dengerin chaki, pa
Chaki pulang kerumah bersama Abang, mereka sampai tepat ketika jam makan malam. Papa menyambut mereka dengan anggukan, ada Bunda disebelahnya, memeluk mereka satu persatu dengan kehangatan yang masih belum bisa Chaki terima. Meski Bunda tidak pernah punya salah, hati Chaki sepenuhnya belum rela.
Malam itu tidak ada obrolan yang begitu berarti, selain karena mereka baru sampai dan kelelahan. Hari juga sudah terlalu larut untuk membahas hal yang sekiranya akan menguras tenaga jika sudah menyangkut Papa.
Sehingga mereka berakhir tidur di kamar masing-masing. Lantas Chaki sedang memaksakan diri, sebab sejujurnya, ia masih takut untuk tidur sendirian. Apalagi ini kamarnya, kamar yang menjadi saksi kelam bagaimana Chaki terluka dan berdarah. Bahkan, untuk menginjakkan kaki di rumah ini lagi pun perlu banyak pertimbangan juga tambahan keyakinan dari Abangnya.
Chaki tidur lewat tengah malam, membiarkan matanya lelah sendiri menatapi bintang-bintang yang menempel tidak teratur di langit-langit kamarnya. Meski ia sungguh takut pikiran-pikiran jahat dan putaran kejadian menyakitkan itu akan muncul, sebab tidur dalam ruang pengap penuh kenangan.
Papa marah, saat tahu bahwa Nico rupanya ambil cuti kuliah. Mereka sedang di sidang di ruang keluarga. Bunda di samping Papa sibuk menenangkan, sedang Chaki menunduk dalam saat lihat mata Papa penuh kilat bahaya.
Segala rasa kecewa Papa ditelan Nico bulat-bulat, sebab Papa berniat menitipkan Chaki untuk dijaganya di kampus nanti. Supaya bisa mengikuti jejaknya, tapi Nico malah beri contoh tak baik karena sudah menyia-nyiakan waktu dan biaya. Tanpa tahu bahwa Nico selama ini dapat beasiswa, juga bekerja, uang kiriman Papa ia simpan. Karena ia cuti maka beasiswanya di cabut, tapi ia punya cukup uang hasil kerja, tabungan juga uang sisa beasiswa. Ia sudah punya apartemen sendiri disana, juga memulai usaha kecil bersama teman-temannya. Jadi bukan masalah.
Papa tidak tahu, tentu. Nico tidak pernah bilang ke Papa sebab sudah sejak awal ia berniat untuk berada jauh dari rumah dan punya tempat untuk tinggal sendiri. Itu sebabnya ia berani bawa Chaki, ia ingin membawa adiknya pergi dari sini.
Semarah-marahnya Papa pada Abangnya, beliau tidak pernah main tangan. Chaki menyadari itu sejak dahulu, sejak mereka kecil. Merasa adiknya ketakutan, Nico menggenggam tangannya, coba beri ketenangan dan itu berhasil. Chaki tidak iri, sebab kini Chaki punya Abang untuk dirinya sendiri.
Tiba giliran Chaki bicara, hari sudah agak siang. Bunda mulai beranjak mengganti gelas-gelas minuman yang kosong, juga beri kalimat lembut agar marah Papa sedikit reda. Gemetaran, jantung Chaki berdetak dalam irama tidak karuan juga detak tak mengenakkan.
“Sudah diputuskan, Chaki tetap ikut Abang.”
Kalimat itu mutlak. Dikumandangkan dengan lantang juga seolah tak mengenal revisi lagi.
Tapi Chaki juga punya inginnya sendiri, ia tidak bisa terus menerus hidup seperti ini. Dengan jalan yang seolah ditakdirkan padahal dibuat dengan rencana dan tujuan.
“Chaki mau disini, Pa.”
Suara Chaki mengalun, begitu kecil, ia takut juga tak ingin dianggap durhaka terhadap orangtua. Chaki bisa lihat perubahan airmuka Papa, seperti ada bom waktu yang tak lama lagi akan meledak. Chaki sudah siap dengan risiko itu.
“Psychiatrist, Chaki gak mau masuk ke bisnis. Chaki mau jadi psychiatrist, Pa,” Chaki bicara dengan gemetar, tahu mungkin agak sedikit sulit “tolong dengar Chaki, Pa sekali, aja.”
Hari itu Papa marah besar, lebih dari amarahnya pada Nico sebelumnya. Pertengkaran dan sumpah serapah kembali terdengar. Chaki bisa rasakan setiap tusukan pada bilah tajam ucapan Papa di dadanya, menghunus tepat ke jantung saat Papa bilang ia tak akan dianggap anak lagi jika berani menentang.
Bunda dan Abang sudah mencoba meredakan amarah Papa. Tapi beliau tetap teguh pada pendirian, tanpa mau dengar apa penjelasan Chaki. Seolah tutup mata dengan ingin anaknya, maunya adalah sebuah keharusan. Dan itu tetap tidak berubah, sangat memuakkan.
