mereka bagi membawa keduanya pada keinginan lebih. Terutama Bima. Sang produser muda ingin membuktikan bahwa dalam keadaan apa pun ia menginginkan sang suami masih sama besarnya.

Gerakan tangan Bima dihentikan Chaki saat berusaha melepaskan baju dari tubuh suaminya itu. Gelengan Chaki serta bibir bengkaknya yang digigit ragu seolah bilang jangan lihat aku. Namun Bima adalah si keras kepala, si lembut yang tegas. Jika ia bilang A maka itu harus A. Maka ia berusaha meyakinkan Chaki lewat tatapan mata, lewat sentuhan halus jemari pada wajah sangat suami, lewat kecupan manis pada dahi disertai bisikan halus bahwa semua akan baik-baik saja bila mereka saling percaya.

Lambat laun Chaki yang mulanya merasa enggan, memberi petunjuk agar Bima tak perlu lagi merasa sungkan meski hanya lewat anggukan. Lantas Bima menyingkap piama tidur Chaki dan seketika tubuh bagian atas Chaki terpampang sempurna. Kulitnya bersih meski banyak luka guratan di sana, melintang sepanjang bagian tubuh. Luka-luka sayat hasil dari banyaknya percobaan memutus nadi. Goresan di bagian pinggang pun ada, meski hanya sedikit. Lengan adalah tempat luka terbanyak, terutama pergelangan tangan.

Wajah Chaki dibuang ke samping, takut melihat reaksi Bima. Ketika tangannya diangkat dan diciumi dengan khidmat, ia baru berani melihat suaminya. Sedang terpejam menciumi seluruh bekas lukanya secara bergantian. Hatinya tersentuh, ia menangis dalam diam. Sungguh merasa buruk atas pikirannya sendiri. Kecupan-kecupan itu berubah menjadi jilatan dengan lidah, getarnya membakar gairah sampai atas kepala. Saat liur-liur panas milik Bima melumuri seluruh jari dan bekas luka di kedua pergelangan tangannya.

Bima merangkak naik ke atas, mensejajarkan wajahnya dan berbisik penuh cinta. “Kamu sempurna, bagiku. Ketidaksempurnaan kamu adalah sempurna, bagiku. Kamu lebih dari cukup, Cha.”

Chaki tidak begitu senang dipuji, pujian sama dengan ujian baginya. Tapi tidak jika itu keluar dari bibir suaminya sendiri. Chaki suka pujian-pujian yang biasa sang suami berikan kepadanya. Selalu terdengar tulus dan penuh makna. Lantas Chaki tidak pernah tahu bahwa pujian yang diberikan suaminya ketika mereka sedang bergumul di atas tempat tidur dapat memberikan efek berbeda. Selain senang, Chaki merasa terangsang, terbukti dari bagaimana tiba-tiba analnya mengetat dan terbuka antusias.

“Mash, ahh aah..”

Bukan tidak menyadari kalau Chaki akan bereaksi acap kali ia memuji suaminya itu. Bima akan mencatat ini sebagai hal penting yang harus dilakukan ketika mereka bercinta lagi.

Desah lemah lolos dari bibir merah bengkak calon dokter kejiwaan itu saat sang suami meniup telinganya seduktif dan mengulumnya. Memberi rangsangan-rangsangan yang dihantarkan dengan baik oleh sarafnya ke seluruh tubuh. Membuat sesak pada bagian bawah sebagai respons positif.

Jilatan Bima berpindah, ke pipi, ke belah bibir atas dan bawah yang sudah membengkak merah akibat pergulatan lidah bermenit-menit lalu. Bibir yang sudah menjadi candu sejak pertama mencicipinya pada enam atau tujuh tahun lalu. Bima membawa Chaki pada ciuman panjang lagi, sementara tangannya memeta seluruh tubuh bagian atas suaminya. Memeta tanpa terlewat setiap inci. Kulit kasarnya bertemu mulus kulit Chaki, membawa getaran layaknya sengatan listrik bertegangan tinggi.

Lenguhan kembali lolos saat gerakan tangan Bima tak sengaja mengenai puncak dada Chaki. Lantas ciumannya turun. Menjejak teritorial lain, memberi warna pada bagian lain serta menambah warna pada yang sudah berwarna.

Sementara tangannya sudah memilin puncak dada yang sudah mengeras, jilatan lidahnya pada bagian lain buat desah sang suami melagu begitu merdu. Celana Chaki ditarik dengan mudah menggunakan tangan lain yang bebas. Boxer itu sudah basah. Dengan satu tarikan kecil Bima berhasil buat Chaki telanjang utuh di depannya. Sempurna.

Lutut jadi tumpuan untuk berdiri, memandang dengan jelas dari atas bagaimana rupa Chaki tanpa sehelai benang yang menutupi. Ia berani bersumpah bahwa suaminya adalah indah. Barangkali indah merupakan kata paling sederhana. Sang suami sangat cantik, sempurna. Bima sudah tidak mampu temukan kata lain yang mampu gambarkan perasaannya.

Bagaimana luka gores itu menghiasi. Sepanjang betis lalu naik ke paha. Bima bisa rasakan berbagai emosi yang terselip dari tiap-tiap guratnya. Ia merasa haru, bagaimana suaminya itu takut ia kecewa karena luka-luka ini, karena cacat yang disebutnya. Daripada menyebut cacat, Bima lebih suka menyebutnya mahakarya. Sempurna dari ketidaksempurnaan. Sempurna yang berbeda.

Chaki kembali ciut, tidak berani menatap mata suaminya. Ia sudah pasrah saat tubuh telanjangnya terpampang. Si cacat ini sedang diperhatikan si sempurna, begitu pikirnya. Namun saat ia merasakan ciuman dari betis merambat ke pahanya, lagi-lagi Chaki tak mampu menahan perasaan hangat serta membakar. Ia tidak mampu menahan suaranya. Semakin menjadi-jadi saat sang produser muda menjilat dan menggigit paha bagian dalam.

U-ughh. Mas… Mas Bima ahh.

Kepala Chaki pening, saat ereksinya dilingkupi tangan hangat suaminya. Dipijat dari pangkal menuju ujung kepala yang mulai memerah, begitu terus beberapa kali. Ini gila, sungguh gila. Seumur hidup ia belum pernah menyentuh dirinya sendiri. Terpikirkan pun tidak. Tapi suaminya memberikan semua yang pertama ini begitu luar biasa. Lembut dan hati-hati.

Chaki sudah telanjang penuh sedangkan suaminya masih utuh. Sesaat Bima melepaskan genggamnya pada ereksi sang suami untuk melepaskan kain yang melekat pada tubuh. Menyingkirkan benda yang menghalangi sesak pada bagian bawah tubuhnya sendiri. Kini keduanya sudah sama-sama telanjang, memamerkan ketidaksempurnaan dan kesempurnaan satu sama lain. Chaki melihat jelas bagaimana tubuh suaminya begitu prima dan terjaga. Kulit kasarnya terasa menggairahkan saat bertemu kulitnya, urat-urat nadi yang menyembul pada lengan dan telapak tangan begitu seksi di matanya.

Bima bawa tubuhya mendekat. Melihat kilat nafsu pada mata sang suami. Tangan suaminya ia tarik lembut untuk menyentuh dada. Tentu saja Chaki tidak ingin buang kesempatan. Ia menyentuh dada telanjang suaminya dengan telapak, merasai bagaimana bentuknya.

“Suka?”

Anggukan malu Chaki berikan. Tentu ia suka, suaminya berkali-kali terlihat tampan dengan tubuh polos dan kulit gelap terbakar matahari yang kini terpantul cahaya bulan. Chaki mengaguminya. Tanpa tahu bahwa bagi Bima tetap Chaki-lah yang paling sempurna.

“Aku nggak berpikir kalau kita akan melakukan hal ini, dalam waktu-waktu dekat. Malam ini. Jadi aku nggak punya persiapan banyak, Cha.”

Chaki sudah tidak mau memikirkan perihal bagaimana caranya sebuah pelumas bisa ada di laci kamar mereka. Pikirannya sudah terbelah antara kewarasan dan keinginan naluriah.

“Kalau sakit bilang ya atau cakar aku aja. Aku nggak mau kamu menahan apa pun.” Kecup lembut mampir di kening Chaki.

Mengangguk, Chaki kemudian menurut saja saat Bima menyodorkan jarinya untuk ia kulum. Melakukan semuanya seperti anak penurut, anak baik. Mengulum jari sang suami dengan khidmat yang mana malah membuat itu terlihat erotis. Bima berani bersumpah, Chaki yang melakukan kegiatan panas dengan wajah malaikat tersebut membuatnya hampir gila. Susah payah ia menjaga waras agar tak bermain kasar sebab ini pertama bagi mereka. Gairahnya sudah diubun-ubun.

Chaki berbalik dan menungging. Agak malu tapi tetap menuruti permintaan suaminya, katanya agar semua bisa lebih mudah. Bokongnya diangkat tinggi-tinggi sesuai arahan, ia hanya merasakan dingin saat udara dari pendingin ruangan menerpa tubuh polosnya.

“Kamu indah banget, Cha.”

Chaki mendesis saat merasakan sesuatu yang dingin menyentuh lubang senggama.

Ahh! Mash… Mas Bima, ahh.”

Terhenyak kaget, Chaki menggelinjang saat merasakan benda tak bertulang dan liur hangat menyapa lubang senggamanya. Bima mencoba melumuri jalan masuknya sendiri dengan lidahnya. Mencecap rasa Chaki yang sesungguhnya. Mempersiapkan Chaki agar bisa menerimanya di kali pertama mereka. Lidahnya mengitari rektum sang suami. Memutar-mutar di sana penuh semangat.

Desah lemah Chaki saat mendesahkan ‘Mas’ sarat akan kepasrahan dan kenikmatan membuatnya senang. Ia suka bagaimana Chaki kepayahan dalam nikmat dengan memanggil namanya.

Lidahnya tak bekerja sendirian, jarinya yang sudah dibasahi liur Chaki dan ditambah pelumas ikut masuk. Membantu kesiapan lubang Chaki dalam penerimaan nanti. Meraba-raba jalan yang asing agar ia terbiasa. Jalan ini yang di kemudian hari akan sering ia kunjungi. Gerakannya agak kaku, tapi Bima menikmatinya. Mengikuti insting juga gairah yang membakar.

Desisan terdengar lagi ketika rasa dingin menerpa lubang senggama. Jari sang produser muda membuat gerakan menggunting. Mula-mula satu, lalu dua, kemudian menjadi tiga sekaligus. Panjangnya jari itu membuatnya mudah menemukan titik pengantar nikmat dalam tubuh Chaki.

Terbukti ketika lenguh-lenguh seksi itu berubah jadi rengekan nikmat dan desah kuat. Bima makin semangat, mempersiapkan jalan masuknya. Menusuk ke dalam dan ke luar. Geraknya dipercepat saat Chaki ikut menggerakkan pinggulnya berlawanan arah, mencari puasnya.

“M-Mas-ahh...a-aku mau…”

Perut Chaki yang menegang dan dinding rektum yang menyedot habis jemari dan lidah memberitahu Bima bahwa suaminya itu akhirnya mendapat pelepasan yang pertama. Hanya dengan lidah dan jari, tanpa disentuh ereksinya. Ada perasaan bangga juga keinginan lebih untuk membuat Chaki menjerit tak berdaya di bawahnya. Saat kasur mereka dan perut Chaki sudah basah dengan cairan semennya sendiri, Bima membalik tubuh mungil itu. Kembali telentang sempurna di hadapannya.

Napas terengah-engah, pipi berhias rona merah, bibir bengkak, anak rambut yang menempel di kening karena keringat, lelehan air mani di perut membuat Chaki terlihat berkali-kali lebih indah. Sangat-sangat sempurna dan erotis. Menggairahkan. Chaki menggigit bibir, menanti apa yang akan dilakukan suaminya. Hatinya berdebar. Takut tapi juga antusias. Penasaran akan hal juga perlakuan baru apa yang akan diberikan Bima padanya. Tidak tahu bahwa yang dilakukannya malah menambah kesan binal. Bima menyeringai, membasahi bawah bibirnya penuh minat.

Setelah melebarkan kedua paha Chaki, Bima memegang ereksinya sendiri. Memijatnya naik turun, dari pangkal menuju kepala kejantanan. Bersiap untuk memasuki lubang senggama yang berkedut-kedut lapar setelah sesi persiapannya tadi. Chaki menelan ludah. Itu besar dan panjang, ia tidak yakin lubangnya mampu menampung yang sebesar itu.

Perlahan tapi pasti Bima mulai masuk. Seinci demi seinci. Merasakan bagaimana pijatan kuat itu memeta tiap-tiap jengkal kulit kejantanannya, merasakan bagaimana urat-urat kejantannya beradu dengan ketatnya dinding hangat. Kepala Bima pening, pada pijatan kuat yang menelan habis kejantannya, perlahan-memabukkan. Kecupan manis dan kalimat penenang dihaturkan ketika Bima mendengar tangisan Chaki dan goresan pada punggung. Itu pasti sakit sekali.

Saat akhirnya ia mampu melesak utuh—penuh, serta Chaki yang melagukan satu lenguh, Bima merasa terbang jauh. Mendiamkan beberapa saat, membiarkan Chaki terbiasa dengan ukurannya. Mata sang produser muda terpejam, ketika meresapi perasaan sendiri tak terasa air mata menetes.

Begini, begini rupanya perasaan berada di dalam Chaki. Begini rupanya masuk ke dalam rumahmu sendiri. Ia tidak serta merta menjadi kerasukan, meski nafsu sudah di ujung kepala. Melakukan kegiatan bercinta dengan suami yang dicintainya setelah terjadi pergolakan perasaan yang bergumul menjadi satu sebelumnya membuat Bima jadi sentimental.

Kepala Bima maju, mendekati wajah Chaki dan mengecup kedua mata sayu berkabut nafsu milik suaminya itu. Mata Chaki yang terpejam perlahan terbuka, menatap manik serupa kolam madu milik sang suami yang berbinar jernih penuh kasih sayang, kerinduan, dan kilat nafsu. Tangannya terjulur mengelusi pipi Bima, merapikan anak rambut yang menempel di keningnya, mengelap keringat akibat kegiatan mereka.

I love you. Aku sayang banget sama kamu, Cha. Kamu luar biasa, kamu udah jadi suamiku yang paling sempurna. Jangan pernah berpikir kamu kurang lagi, sekarang kita sempurna untuk satu sama lain.”

Tangis haru Chaki ikut pecah. Ia mengangguk cepat-cepat, tidak mampu menjawab apa pun sementara tubuh bagian bawahnya bagai terbelah dua. Tersumpal benda besar nan panjang. Sakit dan nikmat bersatu padu. Mengikis warasnya yang memang sudah tidak ada. Di sela desis nyeri juga lenguhnya yang lemah, Chaki membalas ucapan cinta penuh ketulusan dari suaminya dengan sebuah ciuman dalam.

I love you, I love you too, Mas. Aku juga sayang kamu, sayang sekali.” Bisiknya setelah ciuman itu berakhir.

Bima menyambar lagi bibir kesukaannya. tak sabaran. Hanya sebentar karena sesaat kemudian Chaki mengangguk, mempersilakannya untuk bergerak. Mulanya perlahan, namun dalam. Membawa sensasi memabukkan yang tersampaikan dengan baik ke seluruh saraf tubuhnya. Dari ujung kaki menuju ujung kepala. Gerak stabilnya yang lamban membuahkan lenguh-lenguh yang jadi latar kegiatan mereka. Menyemangati Bima dalam tiap gerak menusuknya yang jauh.

Ini luar biasa! Bima berani bersumpah. Gila sekali. Sang produser muda sudah tidak mampu mendeskripsikannya dengan baik. Pikirannya kacau ketika miliknya dipijat dan terjepit di dalam lubang kenikmatan suaminya. Bercinta dengan Chaki membuatnya tak mampu berpikir apa-apa selain ingin dengar rengek manja tak berdaya sang suaminya di bawah kuasanya.

“Mashh-hhh cepat, le-lebih cepat. Tolong lebih cepat.”

Permintaan Chaki adalah perintah, siapa ia berani menolak, bukan?

Bima bergerak lebih cepat dari sebelumnya. Membiarkan kejantanannya tertanam dalam dan melesak jauh ke dalam Chaki. Temponya cepat-cepat, hanya mengejar puas dengan insting yang mendikte. Begitu cepat. Kaki Chaki sudah tersampir apik di kedua bahu, mempermudahnya dalam menemukan titik sensitif yang mengantarkan kenikmatan pada tubuh sang suami.

Dalam gerakannya yang serampangan, Bima terus menerus mengucap maaf. Takut menyakiti Chaki, meski mereka sama-sama menginginkan hal ini, meski keduanya ada di bawah kendali nafsu dalam mencari kepuasan. Suaminya itu tidak mampu menjawab apa pun selain mendesahkan namanya dengan embel-embel ‘Mas’ yang kian lama kian erotis dan menggairahkan. Sebab Chaki mendesahkan namanya dalam rengekan.

Ah! Ah! Ya-ahh! Mas Bima, di situ Mas, di situ enak sekali!”

Ucapan yang keluar dari bibir gemuk Chaki membuat Bima benar-benar dikalahkan penuh oleh nafsu dan gairah. Ia menyeringai puas di tengah-tengah kegiatannya kala mendengar jerit dan tangisan dari Chaki ketika akhirnya ia berhasil melesak pada bagian terdalam. Menumbuk tepat pada titik kenikmatan suaminya, mengantarkan jutaan sensasi memabukkan ke seluruh tubuh.

Kecepatan Bima lebih serampangan dari sebelumnya. Mengejar puasnya bersamaan tanda-tanda Chaki akan mendapatkan pelepasannya yang kedua. Maka ia bergerak lebih keras, menarik kejantanannya sampai ujung kepalanya berada di pintu masuk, lalu melesakkan sampai ke bagian terdalam. Seolah tak berujung. Hanya desah lemah, erang nikmat dan rengekan Chaki yang bisa ia dengar kini. Begitu indah. Seperti harmoni yang mampu mengantarnya pada tidur yang nyaman.

Ketika otot perut dan pijatan yang mengetat pada kejantanannya, lubang senggama itu terasa menyedot habis semua miliknya. Bima bekerja lebih cepat. Sampai pada tusukan yang entah ke berapa, ia mampu merasakan kejantannya yang membesar bersamaan desah panjang suaminya itu.

AHH!

Kemudian ia pecah di dalam Chaki, sedangkan lelehan air mani sang suami mengotori tubuh keduanya dan juga sprei mereka. Di tengah napas panas yang beradu, terengah-engah, ia biarkan Chaki menerimanya tanpa tersisa. Beberapa meleleh keluar melewati paha. Mereka mengambil napas rakus, seolah jika terlewat satu menit saja keduanya bisa mati.

Seumur hidupnya, Chaki belum pernah merasa seutuh ini. Ia merasa semakin sempurna.

“Terima kasih, aku sayang kamu, Cha.”

Satu ciuman panjang keduanya bagi sebagai penutup malam itu. Tanpa nafsu, hanya ciuman penuh cinta juga rasa syukur. Mereka tidak sempurna, mereka sama cacat juga kurang. Tapi hadirnya satu sama lain, membuat mereka sempurna. Sempurna atas ketidaksempurnaan yang ada.

Sembilan

Secepat musim panas berganti dengan tetes hujan yang luruh ke bumi, secepat itu juga waktu mereka berlalu. Setengah perjalanan lagi menuju akhir dari program pendidikan spesialis kejiwaan Chaki selesai. Hubungan mereka makin mengerat dari waktu ke waktu. Bohong kalau tidak ada perselisihan kecil yang terjadi, tentu ada. Entah sebab Bima yang lupa mengabari saat lembur atau sebab Chaki yang kerap memendam masalah dengan konsulennya dan menangis tiba-tiba. Tapi mereka mampu menghadapinya. Perlahan menyelami apa inginnya masing-masing kepala. Mencari jalan tengah dan memilih yang paling baik dan adil untuk mereka berdua. Atau mau tidak mau salah satunya harus mengalah.

Perihal melakukan kewajiban sebagai suami; melayani lahir dan batin, menafkahi lahir dan batin, mereka sudah mampu memenuhinya tanpa ada rasa rendah diri dan tak percaya pada salah satunya. Semua terasa sempurna. Serta bagaimana cinta mereka saling menghambur satu sama lain.

Tapi ada waktu-waktu di mana Chaki merasa hidupnya sepi. Meski ada Bima yang merengkuhnya, meski Bima bernapas di samping telinganya. Tetap ada kosong. Meski canda mereka mencipta derai-derai tawa, meski cerita yang mereka bagi penuhi rumah mereka. Ada yang kurang.

Pada dasarnya Bima adalah si peka. Sang produser muda menerima sinyal janggal dari suaminya dengan baik. Paham bahwa Chaki seringkali kesepian jika ia tinggal lembur atau dua tiga hari menginap di studio. Jadi, pada suatu siang di hari Minggu, selepas kegiatan jogging-nya, Bima bertanya di antara tawa renyah Chaki yang tengah menceritakan pengalamannya di rumah sakit.

Segelas es jeruk dengan batu es yang mulai mencair dan mencipta embun-embun menempeli gelas menemani niatnya. Satu tegukan melepas dahaga, Bima letakkan gelasnya perlahan.

“Sayang, punya anak, yuk?”

Chaki terbatuk-batuk di tempat, buru-buru Bima tepuk pelan punggung sempit itu sampai mereda. Tatap kaget Chaki juga binar asa di sana jadi yang pertama ia lihat.

“Gimana, Mas?”

“Punya anak, Yang. Biar ada yang nemenin kamu, ngeramain rumah ini. Kamu pasti sering ngerasa kesepian, 'kan? Kalau ada anak, kamu jadi punya teman. Aku berpikir kita berdua udah sama-sama siap. Cinta kita lebih dari cukup untuk dibagi ke satu jiwa lain, 'kan?”

Senyum teduh Bima malah buat mata Chaki berkaca-kaca. Ia membisu di tempat dengan air mata perlahan-lahan meleleh.

“Mas…”

Isak kecilnya berubah jadi tangis sedu.

Chaki merasa bersyukur bahwa ia punya Bima dalam hidupnya. Punya suami yang mengerti, sebab ia seringkali tak enak hati untuk meminta. Takut dikira terlalu banyak menuntut.

Peluk yang mereka bagi siang itu seperti pelukan biasanya, penuh hangat juga bahagia. “Aku mau, Mas.”

Juga bertambah satu bahagia, sebab akan ada tambahan penghuni rumah satu lagi.

Minggu depannya mereka berhasil membawa pulang Ervin ke dalam hangatnya keluarga mereka. Bayi kecil berumur empat bulan yang mereka adopsi dari panti asuhan tak jauh dari area perumahan mereka. Bayi kecil yang sejak lihat pertama sudah mampu tarik atensi Chaki. Bayi laki-laki yang sangat tampan, punya mata besar seperti Bima juga pipi gemuk seperti Chaki. Bayi menggemaskan yang buat hari-hari mereka lebih berwarna.

Kalau diberi kesempatan untuk membuat sebuah permohonan satu kali seumur hidup, barangkali Chaki hanya ingin Bima. Tak pernah berubah dan tak akan pernah. Sebab ia hanya ingin Bima sebagai wujud bahagianya. Bima sebagai sempurnanya.

Hidup mereka pernah cacat, hidup mereka sejak awal pun berat, tapi siapa bilang jika beban itu dibagi hanya akan jadi kesulitan satu sama lain?

Mereka, Bima dan Chaki, membuktikan bahwa bagaimanapun berbagi beban pada seseorang, berbagi cacat pada seseorang, yang percaya kamu juga kamu percaya, yang cinta kamu juga kamu cinta, mampu meluruhkan satu per satu beban.

Sebab cinta mereka sejak awal penuh kerikil, penuh lubang menjorok ke dalam, penuh nanah juga kadang berdarah. Tapi semua itu hanya akan membuat mereka kuat, juga percaya, pada tiap-tiap hari yang mereka lewati, pada tiap-tiap langkah yang mereka jalin. Bersama. Untuk selamanya. Semoga.

Fin.

“Boleh kita ngobrol?”


Nggak lama setelah Jeongguk mengucap salam dengan sopan untuk kedua kalinya, suara sahutan halus terdengar dari dalam rumah bercat hijau dengan pohon mangga dan bunga-bunga hias yang menggantung rapi di taman depan. Seorang wanita paruh baya bersenyum sabit cantik menyambutnya dengan ramah dan ceria.

Tiga kantong besar plastik di tangan digoyangkan ke atas, pamer. Senyum itu terkembang semakin lebar. Sedikit banyak Jeongguk dapat melihat sebagian diri Jimin di sana.

“Banyak banget, ada rencana buka usaha apa gimana kamu?”

Tawa Jeongguk berderai menanggapi candaan Mama selagi kakinya melangkah mantap memasuki rumah Jimin tanpa keraguan. Seolah tahu persis tata letak bangunan ini dan seisinya. Sebetulnya, itu hanya untuk menutupi rasa panik yang membumbung besar.

“Jastip anak Mama doang ini, Ma,” setelahnya ia cengengesan atas jawaban sendiri. Bukan sebuah hal yang harus ditutupi ketika Mama sudah memahami maksud kalimatnya dengan baik. “Jimin parah nggak, Ma?” Barangkali Mama bisa menangkap kekhawatiran yang terselip pada tanyanya. Atau barangkali sejak awal seluruh gerak-geriknya sangat kentara. Mata Jeongguk nggak fokus, melirik acak ke sana-kemari dan berhenti pada tangga menuju lantai dua.

Mama tersenyum lagi. Beliau mengerti. Sangat mengerti. “Jeongguk langsung ke kamarnya aja, ya.” Lengan Jeongguk diusap lembut.

Jeongguk mengangguk, tersenyum sopan.

“Mau minum apa? Nanti Mama bawakan ke atas.” Mama bertanya kembali. Menyamai langkah Jeongguk menuju tangga ke lantai dua, sambil sesekali mengusap punggungnya.

Dari sorot teduhnya Jeongguk tahu bahwa kehadirannya di rumah ini sudah lama dinanti. Ada rasa bersalah yang merambat naik ke dada ketika mengingat bahwa belakangan ini ia menolak halus ide untuk mampir ke kediaman Jimin.

Impulsif. Dia melakukan sesuatu yang lahir dari pikirannya ketika ia merasa nggak percaya diri. Merasa marah tapi nggak ada yang bisa disalahkan selain ekspektasinya yang terlalu tinggi. Sejak awal ia sudah tahu kalau risiko dari perasaan yang ia miliki adalah kekecewaan dan sakit hati. Ia tahu kalau Jimin bukan orang yang mudah. Ia sendiri yang bertekad. Tapi rupanya tetap nggak siap. Ia cemburu. Cemburu pada banyak orang. Cemburu pada keadaan.

“Apa aja, Ma,” jawabnya sopan. “Jeongguk ke atas ya, Ma.”


Pintu bercat putih gading di lorong paling pojok dibuka perlahan. Keadaan terasa begitu sunyi. Entah karena rumah sedang kosong, Mama bilang, Papa dan Nami sedang belanja ke supermarket untuk kebutuhan bulanan. Atau karena saat ini Jeongguk hanya dihadapkan dengan punggung sempit dan suara dengkur halus.

Ini baru pukul lima sore. Tapi Jimin terlihat kelelahan. Mungkin karena belum bisa beraktivitas normal, bawaannya jadi ingin tidur terus. Menurut keterangan Mbak Hwasa, ketika ditanyai soal keabsenan Jimin pagi tadi, Jimin kecelakaan diserempet mobil. Hati Jeongguk sudah was-was dan nggak tenang sejak tahu kabar itu. Niat hati ingin berbagi kisah sambil lepas rindu—mungkin sambil diselipi sedikit omelan karena Jimin nggak ada kabar, harus kandas. Kerja pun nggak fokus, sampai ditegur Pak Boss.

Bergerak pelan, Jeongguk mendudukan dirinya di pinggir kasur Jimin. Menatap nanar pergelangan tangan kanan yang terlilit perban serta beberapa lecet pada siku dan lutut. Kepalanya memproyeksikan apa yang terjadi sehingga hasil akhirnya seperti ini. Nggak separah yang ia bayangkan, namun tetap saja hatinya tercubit melihat Jimin menahan sakit. Hela napasnya kasar, mendominasi kebisuan yang tercipta.

“Ggukie?” Suara itu terdengar lemah dan serak.

Entah sejak kapan Jimin sudah bangun dengan posisi tidur menghadap penuh ke arahnya. Pandangannya sayu setengah terpejam.

“Hai, udah bangun?”

Jeongguk tersenyum. Lembut namun kaku. Lega namun janggal. Entahlah, Jeongguk sendiri bingung mendefinisikan apa yang tengah dirasakannya saat ini. Ia merasa hilang.

Jimin bergerak, mencoba bangun dari posisinya saat ini. Refleks Jeongguk membantunya duduk bersandar di kepala tempat tidur. Mana tega melihat Jimin kesusahan.

Atmosfer kembali hening. Keduanya masih diam. Jeongguk yang bingung ingin membicarakan hal apa terlebih dahulu, tumpang tindih dalam kepala untuk disampaikan. Berebut soal giliran dan menyebabkan rasa nggak beraturan. Sementara Jimin masih mengumpulkan kesadarannya agar penuh.

“Apa kabar, Gguk?” Akhirnya Jimin menjadi yang pertama memecah hening. “Pulang kantor langsung ke sini?”

Dibalas sebuah anggukan. “Gue baik,” jawab Jeongguk. “Cuma khawatir,” lanjutnya.

Jimin meringis kecil.

“Dari keadaan lo sebenarnya gue udah bisa nilai, tapi gue mau mastiin lagi. Jimin, lo gapapa kan?”

Tanpa dijelaskan lebih rinci Jimin tahu apa maksud Jeongguk menanyakannya seperti itu. Tahu seberapa besar kekhawatiran itu. Penampilan luar nggak bisa jadi tolak ukur apa yang ada di dalam. Dari pada kabar fisik, Jeongguk barangkali ingin mendengar perasaannya. Jadi, dengan kesadaran diri, Jimin menjelaskan.

“Gue gapapa, lecet tapi nggak gegar otak,” jawab Jimin cengengesan. “Terus ini, terkilir.” Ia menunjuk pergelangan tangan kanannya menggunakan dagu.

Melihat Jimin bisa tertawa kecil dan menjawab dengan candaan, Jeongguk merasa sedikit tenang. Suasana beku di antara mereka perlahan mencair.

“Ggukie.”

“Ji.”

Berbarengan.

Mereka tertawa kecil. Baru saja Jimin ingin buka mulut, Mama datang mengantarkan dua gelas teh hangat dan camilan ke kamar. Konsentrasi Jimin buyar. Sepertinya bakpia keju mendistraksi fokus Jimin sepenuhnya.

Jeongguk dapat lihat tatap berbinar-binar yang Jimin layangkan pada piring berisi bakpia. Lalu tatap itu beralih padanya.

“Beneran dibawain bakpia keju banyak?” Jimin bertanya antusias.

Anggukan Jeongguk berikan. “Ada 6 kotak dari dua toko yang beda. ”

Sebuah woah rada panjang terdengar kemudian.

“Makasih banyak ya, Ggukie.”

Pernah nggak sih Jeongguk bilang kalau Jimin itu lucu? Lucu yang ketika suasana hatimu buruk lalu melihatnya jadi baikan. Lucu yang semakin diperhatikan semakin membuat sesuatu berkembang dalam hati. Lucu yang kamu ingin melihatnya bahagia, melindunginya. Lucu sekali. Kalau belum, Jeongguk akan bilang sekarang saja. Jimin sangat lucu. Paling lucu.

“Sama-sama, Ji.”

Sejak tadi menahan rasa menggebu-gebu dalam hatinya. Ini bukan waktu yang tepat, sepertinya.


“Maaf karena gue nggak ngabarin ya, handphone gue rusak. Maaf juga udah larang Nami ngasih tau lo. Soalnya takut lo kepikiran.” Jimin menjelaskan pelan-pelan, di sela kunyahannya.

Tangan Jeongguk memegangi bakpia keju dengan sabar. Membiarkan Jimin melahap dengan semangat suapannya, sebab tangan kanannya masih belum bisa dipakai beraktivitas. Senyum kecil tercetak hanya dengan melihat cara Jimin makan.

Jeongguk baru saja diceritakan Jimin soal kejadian sebenarnya. Pemuda itu disenggol pengendara mobil yang masih belajar di tikungan dekat rumah. Tangannya menahan keseimbangan motor yang dikendarai namun gagal dan limbung ke kanan. Oleh sebab itu pergelangan tangannya terkilir dan ponsel yang ditaruh di kantong celana kanan layarnya retak.

“Nggak usah dipikirin. Gue udah sangat bersyukur karena keadaan lo bukan kayak yang ada di pikiran buruk gue.” Jeongguk membersihkan remahan di tepi bibir Jimin menggunakan ibu jari.

Mata Jimin tanpa sadar menatapnya, terus bergerak mengikuti sampai kemudian bertemu dengan sepasang kelereng legam milik Jeongguk. Pandangan mereka terkunci. Ada benturan dari pertemuan itu, menghancurkan dinding di antara mereka dengan ledakan yang terasa sampai ke dalam dada.

Sorot Jeongguk selalu terasa seperti kekuatan magis yang menyerap kesadaran. Menimbulkan efek tak biasa yang membuat kinerja jantung dan perut Jimin terasa aneh.

“Gue juga minta maaf karena gue baru bisa main ke sini, setelah lama nggak pernah mampir. Maaf harus sampai lo sakit dulu.” Jeongguk bicara seperti itu tanpa melepaskan tatapannya.

Deham Jimin jadi jawaban, pemuda itu mengangguk dan bergumam nggak masalah sambil mengalihkan pandang. Pertahanannya runtuh. Sepertinya ia sudah nggak mampu memandang Jeongguk lama seperti biasa. Nggak mampu ketika dua minggu ini ia sudah menemukan sebuah kesimpulan.

“Kok kita jadi kayak orang kurang komunikasi gini ya?”

Jimin tertawa. Itu terasa benar dan karena merasa konyol Jeongguk ikut tertawa. Mereka berdua tertawa padahal nggak ada unsur kelucuan dari pertanyaan tersebut.

“Ggukie…” Panggil Jimin setelah tawanya habis.

“Ya?”

“Boleh kita ngobrol?”

Ekspresi Jeongguk nggak terbaca. Air mukanya santai, berposisi dengan perasaannya sendiri.

“Emang sekarang kita ngapain?”

Mendengus geli, Jimin tersenyum kecil. “Ya ngobrol sih,” kata Jimin. “Cuma ini mau ngobrolnya beda.” Jimin meminta Jeongguk duduk merapat dan berhadapan penuh ke arahnya.

Jeongguk menebak-nebak hal penting apa yang sekiranya ingin Jimin bicarakan padanya? Dia sama sekali nggak berekspektasi kalau mereka berdua akan bicara panjang lebar sebab sejak awal yang menjadi tujuannya adalah melihat keadaan Jimin dan membiarkannya beristirahat. Nggak lebih.

“Kenapa lo bela-belain pulang kantor langsung ke sini? Segitu khawatirnya sama gue?” Lugas. Pertanyaan itu menghajar telak.

Jeongguk mengangguk mantap. “Tadinya malah mau kemarin, begitu sampai bawaannya mau nyamperin lo,” kalimat itu belum tuntas, masih ada koma yang menggantung menjadi tanya.

Diam. Jimin senantiasa mendengarkan.

“Tapi nggak enak,” sambung Jeongguk. “Gue pikir lo butuh waktu sendiri—sebelum gue tau keadaan lo yang sebenarnya. Ketemu di kantor ajalah, rencana gue. Taunya lo udah dua hari nggak masuk kerja.”

Alis Jimin terangkat naik, nggak paham dengan konteks yang Jeongguk bicarakan.

“Butuh waktu sendiri buat apa?” Jimin bertanya.

“Menenangkan diri karena lo… cemburu?” kalimat itu hampir seperti bisikan di akhir. Begitu lirih. Penuh keraguan.

Jeongguk sebetulnya adalah orang yang tegas dan percaya diri. Sebab apa yang dibicarakannya adalah hasil dari proses pemikiran panjang serta pengalaman. Ia orang yang praktis dan nggak suka bertele-tele.

Terbiasa menghadapi rekan dan kolega bisnis dengan banyak kepribadian membuat pribadi tertempa dengan baik; nggak mudah dimanfaatkan atau dibantah, apalagi soal pekerjaan. Orang bilang, Jeongguk mengintimidasi.

Semua itu nggak berlaku ketika ia dihadapkan pada perasaannya sendiri. Seluruh bagian tubuh termasuk otak menjadi malfungsi. Sulit untuk yakin ketika kebimbangan melahapnya habis. Kali ini yang kita bicarakan adalah soal Jimin. Serta perasaannya.

Melalui ekor mata, Jeongguk melirik ke samping lantas mengalihkan dengan meletakkan sepotong bakpia ke piring karena Jimin sudah nggak mau disuapi lagi. Sudut bibir Jimin tertarik membentuk senyum kecil dan menghilang sebelum Jeongguk sempat melihatnya.

“Gue? Cemburu sama siapa?”

“Sama Mbak Sana?” Tanya Jeongguk. “Eh… nggak, ya?”

Selain keraguan, Jimin menangkap kecewa pada nada itu.

“Siapa bilang gue cemburu?”

Jeongguk diam.

“Awalnya gue kira gitu, karena lo nggak balas chat gue dan nggak ngabarin lagi setelah balasan Mbak Sana.” Jeongguk menjeda. “Tapi ternyata gue cuma kegeeran aja, lo kecelakaan dan layar handphone lo retak yang bikin lo nggak bisa gue hubungin.”

“Ggukie… ”

“Tapi ini bukan maksudnya gue kecewa karena lo kecelakaan. Gue tuh khawatir.”

Tubuh Jimin bergeser sedikit, mencari tempat ternyaman untuk bersandar. Kedua kakinya diluruskan menyamping. Jeongguk diam memperhatikan, menunggu Jimin kembali bicara.

“Lo benar kok, gue cemburu.” Jawab Jimin, ia menatap Jeongguk ragu. Mendadak jadi gugup.

Di posisinya Jeongguk terkejut bukan main. Ini serius?

“Gue nggak tau lo ngerasa atau nggak kalau sejak lo tinggal dinas gue jadi lebih clingy dan bawel. Awalnya gue merasa aneh kan karena uring-uringan gitu. Gue kira karena nggak ada yang antar-jemput gue seperti biasa. Tapi, beberapa kali gue barengan Taehyung dan Mas Hoseok pergi-pulang kantor, taunya masih uring-uringan. Bawaannya jadi mau tau kabar lo, makanya gue jadi bawel apa-apa laporan ke lo. Padahal biasanya kita chat seadanya. Hari di mana gue bilang mau random talks adalah hari di mana akhirnya gue sadar kalau gue tuh kangen lo, Gguk. Soalnya kita sering banget tuh telfonan, tapi kali itu waktu denger suara lo gue mau nangis. Kayak… ya ampun gue udah lama nggak dengar suara ini dan akhirnya dengar lagi.

Tatapan takjub dan terkejut itu nggak bisa ditutupi Jeongguk dengan baik. Ingin bicara dan menanggapi tapi nggak ada kalimat yang bisa ditemukan. Dia sama sekali nggak menyangka kalau Jimin bisa bicara seterbuka ini tanpa ada sikap malu-malu atau penolakan. Sesuatu bergejolak dalam perut dan meletup memenuhi dada. Rasanya hangat dan menggelitik, menyebar pada seluruh organ dan saraf. Membuat kelima panca indranya hanya bisa berfokus pada satu objek bernama Park Jimin.

I like you, Gguk.” Jimin berucap mantap.

Jeongguk mendadak menahan napas. Batinnya sudah berteriak nggak karuan. Wah stress nih.

“Maaf kalau gue telat nyadarnya. Maaf selama ini udah anggap lo becandaan. Maaf kalau pengakuan gue terkesan tiba-tiba. Nyatanya selama ini gue nggak bisa memahami perasaan gue dengan benar.”

Ada jeda sebentar, Jimin terlihat berpikir kalimat apa yang pas untuk dia sampaikan. Sepertinya ada banyak dan Jeongguk tidak keberatan untuk menunggu berapa lama pun. Ia masih setia menjadi pendengar yang baik.

“Soal Mbak Sana, awalnya gue marah karena Mbak Sana yang balas. Pakai acara selfie di handphone lo segala lagi, gue kan nggak minta? Makanya gue nggak balas chat lo lagi. Tapi setelah beberapa waktu gue pahamin balasan Mbak Sana gue jadi sadar kalau bukan itu poin yang harus gue bold. Harusnya yang gue bold adalah seberapa besar lo memprioritaskan gue. Lo kepikiran minta tolong Mbak Sana balas chat gue karena lo takut gue nunggu kan? Padahal bisa lo balas nanti setelah selesai urusan kerjaan. Jadi, udah nggak seberapa marah tuh gue, cuma udah keburu rusak handphone guenya.” Dia cengengesan.

Dengan sadar Jimin tahu kalau dia menjadi tiga kali lebih cerewet dari biasa. Momen kesadaran diri memaksanya untuk mengakui semua yang ia rasakan pada Jeongguk. Rentetan kalimat yang ingin disampaikan sudah berputar dalam kepala dan menunggu giliran. Sejenak, Jimin mengambil napas.

“Tolong dengerin dan jangan dipotong. Gue bakalan banyak omong kali ini karena kemarin-kemarin gue diam aja. Ini semua adalah isi hati dan pikiran gue.”

Anggukan Jeongguk berikan. Dia sudah seperti robot yang sejak tadi hanya bisa mengangguk. Ingin bicara tapi ini belum gilirannya. Dia akan membiarkan Jimin untuk menyampaikan segala hal yang mengganjal terlebih dahulu.

“Selama ini gue terbiasa sama kehadiran lo sebagai teman. Teman dekat yang gue pikir sama kayak gue ke Taehyung atau ke Mas Hoseok. Ke teman gue yang lain. Taunya tuh nggak, Gguk. Gue salah sangka. Sejak awal kedekatan yang kita bangun tuh bukan pertemanan biasa. Gue baru sadar. Atau sebetulnya gue terlalu naif.” Menarik napas sebentar, Jimin tersenyum menyadari raut Jeongguk saat ini kelewat serius. “Ternyata yang gue butuhin tuh merenung.”

“Mungkin karena sejak awal gue terbiasa dikasih rasa nyaman dan perhatian lo yang nggak pernah berubah. Terbiasa dipahami segitu besarnya sama lo. Terbiasa apa-apa ke lo. Dan terbiasa menghadapi lo yang nyantai, suka bercanda. Setelah gue pahami, memang begitu cara lo menyampaikan sesuatu supaya nyampe ke gue.”

Ada hela napas lega yang Jeongguk lepaskan tanpa sadar. Jeongguk maju dan merapatkan duduknya ke arah Jimin, menarik kaki kanan Jimin lembut untuk ditumpangi di atas pahanya. Begitu hati-hati supaya nggak menyebabkan luka itu terkena tangannya.

“Kalau lo tanya kenapa akhirnya gue bisa sadar, itu karena Mama sih. Jadi, waktu gue uring-uringan kemarin gue akhirnya memutuskan untuk curhat ke Mama, pusing kali beliau liat anak sulungnya jadi nggak jelas.” Jimin cengengesan.

“Kami jadi ngobrol dari hati ke hati. Soal apa yang gue rasakan saat itu, soal pandangan gue ke lo, pandangan Mama ke lo. Gue.... baru sadar kalau lo sedekat itu sama Mama. Papa, Nami, Jihyun ikut-ikutan, soalnya pas banget hari itu Jihyun lagi nelfon Mama. Setelah selesai gue ngobrol sama Mama gue langsung mikir lho sebetulnya gue udah ngerti perasaan lo sejak lama dong ya? Tapi gue terlalu takut aja.

Senyum Jeongguk merekah tanpa bisa ditahan-tahan lagi. Seperti ini kah jika perasaanmu bersambut?

“Lo tau kan Gguk alasan gue sampai saat ini belum pernah menjalin hubungan sama siapa pun?”

Tanpa ditanyakan pun Jimin yakin kalau Jeongguk sudah tahu betul. Buku harian berjalannya ini nggak pernah absen untuk dia curhati segala hal. Namun, Jimin ingin memastikannya lagi. Meyakinkan kalau Jeongguk paham ke mana arah pembicaraan ini akan bermuara.

Jeongguk mengangguk.

“Keluarga. Karena prioritas utama gue adalah keluarga. Gue tulang punggung keluarga dan buat gue urusan cinta-cintaan bukan suatu hal yang penting dalam hidup gue.”

“Bukan nggak penting juga sih, gue udah cerita berulang-ulang juga kan ke lo kalau pikiran gue lebih kayak; gak mau deh ribet, gue nggak punya waktu untuk itu atau kayak—

“Lo mikir orang itu bisa nggak sih; menerima keluarga lo sebagaimana dia menerima lo, sayang keluarga lo sebagaimana dia sayang lo. Yang nggak bikin lo mikir dia selevel atau nggak sama lo. Yang nggak akan merendahkan keluarga lo. Yang paham seperti apa posisi dan kewajiban lo di keluarga lo? Gitu kan?” Jeongguk memotong sebelum Jimin sempat menyelesaikan kalimatnya.

Sebuah senyum lembut tertarik di ujung bibir Jimin. Rasa hangat meresap ke dalam hatinya. Memberi kelegaan, seolah ada pelukan tak kasatmata yang merengkuh dingin hatinya. Jimin mengangguk.

Setetes air meluncur dari pelupuk matanya tanpa bisa dicegah. Pembahasan soal keluarganya; alasan Jimin menjadi seseorang yang keras kepala; tentang caranya memandang hidup, selalu menjadi topik sensitif menguras air mata. Bagi Jimin, keluarga adalah segalanya.

Jatuh cinta dan menjalin hubungan serius dengan seseorang merupakan sebuah privilege yang nggak semua orang bisa dapatkan dan rasakan. Jimin bukan nggak ingin, hanya saja selama ini dia merasa nggak bisa dan nggak mampu.

Sayangnya orang awam di sekitarnya dengan mudah menilai kalau Jimin adalah orang yang sangat pemilih, Jimin berpikir terlalu rumit, Jimin plin-plan, Jimin nggak peka. Hal yang nggak banyak orang tahu bahwa baginya, jatuh cinta merupakan hal mewah; sementara concern Jimin dalam hidup adalah mencari uang untuk keberlangsungan hidup keluarganya.

Bagaimana keluarganya bisa makan besok? Bagaimana caranya membayar uang kuliah Jihyun, uang kos, uang saku dan buku-buku? Bagaimana membayar SPP Nami? Bagaimana ketika Papa atau Mama sakit? Bagaimana membayar listrik dan air? Bagaimana keperluan sehari-hari mereka?

Memikirkan itu semua saja kepala Jimin ingin pecah. Rasanya mustahil ia bisa menyelipkan perkara cinta-cintaan di antara antrean persoalan yang harus ia selesaikan setiap harinya. Nggak sanggup. Kok ya nambah-nambahin beban aja, pikirnya.

Jimin, bukan orang beruntung yang bisa dengan tenang mendapatkan privilege soal menjalin hubungan dengan seseorang. Bukan. Ibaratnya ia harus memilih satu di antaranya. Mengorbankan salah satunya.

Itu sebelum Jimin menyadari bagaimana peran Jeongguk dalam hidupnya.

“Gue lupa fakta bahwa lo satu-satunya orang yang tau kondisi keluarga gue, betul-betul tau semuanya. Taehyung dan Mas Hoseok aja cuma tau sedikit. Lo dekat banget sama keluarga gue. Lo udah kayak bagian dari keluarga ini yang kalau lo kenapa-kenapa pasti Mama bakal sangat khawatir. Mungkin, mungkin lo juga udah anggap keluarga gue kayak keluarga lo sendiri, sampai-sampai lo sering kirimin Jihyun uang saku di belakang gue.”

Air mata Jimin mengalir semakin deras. Seperti tanggul air yang sudah menampung hujan terlalu banyak. Sudah di ambang batas penuh hingga tanggul air nggak sanggup menampung volumenya dan akhirnya tanggul itu ambrol.

“Jimin, maaf soal itu. Gue nggak bermaksud ikut campur atau merendahkan kemampuan lo. Gue tuh cuma—”

Tangan Jimin tergerak di depan bibir, mengisyaratkan Jeongguk untuk diam. Yang mana sebenarnya sia-sia karena Jeongguk kepalang khawatir sejak Jimin menangis membahas masalah ini.

“Gue baru tau kemarin waktu Jihyun pulang ke rumah untuk jengukin gue. Gue tuh mau chat lo pakai handphone Jihyun kan, tapi waktu gue buka kolom obrolan kalian, lo ada kirim bukti transfer. Gue marah besar ke Jihyun, ke semua orang di rumah, awalnya.”

Hati Jeongguk resah mendengar ini, harusnya sejak awal dia jujur ke Jimin.

“Dibanding takut karena gue marah ke dia, Jihyun malah takut kalau gue marah dan nggak mau ngomong ke lo lagi. Baru kali itu gue liat Jihyun mohon-mohon supaya gue nggak marah ke lo. Mama Papa ikutan ngejelasin ke gue keadaannya. Sejujurnya, gue masih sangat tersinggung. Lalu gue mikirin lagi omongan Jihyun kalau lo tuh baru beberapa kali kirim uang ke dia. Kata Jihyun waktu itu pas banget keadaannya ketika uang sakunya hilang di kosan dan dia nggak berani bilang ke gue. Itu baru dua hari gue kirim uang ke dia. Dia sampai puasa karena nggak bisa makan dan nggak enak mau pinjam temannya.” Jimin kembali menangis mengingat cerita adiknya.

“Dan waktu lo kirim dia, lo bilang uangnya buat tabungan, buat jaga-jaga. Lo ngirim tanpa diminta. Tanpa Jihyun cerita. I mean lo udah nolongin adek gue di saat gue sendiri nggak tau apa-apa.”

Gelagapan. Jeongguk menepuk lengan Jimin lembut. Nggak nyangka kalau Jimin akan menangis lebih banyak dari sebelumnya. “Maaf Ji, please jangan nangis. Gue nggak bermaksud merendahkan atau buat lo tersinggung. Gue cuma mau ngasih jajan Jihyun, udah gitu aja. Gue sesekali mau ngerasain gimana rasanya jadi kakak, Ji. Maaf. Lo marah ke gue aja deh jangan Jihyun, kasian dia.”

Tawa Jimin menguar di sela tangisnya. Merasa lucu karena kepanikan Jeongguk.

“Satu hal lagi yang gue sadar, Jihyun sayang sama lo, Gguk. Dia anaknya nurut dan nggak pernah bantah gue, tapi kemarin dia belain lo di depan gue. Dan sekarang gue liat sendiri kalau lo juga sesayang itu sama Jihyun.”

Air mata luruh lagi. Tanggul itu hancur.

“Jimin jangan nangis dong.”

“Yang mau gue sampaikan di sini adalah lo sebaik dan sesayang itu sama gue dan keluarga gue. Selama ini yang bikin gue selalu takut dan denial ketika mau menjalin hubungan dengan orang adalah gue takut mereka nggak bisa menerima keluarga gue kan, Gguk. Tapi lo menerima mereka sebaik-baiknya. Lo sayang banget sama keluarga gue.”

Sudahnya hening. Jimin nggak bicara apa-apa lagi selain sibuk meredakan tangisnya sendiri. Katakanlah Jimin cengeng, tapi ia memang selemah ini kalau membahas soal keluarganya. Lemah kalau ada seseorang yang begitu baik pada mereka tanpa memandang strata. Seperti haru namun sesak. Otaknya memproses tanya seperti; Mengapa Jeongguk begitu baik? Mengapa dia baru sadar? Mengapa ini mengapa itu dan tetek bengek lainnya.

Merasa kalau Jimin nggak akan melanjutkan pengakuannya, Jeongguk memberanikan diri angkat suara.

“Udah? Lo masih ada yang mau disampein lagi nggak?” Jeongguk bertanya lembut. Menatap khawatir pada Jimin yang tengah menghapus air matanya sedikit kasar karena belum berhenti luruh. Setelah hirup embus napas dan merasa lebih tenang, jemari kiri Jimin membentuk OK ke arah Jeongguk.

Sebelum bicara Jeongguk mengambil napas panjang, sepertinya tenaganya akan terkuras habis kali ini.

“Boleh sekarang gue yang ngomong, ya?” Jeongguk bertanya lagi dan dibalas anggukan sekilas.

Duduk mereka makin merapat, lutut Jeongguk bersentuhan dengan lutut kiri Jimin. Tangannya merengkuh lembut bahu Jimin. Meminta seluruh perhatian pemuda itu agar fokus padanya saja.

“Jimin,” Jeongguk memulai.

Yang namanya disebut menatap dengan tatap polos yang jernih. Ada jejak-jejak air mata yang belum kering di pipinya.

“Sebenarnya, nunggu hari ketika lo akhirnya sadar dan nyambut perasaan gue adalah harapan gue sejak lama. Kalau dalam bayangan gue pribadi, gue udah nyiapin kalimat baik untuk gue omongin ke lo. Untuk meyakinkan kalau gue tulus sama lo. Ternyata, ketika ini jadi kenyataan, gue malah kecolongan start sama lo. Harusnya gue nggak sih yang ngomong? Harusnya gue yang jelasin secara gamblang kalau gue memang serius.” Jeongguk tersenyum kecil, senyum kalem yang biasanya mampu meredam emosi Jimin yang meletup-letup.

“Ketika gue dihadapkan sama pengakuan lo, gue belum persiapan sama sekali. Jadi, gue nggak tau harus respons kayak gimana. Bingung milih reaksi apa yang cocok untuk gambarin perasaan gue saat ini. Satu yang harus lo tau, gue bersyukur. Sangat bersyukur, karena lo suka juga sama gue?” Senyum di akhir kalimat nggak bisa ditahan Jeongguk lagi. Wajahnya berseri-seri.

“Seperti yang udah lo jelasin ke gue panjang lebar itu, rasa-rasanya semua yang mau gue jelasin ke lo juga udah lo omongin. Ini kenapa gue suka sama lo, lo orangnya detail, tipe-tipe overthinker emang.”

Jimin rada tersinggung, namun alih-alih marah ketika dijuluki overthinker, ia malah tertawa.

Kedua telapak Jimin digenggam lembut oleh milik Jeongguk. Kedua pasang kelereng itu kembali bertemu. Ada kedalaman rasa yang nggak bisa diarungi Jimin ketika ia memutuskan menatap legam Jeongguk dan Jimin mulai takut.

“Jimin... gue serius sama lo. Semua hasil analisis lo tuh benar, hampir semuanya. Jadi, udahan ya overthinking-nya? Udahan ya menyalahkan diri sendirinya?”

Hening. Pandang mereka masih terpaku. Lidah Jimin kelu.

“Jimin... boleh kita coba dulu sama-sama? Buka lembaran baru dengan hubungan yang beda? Boleh?”

Detik berlalu, Jeongguk nggak dapat jawaban atas tanya itu. Ketika Jimin mengalihkan pandang, hati Jeongguk remang.

Jimin takut.

Jimin ragu.

Genggam itu makin mengerat.

“Ggukie... gue takut.”

“Apa lagi yang harus lo takutin, Ji?”

Ada sebuah rahasia yang belum pernah Jimin katakan pada Jeongguk. Soal cara pikirnya terhadap sebuah hubungan. Alasan lain yang menyebabkan ia nggak pernah punya pacar sekalipun seumur hidup. Jimin punya prinsip kalau dia ingin menjalani hubungan yang dewasa. Satu untuk selamanya.

Jadi, ketika ia akhirnya memutuskan untuk punya hubungan dengan seseorang, artinya ia sudah membayangkan kalau ia juga akan menghabiskan sisa umurnya dengan seseorang tersebut.

Dalam hal ini, ketika Jimin sangat yakin dengan perasaannya. Jimin sudah melihat Jeongguk secara jauh. Membayangkan akan jadi seperti apa hari-hari mereka sebagai pasangan tua yang bahagia. Sementara Jeongguk sendiri, Jimin nggak tahu apa yang sebenarnya ada di benak pemuda itu. Jimin nggak tahu sejauh apa Jeongguk berpikir ketika ia menyatakan bahwa ia menyayanginya.

Jimin takut mereka punya cara pandang berbeda. Karena nggak semua orang mampu memahami prinsip satu untuk selamanya yang ia yakini.

Jimin sangat takut.

“Maaf, Gguk. Gue minta maaf.”

Hati Jeongguk mencelos. Binaran indah di mata yang meletup-letup, redup.

sempurna, buatku


kenapa, bu?


Pernah dikecewakan oleh kenyataan? Merasa marah sebab hidup seolah mempermainkan. Memang, katanya hidup itu penuh kejutan, kita tidak akan pernah tahu apa yang akan kita hadapi esok, lusa, bahkan beberapa jam kedepan. Juga katanya, sebagian hal itu sudah digariskan, sedang beberapa lainnya harus diusahakan. Tentu, Bima tahu akan hal itu.

Kalau begitu, termasuk ke dalam golongan apa yang ia alami ini? Kejutan hidup? Takdir, kah? Atau permainan hidup?

Bima sendiri sudah tidak bisa bedakan perasaannya. Ada kebahagiaan yang bisa kamu petik setelah dirawat selama ini. Ada lega seolah seluruh ikat sesak di dadamu dibuka. Juga kecewa, ketika semua yang nyata di semukan seluruhnya. Mana yang harus dan boleh Bima rasakan? Jika seluruh rasa itu berdesakkan dalam dada, seolah ia tumbuh dan berkembang minta dibebaskan.

Malam itu, Bima melihatnya. Seseorang yang penuhi kepala tanpa mau bergeser barang seinci. Seseorang yang presensinya selalu ia pertanyakan, meski selalu ia imani bahwa dia ada, entah itu dimana. Seseorang yang selalu buat ia sulit jemput tidur pada malam-malam sepi. Seseorang yang bisa ia rindukan sebanyak ia butuh udara untuk hidup.

Inginnya tertawa, tapi ini tidak lucu sama sekali. Yang ada hanya sesak, namun lega membelenggu jiwa. Hanya bahagia, namun kecewa meresapi dada.

Orang yang ia lihat semalam, ia yakin kalau itu adalah orang yang selama ini ia cari. Ia yakin, seolah seumur hidup belum pernah punya keyakinan sebesar ini. Jadi, permainan apa yang sedang ia ikuti sekarang ini?


“Bu,” Ibu tunda gerakan tangannya pada piring kotor di genggaman, untuk lihat anak sulungnya saat panggil lembut itu terdengar. Si sulung yang baru kembali setelah bertahun-tahun pergi, kejar maunya diri. Senyum senantiasa terpasang apik, sebabkan tarikan di sudut bibir meninggi. Tak bisa ditutupi, betapa bahagia hati sebab kepulangan anaknya.

“Kenapa Mas?”

Hela napas Bima kentara, Ibu mengernyit seolah bingung apa gerangan yang sudah ganggu pikiran anaknya. Apakah sebab Rayyan yang terlalu banyak menuntut ingin ditemani ini itu sebagai rencana kegiatan mereka nanti? Atau Ayah yang tiba-tiba jadi melankolis dan banyak menangis?

“Ibu jangan marah ya, Mas cuma mau tanya aja.” Ibu mengangguk.

“Bu, selama ini Ibu tau kabar Chaki?” Kegiatan cuci piring Ibu telak tehenti, dari tempatnya duduk—di sudut meja makan, Bima bisa lihat airmuka Ibu menegang.

Semuanya terbaca.

“Ibu tau kabar Chaki tapi gak pernah kabarin Mas, Bu?” Ibu masih diam, perlahan biarkan aliran air bersihkan busa-busa di tangannya, keringkannya sebentar dan mendekati Bima.

Kursi dihadapannya ditarik Ibu perlahan, cokelat hangat yang sudah hilang kepul asapnya di dorong Ibu mendekati Bima. Isyarat untuknya minum, agar suasana hatinya sedikit baik dulu.

Setelah dirasa lumayan tenang, Bima lanjutkan ganjalan hatinya, “Chaki sering kesini? Ketemu Ibu, Ayah dan Rayyan, tapi gak pernah ada yang bilang ke aku, Bu?”

Barangkali sudah ada sepatah duapatah kata yang ingin Ibu ucapkan pada Bima, namun seolah semua kata itu tertelan saat lihat raut kelewat kecewa anaknya. Segala bentuk frustasi yang ditekan kuat untuk tak meledak.

“Bu... Ibu tau gimana aku selama ini bahkan sebelum aku mutusin untuk kuliah di luar negeri kan, Bu? Aku nyariin dia, aku kehilangan kontak sama dia dan semua keluarganya,” suara Bima agak serak saat bilang itu, hati Ibu jadi tercubit.

“Bu... aku disana tersiksa, sendirian. Gak ada Ibu, gak ada Ayah. Aku gak tau kabar Chaki sama sekali selama kuliah, sampai aku lulus dan kerja, aku gak tau kabarnya sama sekali. Selama ini aku gak tenang, aku mikirin dia terus-terusan. Apa dia baik-baik aja? Dia sehat atau sakit? Dia makan atau enggak? Dia....dia hidup atau enggak,” matanya berkaca-kaca, mengingat bagaimana hari-hari sulitnya ia lewati sendiri, dengan mimpi buruk, kebiasaan lembur, juga kurang tidur akibat banyak pikiran.

“Aku mati-matian berjuang disana, Bu... Tapi semua orang sembunyiin Chaki dari aku? Kenapa? Kenapa, Bu?”

Sumpah, Bima tak sekalipun berniat untuk buat Ibunya menangis karena dirinya, seumur hidupnya pun. Tak pernah terpikirkan bahwa di hari ia pulang kembali, bukannya bahagia, malah tangis sedu Ibu yang ia lihat kini.

“Mas... Mas liat Chaki? Ibu kira Mas semalem beneran minep di tempat Yosha karena... kata Mas—”

“Mas bohong, Bu. Mas bilang gitu karena Mas liat Chaki turun dari mobil bareng Hafiz disaat Mas udah di depan gerbang. Baru aja mau ajak Theo Yosha mampir, tapi gak jadi. Mas liat Ibu sambut Chaki seolah Ibu biasa ketemu dia setiap hari, jadi Mas suruh mereka berdua pulang tanpa pamit ke Ibu. Mas semalem minep di hotel dekat sini, Mas gak minep di rumah Theo, Bu.”

Bima tau ia kurang ajar, bukannya buat tangis Ibu reda, ia malah tambah buat bendungan itu runtuh tersapu arus air. Tapi ia tak sanggup tahan segala bentuk sesak yang mengganjal lagi.

“Kenapa Ibu sembunyiin semua ini dari Mas, Bu?”

Pertanyaan itu keluar juga, setelah penuhi otaknya semalaman tanpa mau biarkan ia tidur sama sekali. Ya, Bima tidak tidur sejak kali pertama ia lihat Chaki setelah lima tahun berlalu. Tak mampu buat matanya lelah meski sudah pandangi langit-langit kamar. Sengaja ia pulang ke rumah menjelang sore, sebab ingin pulang saat Chaki tidak ada di rumahnya. Ia hanya... tak tahu harus berbuat apa. Takut yang ia lakukan bukannya hal yang selama ini ia rasakan tapi hanya ungkapan kekecewaan, ia tak ingin rusak hati Chaki. Meski ia sendiri tak mampu gambarkan seberapa sakit tamparan kenyataan.

“Biar Chaki sendiri yang jelasin ke kamu, Mas. Ibu gak berhak, Ibu pikir mungkin ini waktunya Mas tau, Mas juga udah disini, kan?”

Kalimat Ibu itu buat pertanyaan lain kembali desak kepalanya. Ibu memberikannya kontak Chaki yang baru, juga alamat rumah sakit tempatnya melakukan koas serta alamat apartemen nya di daerah sini.

Bima beri Ibu pelukan hangat, meminta maaf karena sudah buat Ibu menangis sedang yang diberi kata maaf makin eratkan pelukan dan bilang bahwa beliau lebih dari mengerti bagaimana perasaan Bima.

Malam itu Bima habiskan waktu pandangi foto Chaki yang terpasang di profilnya, sebelum ia terlelap jemput mimpi.

Waktu ternyata sangat cepat berlalu, untuk mereka berdua.

oh, hei


“Chaki, ada yang nyariin kamu!”

Teriakan itu buat kegiatan Chaki teralihkan, ia sedang ngobrol seru dengan Naya—salah satu pasien kecilnya, di sebuah kursi tunggu, berdebat tentang mana yang lebih keren antara ayam dan bebek. Mereka berdua menoleh pada langkah kaki Alda yang tergopoh-gopoh, buat Chaki mengernyit, adakah sesuatu yang genting di saat jam makan siang begini?

“Kenapa, Al? Siapa yang cariin aku? Dokter Ratna butu—”

“Bukan, cowok, Cha yang nyariin.”

Kernyitan pada keningnya makin dalam, cowok? Siapa? Hafiz, kah? Kak Seno? Kak Saera? Atau mungkin... Abang?

“Kayaknya bukan yang ada dipikiranmu, deh. Soalnya aku gak kenal dia, kalau cowok-cowok temenmu yang lain sama kakakmu aku kenal,”

Lalu siapa? Kebingungan Chaki menjadi-jadi, sampai buat ujung jas putihnya ditarik-tarik Naya karena khawatir dokter kesayangannya sakit.

“Dokter kenapa? Dokter sakit? Kok mukanya lipet-lipet,” suara Naya yang cempreng tarik atensi Chaki lagi pada bocah enam tahun itu, ia tertawa sampai matanya hilang yang buat Naya ikut tertawa.

“Enggak kok, lagian mana ada muka kelipet-lipet, ah Naya becanda aja,” hidung mungil itu dijawilnya main-main, lalu dapat teriakan melengking juga tawa yang menyenangkan.

“Siapa ya, Al?”

Yang ditanya angkat bahu, “Oh iya, tadi katanya dia, kamu lucu waktu lagi main sama anak-anak, keliatan tambah cantik.”

Senyum menggoda Alda juga teriakan gemas dan iri di akhir kalimatnya buat semu merah samar merambati pipi Chaki. Kemudian ia di dorong menjauh agar segera menemui orang yang sudah menunggunya, katanya dekat bangku taman. Chaki baru mengiyakan setelah ia yakin sudah memberitahukan ini itu selama menitipkan Naya pada Alda. Berjalan menjauh dengan suara siul-siul Alda, juga Naya yang ikut-ikutan karena katanya sangat menyenangkan.

Siapa yang mencarinya, ya?


Mulanya ia pikir bahwa ia berhalusinasi, barangkali efek karena sejak pagi ia belum makan, sedang ia harus disibukkan dengan kegiatan rutinnya di stase anak. Sampai jam makan siang hampir lewat pun ia belum sempat sentuh nasi. Saat ia lihat tubuh bongsor familiar, dengan bahu lebar yang terlihat sangat kokoh, juga hidung bangir yang dari samping mirip sekali dengan—

“Hai,” mata Chaki hampir saja lompat keluar saat cowok dengan kemeja abu juga jeans robek di bagian lututnya itu menoleh ke arahnya.

Itu, dia.

“Kamu apa kabar?” “Kamu kurusan,” suasana sangat canggung sejak Chaki pilih duduk dibawah pohon rindang dekat taman, dengan sepotong roti yang cowok itu bawakan berada di pangkuannya. Mereka sama-sama membisu untuk sepuluh menit terakhir, dengan Chaki yang duduk tegap karena kaku, juga Bima yang sejak tadi sibuk menengok kesana kemari.

Sekalinya obrolan dibuka, mereka akan berebut dialog bicara, seperti tadi contohnya, itu sudah kali ketiga. Bingung, seperti tahu ingin melakukan apa, tapi tidak tahu harus bagaimana.

“Kamu dari kapan disini?” “Kamu belum makan rotinya.”

Lagi, ini kali keempat, lalu mereka tertawa seolah sadari kebodohan masing-masing.

“Dimakan dulu rotinya, kamu belum makan, kan?” suara setenang air itu kembali sapa pendengaran Chaki, ia mengangguk sekali sebelum menurut untuk segera makan rotinya.

Ia lapar, sumpah. Tapi ini benar-benar sangat canggung dan aneh, serius ini...kamu makan di depan orang yang baru pertama kali kamu temui setelah berpisah bertahun-tahun tanpa penjelasan? Yasudahlah, mau bagaimana lagi? Daripada kelaparan dan tak bisa makan sampai sore nanti.

“Kamu punya banyak waktu? Eh... gak banyak banget, mungkin tiga puluh menit untuk kita ngobrol?” Bima bertanya setelah Chaki selesai meneguk air dalam botol.

Jam dipergelangan tangan kirinya ia lihat, waktu istirahat tersisa 35 menit lagi. Masih punya waktu untuk mendengarkan apa gerangan yang ingin Bima bicarakan. Meski dalam hati ia sudah tahu pasti kemana arah obrolan ini.

Sungguh ia ingin tolak keras, sebab ia masih belum cukup siap. Secara fisik maupun mental, untuk bertemu dengan Bima dan menjelaskan semuanya. Dalam keadaan dia belum apa-apa, bukan siapa-siapa, dalam keadaan bahkan ia belum layak.

Hanya seorang mahasiswa kedokteran yang sedang tersaruk berjuang selama delapan belas bulan untuk koas. Bukan apa-apa. Ia merasa kecil jika harus duduk bersanding dengan Bima yang sudah jadi seperti apa yang ia impikan. Tentu Chaki tahu pasti siapa Bima sekarang ini.

Tapi hatinya menolak mengabaikan, entah kenapa ia jadi kehilangan kemampuan untuk menolak. Padahal jika konsulennya mulai minta tolong aneh-aneh, Chaki punya 1001 cara untuk menghindari marabahaya. Sekarang, ia mendadak jadi bodoh tak berdaya.

“Aku takut buang waktumu sia-sia, jadi kita persingkat semuanya. Apa alasan kamu?”

Mata cokelat madu itu telak menatap netra kelam milik Chaki, menatapnya dalam seolah menuntut pertanggungjawaban atas semua tingkah lakunya.

“Ibu gak kasih tau aku, aku yang liat kamu sendiri waktu kemarin malam kamu ke rumah diantar Hafiz,” mata Chaki kembali ingin lompat dari tempatnya sebab terlalu terkejut dengan ucapan Bima barusan.

Ini namanya mengantarkan diri sendiri ke dalam jurang, ia sendiri yang sudah melakukan kebodohan.

“Kamu, mau dengar alasan yang gimana? Aku takut alasanku gak cukup kuat untuk redam marahmu,” suara Chaki agak serak, sekuat mungkin ia tekan getaran tidak menyenangkan dalam hatinya.

“Tergantung, kamu bisa jelasin apa aja. Sisanya biar aku putusin, apa aku terima atau enggak,” Bima lirik ekpresi Chaki, ia bisa lihat si yang lebih mungil itu kelelahan, kantung matanya sudah menghitam, tapi ia sudah tak bisa menunggu waktu lagi untuk ini, “ceritain semuanya aja.”

Chaki mengangguk, putuskan untuk jelaskan apa yang jadi pertanyaan besar Bima. Ia mengerti, barangkali Bima sudah kelewat penasaran, sedang Chaki tidak punya cukup banyak waktu untuk berbasa-basi. Pertemuan pertama mereka setelah bertahun tak berjumpa mungkin harusnya bisa lebih baik lagi dari ini, tapi jika dilihat dari kegentingannya, apa boleh buat bukan?

“Aku sakit,”

Bima menoleh, mulai mendengarkan dengan khidmat.

“Hari dimana aku pamit ketemu Papa, hari terakhir aku nelfon kamu, itu mungkin hari terakhir aku—kalau gak selamat, hidup di dunia,”

Mata Bima membeliak, terkejut dengan faktanya.

“Aku...ngiris tanganku lagi, coba potong nadiku lagi, singkatnya aku coba bunuh diri, tanpa aku rencanain,” hela napas sebentar, Chaki agak berat kalau suruh ingat-ingat kejadian beberapa tahun silam, “aku habis ribut besar sama Papa, saat Papa nyuruh aku kuliah bisnis, ikut Abang. Sedangkan aku bersikukuh untuk kuliah kedokteran disini, supaya gak jauh kalau mau ke Mama, kalau mau ke Ibu, atau ke Papa. Tapi Papa gak terima, jadi kita berantem dan ya...terjadi begitu aja. Traumaku dan segala macamnya, kamu udah pernah liat sendiri kan? Dulu banget... dan kira-kira yang ini lebih parah lagi. Terus aku gak ingat apa-apa, kalau kata Papa sih aku sekarat,”

Chaki masih bisa tersenyum sedang Bima tergagap-gagap di posisinya.

“Singkatnya itu tahun terburuk dan terkelam dalam hidupku, aku bisa selamat untungnya. Tapi mental aku masih sakit. Aku sempat masuk rumah sakit jiwa dua bulan,”

Mulut Bima ternganga, seolah ini fakta paling gila dan mengejutkan yang pernah ia dengar.

“Dengar dulu cerita aku, yaa..” Chaki beri senyum seolah semua baik saja, lalu kembali bercerita, “bulan ketiga aku boleh pulang, tapi tetap harus bolak balik ke psikiater, ya gitu deh... aku depresi berat, katanya. Terus Papa sadar kalau selama ini beliau udah cukup nyakitin aku, beliau kemudian sadar dan ngundurin diri dari kerjaannya dan dilimpahin ke Om aku. Papa jual rumah dan aset-asetnya, beli rumah kecil dipinggiran kota yang masih sejuk dan asri. Terus Papa putuskan untuk buka toko kue, untuk aku. Supaya bisa salurin emosiku, karena aku bahagia waktu bisa bikin kue. Bunda bantuin aku, kita bangun toko kue nya bareng. Sekarang udah cukup besar, lho,”

Cengiran kelewat lebar dan nada bicara Chaki yang santai mau tak mau buat rasa khawatir Bima yang sudah membumbung tinggi perlahan menipis.

“Papa bolehin aku daftar fakultas kedokteran, Papa mulai ikutin maunya aku dan kasih semua kasih sayang juga perhatian yang belum pernah beliau berikan ke aku dalam porsi yang seharusnya. Aku perlahan sembuh, berkat usaha Papa, Bunda, Abang, Kak Saera, usahaku sendiri, juga keluarga kamu. Aku gak bisa jauh dari Ibu,”

Mata Chaki berbinar-binar, cantik sekali kalau terpantul sinar matahari siang ini.

“Dan ya... begitu, hari-hari aku selama gak ada kamu isinya cuma perjuangan aku untuk sembuh dan untuk berdiri di kaki sendiri, sambil aku berjuang untuk kuliah kedokteran juga. Semuanya bikin aku kuat, kuat dari dalam, bukan bangun beton di luar tapi dalam nya kosong. Aku benar-benar belajar merangkak dan berjalan lagi, kaya bayi. Makanya aku betah banget di stase anak ini, aku kaya lihat diri sendiri yang lagi berjuang untuk bisa lari,”

Ada tawa kecil terselip pada tiap-tiap bibir gemuk itu berhenti sejenak untuk lanjutkan cerita, dan itu lebih dari cukup untuk buat Bima lega.

“Yah...begitu, pokoknya. Aku ketemu Hafiz lagi, kita makin akrab lagi dan dia tau masalahku karena aku sering dijemput Papa untuk ke psikiater. Kalau Ibu, beliau tentu tau sejak awal karena aku butuh Ibu sama besar kaya aku butuh Papa dan Bunda. Awalnya Ibu nangis terus, gak mau lepasin aku,”

Chaki tertawa lagi.

“Dan untuk yang lain, Yosha, kecuali Theo, karena dia kuliah di luar kota, mereka sering liat aku dan tau juga apa yang terjadi sama aku, terus—”

“Kenapa aku doang yang gak dikasih tau?”

Nada Bima sarat kecewa, Chaki mengerti itu.

Handphone aku yang lama rusak sejak aku berantem sama Papa dan itu gak bersisa, dan alasan lainnya karena...karena aku gak mau ganggu kamu?”

Bima baru akan menjawab sebelum Chaki angkat tangannya isyarat Bima harus diam dulu.

“Aku tau gimana kamu, kalau kamu yang baru aja mutusin untuk melakukan langkah besar dengan pertimbangan panjang—kuliah ke luar ninggalin keluarga, apa yang akan kamu lakuin dan pikirin? Kamu si manusia yang gak pernah mikirin diri sendiri ini kalau aku kabarin kamu jadinya apa?”

Kebisuan Bima buat Chaki terkikik geli.

“Gakpapa, semua udah lewat juga. Sekarang semua baik-baik aja, jauh lebih baik dan berjalan normal. Aku perlahan udah bisa berdiri di kaki ku sendiri. Bisa ngelakuin hal-hal yang biasa orang lakuin, juga berani ngelakuin segala hal sendirian. Aku, udah baik.”

Chaki diam, katanya ceritanya selesai, begitu saja. Seolah semua cerita itu ia jalani tanpa beban juga tangis darah. Meski dalam kenyataan ia jalani semuanya dengan banyak tangisan juga kesulitan yang tak terjelaskan. Sungguh sulit keadaannya pada saat itu.

“Boleh aku peluk kamu?”

Pertanyaan Bima timbulkan keraguan Chaki, tapi saat lihat manik cokelat madu itu menatapnya dengan mata berkaca-kaca juga tatap memohon, Chaki bisa apa selain mengangguk?

Mereka dapat peluk hangat satu sama lain, berbagi peluk yang terasa sangat kaku tapi mereka rindukan. Peluk hangat yang terasa asing bersamaan terasa menenangkan. Peluk hangat juga tangisan yang mereka bagi sebab segala emosi yang tak bisa ditumpahkan bersamaan. Barangkali itu tangis haru atau mungkin bahagia?

“Kamu hebat, kamu udah sejauh ini. Kamu udah berjalan sejauh ini, kamu hebat, Cha. Aku bangga sama kamu, aku akan selalu dukung apapun yang kamu lakukan. Aku gak akan pernah bisa marah sama kamu. Aku ngerti, Cha.”

Sumpah, Chaki berjanji pada diri sendiri bahwa ia sudah tidak akan menangis lagi. Sebab tanpa menangispun kantung matanya sudah seperti zombie. Tapi Bima memang keterlaluan, setelah ini ia yakin bahwa matanya akan sulit melihat.

“Cha... aku kangen kamu, kangen banget. Cha, Bima... Bima yang ini kangen Chaki sampai rasanya mau mati,”

Siang itu tangis keduanya kembali pecah, dengan waktu tiga puluh lima menit yang berubah jadi empah puluh menit dan sebabkan Chaki harus terima omelan dari konsulennya karena telat.

Ada perasaan janggal juga bahagia, sebab mereka baru pertama kali bertemu sejak lama tidak berbagi kabar sama sekali. Tapi entah mengapa, kalau Bima orangnya semua terasa seperti teman lama yang sangat akrab. Semua punya jalurnya untuk mengalir begitu saja.

Hari itu Bima menunggunya selesai bertugas di satase anak. Duduk di bangku taman, sesekali berjalan-jalan, ke kantin, ke manapun selama masih bisa memerhatikan segala hal yang dilakukan Chaki.

Pertanyaan saat Bima antarnya pulang, sebelum ia sempat turun untuk masuk ke apartemennya;

“Cha, mau mulai semuanya dari awal lagi sama aku?”

Berhasil buat Chaki uring-uringan seharian, juga gemetar saat si sumber masalahnya meneleponnya di jam-jam sebelum tidur. Padahal semuanya masih kental kaku, masih takut untuk bertemu, juga jelaskan lebih lanjut. Tapi sekali lagi, ini adalah Bima, semua jadi mudah dan tidak berarti kalau ia sudah bersama si sumber kuatnya itu.

Chaki sadar, ia sama rindunya. Sedalam Bima rindu kehadirannya. Tapi, apa ia pantas bersama Bima sekarang?

stop laughing in my head


Sudah seminggu ini Jeongguk selalu dengar tawa yang sama di dalam kepalanya. Tapi itu bukan tawanya. Jeongguk sendiri penasaran, mengapa tawa itu bisa tiba-tiba terdengar dan hilang begitu saja.

Kadang di waktu-waktu tengah malam ketika dirinya ingin terlelap, tawa itu mendadak muncul. Pernah juga waktu itu, saat Jeongguk sedang sibuk kerjakan laporan dan makalahnya yang super banyak dan harus dikumpulkan dalam waktu bersamaan. Itu sukses buat otaknya serasa pecah. Dan tawa itu terdengar lagi, menambah peliknya pikiran dan emosi.

Sering Jeongguk berteriak sendiri, coba mengusir suara tawa yang memenuhi kepalanya, meski ia tahu itu akan berakhir sia-sia. Jeongguk pikir ia sudah gila.

Taehyung, teman sekelasnya, pernah bertanya apa sebab kantung mata Jeongguk bisa ada dua dan nampak jelek di wajahnya. Juga kuapan-kuapan yang sering Jeongguk lakukan kalau jam pagi kuliah mereka bahkan berlangsung belum sampai sepuluh menit. Merasa kalau mungkin saja Taehyung punya cara untuk buat masalahnya berkurang Jeongguk akhirnya cerita saat mereka sedang bertanding menggunkana stick PS.

Tidak ada satu hal pun yang Jeongguk tambah maupun kurang dari ceritanya dan yang ia dapat dari Taehyung adalah tepukan cukup keras di kepala belakangnya. Itu cukup menyakitkan kalau mau tahu. Teman sepergilaannya itu tanggapi ceritanya kelewat semangat dan berapi-api, bilang bahwa ia akhirnya bisa terkoneksi dengan soulmate-nya.

Oke, soulmate-nya, katanya.

Ya? Soulmate-nya?!

Tentu saja Jeongguk sanggah mentah-mentah. Sebab dari berbagai macam cara manis untuk bertemu atau terkoneksi dengan soulmate-mu, apa Jeongguk harus dapat dengan tawa tengah malam yang err... cukup mengerikan kalau boleh dibilang?

Untung saja Jeongguk itu orangnya pemberani dan berpikiran positif. Ia yakin, kalau itu Taehyung, pasti sudah lari terbirit-birit karena dengar suara tawa pukul dua pagi. Sedang di apartemen kamu hanya tinggal sendiri. Jadi, Jeongguk pikir apa bagusnya bertemu soulmate itu bukan?

Akhirnya Taehyung menyerah dan bilang kalau Jeongguk sama sekali tidak menghargai apa yang sudah ditakdirkan, karena hei... ini soulmate loh, orang yang akan habiskan hidup denganmu. Berbagi tugas untuk cuci dan menyapu, juga kegiatan beres-beres rumah lainnya. Orang yang akan kamu bagi uang hasil kerjamu juga akan beri kamu makan karena sudah kewajibannya.

Tapi Jeongguk rasa dia memang tak ingin bertemu soulmate-nya dengan cara ini, dia ada dendam tersendiri karena laporannya kemarin dapat D dari dosennya akibat telat dikumpulkan. Awas saja kalau ia bertemu soulmate-nya itu, mungkin ia akan marah dulu untuk pertama kali. Atau paling tidak minta ganti rugi dengan traktir main di game center dua hari berturut-turut. Jeongguk bisa pertimbangkan untuk maafkannya kalau seperti itu.

Ugh... sebenarnya tidak ingin bohong, tapi Jeongguk rasa seminggu ini ia agak kesepian. Bukan, bukan maksudnya itu sebab tawa yang katanya soulmate-nya itu sudah tidak pernah ia dengar lagi. Bukan juga karena ia tunggu-tunggu tawa itu ditengah malam sunyi saat ia sudah bersiap-siap sumpal telinganya dengan earphone saat sedang kerja tugas. Bukan juga karena sebenarnya tanpa sadar suara tawa itu sangat manis dan renyah sebab bisa antar Jeongguk jemput mimpi saat ia lewati malam-malam sulit tidurnya.

Sumpah, bukan kok.

Hanya saja ia heran, kemana ya si yang katanya soulmate-nya itu pergi? Agak aneh tak dengar tawanya seminggu ini di jam-jam kerja tugas juga jam tidurnya. Bagaimanapun Jeongguk itu sudah bisa adaptasi kalau tiba-tiba ada tawa mampir di kepalanya seperti biasa.

Pernah Taehyung tanya saat mereka kuliah pagi dan dosen mereka batalkan kelas dadakan, kenapa gerangan wajah Jeongguk murung?

Jeongguk rasa pertanyaan Taehyung aneh, sebab ia baik saja, sejak kemarin pun hari ini. Tapi Taehyung bersikeras kalau Jeongguk satu minggu ini terlihat seperti orang sekarat. Lalu Taehyung tanya apa ia masih dengar suara tawa soulmate-nya lagi? Jeongguk jawab jujur; tidak.

Lalu Taehyung tepuk bahunya keras (lagi), bilang kalau Jeongguk itu sedang rindu.

Tentu Taehyung dapat satu bogem mentah di perut dengan rasa nyeri-nyeri nikmat secara cuma-cuma, karena sudah berani bilang asal.

Mana mungkin Jeongguk rindu, kan?

Iya kan?

Benar kan?

Masa ia rindu pada orang yang tidak jelas siapa dan dimana keberadaannya? Juga kamu hanya bisa dengar tawanya di pagi buta. Itu agak aneh dan tidak masuk akal. Apa Taehyung habis makan makanan anjingnya kebanyakan lagi?

Serius, Jeongguk sudah akan lupa masalah per-soulmate-an ini, hanya karena ya... tidak begitu penting dan ia memang punya dendam kan dengan soulmate-nya. Ingat masalah tugas kemarin, bukan?

Sampai suatu hari, secara tidak sengaja, ketika Jeongguk sedang makan dengan khidmat bakso yang di dapat setelah lama antri bersama Taehyung, dia dengar suara tawa itu lagi. Namun kali ini bukan dari dalam kepalanya, Suaranya terdengar sangat nyata ditelinga, bukan samar-samar memenuhi kepala seperti biasa.

Dan Jeongguk melihatnya, cowok pirang yang matanya sedang hilang karena tertawa bahagia, entah karena apa. Ada di arah jam sembilan nya. Suara tawanya mirip sekali dengan yang biasa ia dengar dua minggu ini. Seringan kapas, juga manis saat tawa itu berderai-derai. Bedanya, suara tawa ini terdengar lebih panjang dan lebih bahagia.

Maka tanpa pikir panjang Jeongguk putuskan untuk datangi cowok itu dan beri peringatan padanya tentang aturan yang harus cowok itu tahu. Benar seperti itu kan yang harus ia katakan padanya? Bukan sebab ia rindu dan ingin bertanya karena sudah kelewat penasaran; hei, kemana aja kamu satu minggu ini? Kenapa kamu gak tertawa di dalam kepalaku lagi? Aku rindu asal kamu tahu!

Iya kan?

Maka yang selanjutnya Jeongguk katakan jadi tidak karuan, sebab ia kehabisan pilihan kata di waktu ia lihat wajah manis dengan kulit bersih dan bibir gemuk juga pipi mengembang yang, astaga... apa malaikat sekarang harus kuliah juga?

Jadi, kalimat; “Hei, tolong berhenti tertawa di kepalaku!” yang meluncur mulus dari bibirnya. Bodoh.

Jeongguk bisa lihat cowok pirang dan temannya itu terkejut dan berhenti bergurau.

“Maaf, apa kita saling kenal?”

Astaga! Kenapa suaranya imut sekali? Jeongguk jadi ingin lari karena sudah lakukan hal bodoh barusan, tapi mana mungkin, ini sudah terlanjur bukan? Jadi....

“Untungnya gak, aku cuma mau bilang berhenti tertawa di dalam kepalaku!” ia lanjutkan saja kebodohan ini.

Lalu Jeongguk pergi, meski tahu bahwa ia baru saja sia-siakan waktu padahal sudah bertemu soulmate-nya.

Tinggalkan banyak tanya dalam kepala cowok manis, juga sesal dalam hati karena harusnya ia bisa sapa pakai kalimat lebih baik, atau benar dia harus ajak kenalan dulu untuk minta traktir di game center. Itu soulmate-nya, loh!

Jeongguk bodoh. Ia terlalu gugup tadi.

Sialan sekali.

———

Fin

kaya chaki emang harus belajar buat sendiri dulu kak, dna berdiri di kaki sendiri kakak plis pahami maksud hatiku kaya setelah semuanya; masalah dia, dia selfharm, dia terlalu butuh bima, ketakutan dia gak bisa tanpa bima (itu yg ada di cerita yaa) dia emang harus bisa buat hadapin semua sendiri ketakutan dia, papa, nico, masalah hidup dia tanpa selfharm tanpa pengalihan lain (dari selfharm ke ketergantungan sama bima) bima emang perantara aja dan bima itu tipe kasih segalanya kalo dia sayang sama orang masalah nunggu dan lain hal gak masalah satu kurang dia; dia gak mentingin diri dia dan jadiin diri dia nomor sekian asal orang lain bahagia i mean mereka berdua sama sama cacat

iyaaa, malah aku mau bikin chaki kaya dapat sesuatu supaya dia bisa sadar kalo bima itu gak bisa dia tinggalin tp keknya melenceng jauh orang orang mandang chaki egois tanpa tau chaki tuh sebenernya selama ini gak pernah nemuin hal yg dia temuin dari bima jadi kek dia nerima aja karena selama ini dia kekurangan aku rada gak suka pada judge chaki butuh balasan chaki butuh ditinggalin bima i mean mereka judge dari chaki yg kugambarin tapi gatau aslinya dipikranku chaki emang rapuh bgt

chaki gamau ninggalin bima – chaki dasarnya dia masih punya rasa takut yg besar, gak ada bima yg nguatin, abangnya gak bisa nguatin karena gak cukup abangnya aja, chaki tetep butuh bima karena yg dia pikirin bima

nah aku mau bikin titik balik dimana selama masa penyembuhan itu papa chaki jadi sadar.

aku udah kepikiran sejak awal kalo pada akhirnya nico itu bakal bawa chaki tinggal sama dia emang, dengan atau tanpa permintaan papa pun nico mau bawa chaki jauh dr papa mereka. nico disana mapan, dia dpt beasiswa full, dia pinter bergaul, dia ikut lomba lomba dan dia kerja part time juga bantu project dosen bikin dia punya apart yg cukup buat dia nampung adeknya juga. itu kenapa nico hampir beberapa bulan di indo tuh ga ke papa dan milih tinggal di guest house karena dia juga punya duit

dengerin chaki, pa


Chaki pulang kerumah bersama Abang, mereka sampai tepat ketika jam makan malam. Papa menyambut mereka dengan anggukan, ada Bunda disebelahnya, memeluk mereka satu persatu dengan kehangatan yang masih belum bisa Chaki terima. Meski Bunda tidak pernah punya salah, hati Chaki sepenuhnya belum rela.

Malam itu tidak ada obrolan yang begitu berarti, selain karena mereka baru sampai dan kelelahan. Hari juga sudah terlalu larut untuk membahas hal yang sekiranya akan menguras tenaga jika sudah menyangkut Papa.

Sehingga mereka berakhir tidur di kamar masing-masing. Lantas Chaki sedang memaksakan diri, sebab sejujurnya, ia masih takut untuk tidur sendirian. Apalagi ini kamarnya, kamar yang menjadi saksi kelam bagaimana Chaki terluka dan berdarah. Bahkan, untuk menginjakkan kaki di rumah ini lagi pun perlu banyak pertimbangan juga tambahan keyakinan dari Abangnya.

Chaki tidur lewat tengah malam, membiarkan matanya lelah sendiri menatapi bintang-bintang yang menempel tidak teratur di langit-langit kamarnya. Meski ia sungguh takut pikiran-pikiran jahat dan putaran kejadian menyakitkan itu akan muncul, sebab tidur dalam ruang pengap penuh kenangan.


Papa marah, saat tahu bahwa Nico rupanya ambil cuti kuliah. Mereka sedang di sidang di ruang keluarga. Bunda di samping Papa sibuk menenangkan, sedang Chaki menunduk dalam saat lihat mata Papa penuh kilat bahaya.

Segala rasa kecewa Papa ditelan Nico bulat-bulat, sebab Papa berniat menitipkan Chaki untuk dijaganya di kampus nanti. Supaya bisa mengikuti jejaknya, tapi Nico malah beri contoh tak baik karena sudah menyia-nyiakan waktu dan biaya. Tanpa tahu bahwa Nico selama ini dapat beasiswa, juga bekerja, uang kiriman Papa ia simpan. Karena ia cuti maka beasiswanya di cabut, tapi ia punya cukup uang hasil kerja, tabungan juga uang sisa beasiswa. Ia sudah punya apartemen sendiri disana, juga memulai usaha kecil bersama teman-temannya. Jadi bukan masalah.

Papa tidak tahu, tentu. Nico tidak pernah bilang ke Papa sebab sudah sejak awal ia berniat untuk berada jauh dari rumah dan punya tempat untuk tinggal sendiri. Itu sebabnya ia berani bawa Chaki, ia ingin membawa adiknya pergi dari sini.

Semarah-marahnya Papa pada Abangnya, beliau tidak pernah main tangan. Chaki menyadari itu sejak dahulu, sejak mereka kecil. Merasa adiknya ketakutan, Nico menggenggam tangannya, coba beri ketenangan dan itu berhasil. Chaki tidak iri, sebab kini Chaki punya Abang untuk dirinya sendiri.

Tiba giliran Chaki bicara, hari sudah agak siang. Bunda mulai beranjak mengganti gelas-gelas minuman yang kosong, juga beri kalimat lembut agar marah Papa sedikit reda. Gemetaran, jantung Chaki berdetak dalam irama tidak karuan juga detak tak mengenakkan.

“Sudah diputuskan, Chaki tetap ikut Abang.”

Kalimat itu mutlak. Dikumandangkan dengan lantang juga seolah tak mengenal revisi lagi.

Tapi Chaki juga punya inginnya sendiri, ia tidak bisa terus menerus hidup seperti ini. Dengan jalan yang seolah ditakdirkan padahal dibuat dengan rencana dan tujuan.

“Chaki mau disini, Pa.”

Suara Chaki mengalun, begitu kecil, ia takut juga tak ingin dianggap durhaka terhadap orangtua. Chaki bisa lihat perubahan airmuka Papa, seperti ada bom waktu yang tak lama lagi akan meledak. Chaki sudah siap dengan risiko itu.

Psychiatrist, Chaki gak mau masuk ke bisnis. Chaki mau jadi psychiatrist, Pa,” Chaki bicara dengan gemetar, tahu mungkin agak sedikit sulit “tolong dengar Chaki, Pa sekali, aja.”

Hari itu Papa marah besar, lebih dari amarahnya pada Nico sebelumnya. Pertengkaran dan sumpah serapah kembali terdengar. Chaki bisa rasakan setiap tusukan pada bilah tajam ucapan Papa di dadanya, menghunus tepat ke jantung saat Papa bilang ia tak akan dianggap anak lagi jika berani menentang.

Bunda dan Abang sudah mencoba meredakan amarah Papa. Tapi beliau tetap teguh pada pendirian, tanpa mau dengar apa penjelasan Chaki. Seolah tutup mata dengan ingin anaknya, maunya adalah sebuah keharusan. Dan itu tetap tidak berubah, sangat memuakkan.

Chaki memang memprediksi bahwa hal ini akan terjadi. Tapi tetap tidak siap oleh segala caci menyakiti hati. Seolah semua benteng pertahanan yang coba Bima buat untuknya, juga ia bangun untuk dirinya sendiri, luluh lantah tak bersisa. Tanpa perlawanan. Sia-sia.

Kali ini marah dan kecewa Chaki berada pada ambang batas. Ini titik nya, disini akhirnya. Salahkah jika Chaki ingin hidup atas maunya sendiri? Ia ingin berdiri diatas kakinya sendiri. Lelah berpegang pada kesemuan. Juga bangun benteng pertahanan diatas air. Chaki ingin dan harus bisa menghadapi masalahnya sendiri. Bertopang dan mempercayai dirinya lebih dari apapun. Chaki ingin seperti itu, sebab pada akhirnya hanya diri sendiri yang mampu menolong kita nantinya. Bukan Papa, bukan Abang, Bima, atau siapapun.

Hanya ingin seperti orang lain yang mampu hadapi masalah juga ketakutannya sendiri, apakah Chaki tak bisa?

Ketidaksanggupannya mendengar segala caci maki buat Chaki pergi ke kamarnya. Barangkali memang ini jalan satu-satunya yang harus ia lakukan, ia tak diberi pilihan lain. Kembali ia mengemasi baju-bajunya yang masih tersisa di rumah ini, ia ingin pergi saja dan mungkin tak akan pernah kembali. Papa sudah tak ingin anggapnya anak bukan?

Karena Chaki benar tak ingin meninggalkan tanah kelahirannya, Chaki tak ingin jauh dari Mama, dari Ibu, dan dari Papa—sesungguhnya. Chaki butuh mereka sebagai penopang juga semangat untuk hidup. Namun Papa seperti tak berpikir demikian, jadi untuk apalagi Chaki disini?


Saat sibuk mengemasi pakaian dan barangnya ke dalam koper, Chaki tak sengaja melihat foto dirinya dan Mama sedang tersenyum di balik kaca yang terbingkai apik. Nampak sangat bahagia di foto itu, barangkali umurnya masih menginjak empat tahun. Seiingatnya itu hari dimana ia dibelikan sepeda roda tiga oleh Papa, di dorong keliling komplek sore hari setelah mandi dengan bedak yang bertabur tak merata pada wajah juga bau minyak telon yang enak. Ah... itu masa kecil umumnya, tapi sepertinya hanya itu kenangan indah yang ia punya bersama Papa.

Di sebelahnya ada foto keluarga, lengkap, Papa‐Mama-Abang-dirinya. Diambil pada saat Abang lulus sekolah dasar. Setelah itu, perang dingin dimulai tanpa aba-aba juga taktik dan rencana. Semua berubah dalam hitungan tahun, Chaki tak pernah mengerti apa sebabnya keluarga mereka harus seperti ini. Andai... andai ia pandai sekali, mungkin tak akan pernah jadi seperti ini, bukan?

Chaki semakin membenci ketidakmampuannya, bahkan hanya untuk sekedar berdiri diatas kakinya sendiri. Bahkan hanya untuk ungkap inginnya, ia tak mampu sampaikan.

Tanpa bisa ia cegah semua kenangan terputar di otaknya. Menari-menari, seolah menertawai segala kisahnya dulu, kenangan baik pun kenangan terburuk saling berebut memproyeksi betapa menyedihkan hidupnya yang sia-sia ini.

Dari segalanya, kenangan terburuk dari yang paling buruk adalah saat dimana saat itu mereka baru tahu kalau Mama punya sakit jantung yang kronis.

Rasanya sangat sesak, ia mengingat dengan jelas bagaimana Mama terjatuh di depannya setelah ia bertengkar hebat dengan Papa seperti kejadian tadi. Setelah itu Mama terbaring koma dan pergi meninggalkan mereka, tanpa beri petunjuk apapun. Tanpa sempat Chaki buat beliau bangga, bukan malah luka juga siksa.

Itu hari yang paling Chaki benci dari seluruh kebenciannya selama ini pada hidup.

Hari dimana Chaki punya trauma mendalam, trauma sebab ia seolah lihat Mama mati di hadapannya tanpa bisa buat apa-apa. Trauma yang buat ia ketakutan untuk bertemu orang lain. Trauma yang buat ia tak suka rumah sakit. Trauma yang buat Chaki sampai seperti sekarang. Sebab ia menyaksikan bagaimana Mamanya tersiksa dan mati sia-sia untuk membela seorang yang jelas tak berdaya, juga merupakan pembunuh, dirinya.

Chaki pembunuh.

Kalimat itu terus berputar, memenuhi kepala juga kamarnya.

Chaki bunuh Mama, seorang pembunuh.

Kepalanya pening, telinganya berdengung-dengung sebab suara itu makin merampas warasnya.

Chaki menangis, berteriak dan kembali mengusir suara-suara itu. Rambutnya ia acak-acak, pelampiasan rasa frustasi tak tersalurkan. Matanya tak sengaja melihat vas bunga di atas meja, tanpa pikir panjang diambilnya dengan kasar lalu dipecahkan.

Ia kalah, pada ketakutan.

Ia kalah, pada kesendirian.

Ia kalah, pada masalah yang tak bertepian.

Chaki kembali lakukan hal yang sudah ia sumpah bahwa tak akan ulangi lagi, hal yang ia janjikan pada Bima untuk ia tinggalkan, juga pada dirinya sendiri untuk berhenti.

Butuh, ia butuh ini. Belum, Chaki belum sembuh dengan utuh-penuh.

Ia kembali lagi, coba gores luka pada tubuh. Coba putus urat nadi sebelah kiri. Ini terasa sakit dan pilu, sebab pecah beling lebih tebal daripada pisau cutter, sakitnya sangat terasa juga darah yang perlahan merembes. Chaki masih suka rasanya. Sangat menyukainya, rasanya benar-benar lega juga sedikit... bahagia? Seperti itu jika ia sudah berhasil lukai dirinya, ia merasa bahagia, bahagia yang semu, bahagia yang ragu.

Tak berselang lama Papa datang ke kamar, niatnya ingin memeriksa dan memarahi kembali sebab Chaki dengan tidak sopannya meninggalkan beliau tanpa sepatah kata. Maka saat buka pintu kamar Chaki, Papa tak bisa tutupi keterkejutan dan paniknya. Anaknya, anaknya sendiri sedang menggores pergelangan tangannya dalam-dalam menggunakan kaca.

Teriakan Papa untuk menghentikan Chaki tak di gubris, saat di dekati pun Chaki marah.

Papa lihat Chaki hampir sekarat, wajahnya pucat tapi tak sekalipun ia biarkan Papa mendekat. Ia terus berteriak seperti warasnya sudah diambil sepenuhnya. Darah dimana-mana. Juga luka sayat dari betis sampai ke paha.

Ini gila.

“Jangan dekatin Chaki!” Papa terkesiap, belum pernah seumur hidupnya beliau dengar Chaki berteriak seperti ini.

“Chaki ini anak yang gak berguna, Pa!” lalu isakan pilu mulai terdengar lagi, airmata yang sudah kering itu diterobos lagi oleh air yang terjun dari pelupuk mata Chaki,

“Chaki anak yang gak bisa banggain Papa, kan Pa? Papa cuma bisa bangga sama Abang kan, Pa? Chaki malu-maluin keluarga, kan?” Chaki menepuk dadanya kuat, sakitnya disana, sesak, ingin meledakkan berbagai emosi tapi bagaimana caranya? Ini sakit sekali. Sumpah.

Papa menangis, seolah ada petir yang baru saja meruntuhkan dunia utuh diatas kepalanya. Ini...ini menamparnya telak.

“Chaki udah bunuh Mama, Papa. Chaki juga udah bukan anak Papa...” kalimat itu begitu menyakiti hati siapapun yang mendengarnya, nadanya putus asa, penuh kepiluan, juga tanpa asa. Seolah Chaki pasrah, ia menyerah pada dunia ini. Memang sejak awal dunia sudah tak memihaknya bukan?

Pikiran Papa kalut, pertanyaan tentang mengapa? Bagaiamana bisa? Seakan buat kepalanya pecah. Ia tidak pernah menyangka barang sekali, Chaki, Chaki anaknya, tidak dalam keadaan baik-baik aja. Jauh dari kata baik-baik saja. Chaki sakit dan ini sudah berada pada tingkat mengkhawatirkan. Chaki yang penurut itu, Chaki anaknya yang selalu tunduk apa maunya, mengapa bisa seperti ini, mengapa bisa ia berani berusaha mengiris tangannya sendiri?

Seberapa sering Chaki melakukan ini?

Apa yang tidak ia ketahui?

Bagaimana hidup Chaki selama ini?

Apa yang sudah ia lakukan pada anak kandungnya sendiri?

Apa ini...ini...ia sudah bunuh anaknya tanpa ia sadari?

Kemudian Papa nekat dekati Chaki lagi, dengan seluruh tenaganya beliau berhasil buang pecahan kaca dari genggam erat Chaki, tangannya ikut tergores tapi ia hiraukan. Ditatapnya dalam, meski tertutup genangan, Chaki dalam gendongannya lemah, memucat dengan darah yang tak henti mengalir dari pergelangan tangan.

Papa menangis berlari. Kalut. Buru-buru menuju rumah sakit sebelum Chaki kehabisan darah, ditemani teriakan panik Bunda juga pecah tangis Nico.

“Maafkan Papa, Nak.”

Hari itu, semua diluar rencana dan kendali. Bukan ini yang diingini Chaki, tapi apa memang sudah takdirnya seperti ini?

Satu fakta terabaikan baru saja terbuka; Chaki belum sembuh.

katanya hati sih gitu


Atap asrama jadi saksi bisu bagaimana Chaki terseyum sangat manis sambil merentangkan tangan lebar-lebar sebelum berlari dan menabrakan diri pada Bima yang terkejut ditempatnya.

“Suka banget. Kok tau ada tempat gini di asrama?”

Setelah menangkap tubuh yang lebih kecil, ia membawanya duduk menghadap kerlip lampu kota dan bangunan-bangunan yang terlihat kecil. Suara-suara klakson kendaraan terdengar jauh bersahutan. Disini nyaman. Lumayan tenang.

“Apa sih yang kamu tau?”

Meski tahu bahwa pertanyaan itu hanya main-main sebab nada yang Bima gunakan juga begitu menyebalkan, Chaki tetap saja pilih pura-pura marah dengan mendengus dan memukul lengan Bima.

Sore tadi ia sampai, pulang lewat tengah hari selepas makan siang. Ibu tak membolehkannya pergi dengan perut kosong. Berbekal tekad kuat, juga bagaimana pesan Bima yang sudah-sudah jika ia ada di tempat umum juga sendirian. Chaki jadi berani. Duduk di dalam bus selama dua jam, membawa sekotak cupcake buatannya dan Ibu pagi tadi, untuk diberinya pada Bima.

Belum pernah Chaki merasa menang untuk dirinya sendiri seperti ini, hanya karena ia berhasil mengatasi panik dan takutnya berada di keramaian tempat asing. Berada di dalam bus sendirian, tanpa siapapun, membuat Chaki merasakan kemenangan lebih dari sekedar medali emas atau juara kelas yang pernah ia dapatkan. Kemenangan atas diri sendiri, lebih dari apa yang tak mampu digambarkan.

Dan Chaki ingin merasakan kemenangan ini lagi, lebih sering, lebih lama. Ingin memenangkan dirinya sendiri. Berdiri sendiri.

Tidak banyak yang mereka lakukan saat Chaki sampai asrama. Bima menyambutnya dengan wajah sesedih mungkin juga peluk yang tak mau lepas. Lalu mereka makan malam, sebab Bima bilang ia tak selera makan sejak pagi karena tak ada Chaki. Kemudian menikmati cupcake yang dapat pujian lagi karena rasanya lezat.

Ketimbang menyinggung soal janji mereka untuk mengobrol, Bima lebih memilih menyeret Chaki langsung ke lantai 5 asrama dan menuju atap. Ia sering kemari dengan Pablo kalau sedang pusing dan takut mengganggu roommate nya yang dulu.


“Sini, jauh banget duduknya.”

Sibuk nikmati semilir angin yang menampar lembut, serta langit kelam membentang tanpa bintang—barangkali terutup polusi cahaya, Bima baru sadar bahwa duduk mereka sudah berjarak saat hela napas berat Chaki terdengar.

Menggeleng, Chaki eratkan sweater kebesarannya lalu ia geser lagi duduknya agak jauh.

“Kenapa sih, Yam? Aku udah mandi ini wangi,”

Chaki sentuh dadanya sendiri, kemudian dia diam.

“Jantung Chaki mau meledak, Bima,” hembusan napas berat ia keluarkan lagi.

Bima mana sanggup menahan gemas? Tawa jadi menguar, menembus sayup bising suara klakson kendaraan dibawah mereka. Ditariknya tubuh yang lebih kecil mendekat kemudian ia peluk erat sambil tempelkan telinganya di dada.

“Ya ampun, Cha. Kayanya ada bom ya di dalam sini?” suara Bima cukup meyakinkan untuk terkejut yang dibuat-buat. Punggung tak berdosanya jadi sasaran pukul Chaki.

“Chaki serius ini deg-degan banget, coba liat nih tangan Chaki keringatan,” telapak gempal dan mungil itu dijulurkan kedepan, Bima lihat sebentar lalu genggam tanpa buang kesempatan.

“Bukan pengumuman lomba kok, santai aja. Nih aku juga sama deg-degan juga,” saat telapak itu Bima bawa menempel pada dadanya, Chaki terkikik.

Tanpa menjawab apapun, ia tarik tangannya lalu bawa duduknya menghadap Bima penuh. Senyum Chaki cukup gambarkan bahwa ia sudah lebih tenang karena Bima punya detak jantung sama cepat dengan miliknya saat ini.

“Ayo ngomong,”

Bima berdeham sebentar, tatap polos yang sama kelam dengan langit malam itu membuatnya bisu. Sial, sekarang ia yang jadi super gugup. Padahal kemarin uring-uringan sendiri karena tak bisa ungkapkan ini dengan benar.

Tanpa Bima ungkapkan lagi pun sesungguhnya Chaki sudah tahu, bagaimana perasaan Bima padanya. Pernyataan Bima di pantai, juga video itu. Jika boleh jujur, sejak sampai asrama Chaki berusaha mati-matian untuk bersikap biasa saja di hadapan Bima. Ia—

“Aku suka kamu, Cha,”

Skakmat!

Mata Chaki melebar. Empat kata itu sukses mengehentikan kinerja jantungnya tanpa ampun. Sumpah ia sudah mempersiapkan ini, tapi mengapa mendengarnya secara langsung dan gamblang membuat Chaki jantungan.

Bima diam sebentar, barangkali mencari kalimat yang pas tanpa tahu bahwa yang diajaknya bicara sejak tapi belum bernapas, “...gitu aja. Aku gak pintar ngomong ginian, Cha, gak romantis sa—”

“Chaki ambil napas dulu. Jangan dilanjutin, Chaki tau, Chaki ngerti,”

Bibir Bima ditahan dengan telunjuk mungilnya. Bima tersenyum saat ia ambil napas dalam-dalam, lucu sekali.

Setelah napasnya mulai teratur dan jemari gempal itu menyingkir, Chaki mengangguk, seolah berkata Bima bisa melanjutkan yang tadi.

“Giliran kamu, aku udah selesai. Kamu juga udah ngerti kan pasti?”

Menabahkan hatinya kembali, memupuk keyakinan, Chaki hela napas kecil. Tatapnya jadi sendu, tapi buru-buru ditutupi.

“Sebelum aku jawab, aku mau nanya dulu, boleh?”

Sebuah kata ya, jadi jawaban.

“Bima, mau ya Bima ambil tawaran itu?”

Airmuka Bima berubah terkejut, tak menyangka bahwa topik ini akan dibawa-bawa Chaki kembali, pada saat harusnya mereka saling ungkap perasaan. Alih-alih layangkan protes, senyum diberikannya, kemudian berkata bahwa ia tidak bisa, tanpa mengurangi kelembutan di setiap tuturnya.

Sesak rasanya.

“Bima harus egois, Bim. Sekali aja, demi diri Bima sendiri, ya?”

Diamnya Bima seolah membiarkan Chaki melanjutkan isi hatinya. Mati-matian menahan tangisan.

“Gak papa Bima, gak papa. Biar aku yang disini, aku yang gantiin kamu jagain Ibu, Ayah sama Rayyan,”

Mata Bima kian menerawang, kemudian ditatapnya kedua manik tertutup genang air itu, coba cari tahu apa tujuannya. Tapi yang ada hanya keteguhan juga keyakinan.

“Chaki minta tolong, dengerin Chaki. Bima harus bisa bikin diri Bima gak menyesal, tolong dengerin mau hatinya Bima,”

Hening.

Sudah cukup. Sudah tak kuat lagi ia tahan air yang memupuk di matanya. Chaki menangis, meski bibirnya bicara.

“Chaki juga suka sama Bima, sayang Bima dalam artian lebih dari teman,” bibir bawahnya Chaki gigit, mengurangi sesegukan, “...katanya hatiku sih, gitu.”

Dekap hangat Bima beri, terkejut sebab Chaki memecah tangis mendadak. Kejujuran Chaki buat perasaannya hangat. Menyusupi pelan-pelan relung hati, juga rasa penuh-utuh menyelimuti.

Begini ya rasanya bersambut?

Tapi alih-alih rasa senang dan lega, kini malah banyak pertanyaan yang mampir di otaknya. Mengganjal tidak nyaman, memikirkan permohonan Chaki barusan.

Seharusnya malam ini Bima mampu dekap-erat sumber bahagianya, sebab perasaan mereka masing-masing sama. Harusnya bukan rasa sesak-kosong juga kebimbangan yang melingkupi.

Bima ragu, apa sebenarnya mau hati?

Sedang dalam diam, tangis Chaki makin deras juga menyakitkan. Apakah ia sudah gagal? Bagaimana ia bisa dengan kurang ajar mencecap bahagia jika ia saja belum pantas menerimanya.

Chaki sadar, ia belum pantas bukan?