Chaki memang memprediksi bahwa hal ini akan terjadi. Tapi tetap tidak siap oleh segala caci menyakiti hati. Seolah semua benteng pertahanan yang coba Bima buat untuknya, juga ia bangun untuk dirinya sendiri, luluh lantah tak bersisa. Tanpa perlawanan. Sia-sia.
Kali ini marah dan kecewa Chaki berada pada ambang batas. Ini titik nya, disini akhirnya. Salahkah jika Chaki ingin hidup atas maunya sendiri? Ia ingin berdiri diatas kakinya sendiri. Lelah berpegang pada kesemuan. Juga bangun benteng pertahanan diatas air. Chaki ingin dan harus bisa menghadapi masalahnya sendiri. Bertopang dan mempercayai dirinya lebih dari apapun. Chaki ingin seperti itu, sebab pada akhirnya hanya diri sendiri yang mampu menolong kita nantinya. Bukan Papa, bukan Abang, Bima, atau siapapun.
Hanya ingin seperti orang lain yang mampu hadapi masalah juga ketakutannya sendiri, apakah Chaki tak bisa?
Ketidaksanggupannya mendengar segala caci maki buat Chaki pergi ke kamarnya. Barangkali memang ini jalan satu-satunya yang harus ia lakukan, ia tak diberi pilihan lain. Kembali ia mengemasi baju-bajunya yang masih tersisa di rumah ini, ia ingin pergi saja dan mungkin tak akan pernah kembali. Papa sudah tak ingin anggapnya anak bukan?
Karena Chaki benar tak ingin meninggalkan tanah kelahirannya, Chaki tak ingin jauh dari Mama, dari Ibu, dan dari Papa—sesungguhnya. Chaki butuh mereka sebagai penopang juga semangat untuk hidup. Namun Papa seperti tak berpikir demikian, jadi untuk apalagi Chaki disini?
Saat sibuk mengemasi pakaian dan barangnya ke dalam koper, Chaki tak sengaja melihat foto dirinya dan Mama sedang tersenyum di balik kaca yang terbingkai apik. Nampak sangat bahagia di foto itu, barangkali umurnya masih menginjak empat tahun. Seiingatnya itu hari dimana ia dibelikan sepeda roda tiga oleh Papa, di dorong keliling komplek sore hari setelah mandi dengan bedak yang bertabur tak merata pada wajah juga bau minyak telon yang enak. Ah... itu masa kecil umumnya, tapi sepertinya hanya itu kenangan indah yang ia punya bersama Papa.
Di sebelahnya ada foto keluarga, lengkap, Papa‐Mama-Abang-dirinya. Diambil pada saat Abang lulus sekolah dasar. Setelah itu, perang dingin dimulai tanpa aba-aba juga taktik dan rencana. Semua berubah dalam hitungan tahun, Chaki tak pernah mengerti apa sebabnya keluarga mereka harus seperti ini. Andai... andai ia pandai sekali, mungkin tak akan pernah jadi seperti ini, bukan?
Chaki semakin membenci ketidakmampuannya, bahkan hanya untuk sekedar berdiri diatas kakinya sendiri. Bahkan hanya untuk ungkap inginnya, ia tak mampu sampaikan.
Tanpa bisa ia cegah semua kenangan terputar di otaknya. Menari-menari, seolah menertawai segala kisahnya dulu, kenangan baik pun kenangan terburuk saling berebut memproyeksi betapa menyedihkan hidupnya yang sia-sia ini.
Dari segalanya, kenangan terburuk dari yang paling buruk adalah saat dimana saat itu mereka baru tahu kalau Mama punya sakit jantung yang kronis.
Rasanya sangat sesak, ia mengingat dengan jelas bagaimana Mama terjatuh di depannya setelah ia bertengkar hebat dengan Papa seperti kejadian tadi. Setelah itu Mama terbaring koma dan pergi meninggalkan mereka, tanpa beri petunjuk apapun. Tanpa sempat Chaki buat beliau bangga, bukan malah luka juga siksa.
Itu hari yang paling Chaki benci dari seluruh kebenciannya selama ini pada hidup.
Hari dimana Chaki punya trauma mendalam, trauma sebab ia seolah lihat Mama mati di hadapannya tanpa bisa buat apa-apa. Trauma yang buat ia ketakutan untuk bertemu orang lain. Trauma yang buat ia tak suka rumah sakit. Trauma yang buat Chaki sampai seperti sekarang. Sebab ia menyaksikan bagaimana Mamanya tersiksa dan mati sia-sia untuk membela seorang yang jelas tak berdaya, juga merupakan pembunuh, dirinya.
Chaki pembunuh.
Kalimat itu terus berputar, memenuhi kepala juga kamarnya.
Chaki bunuh Mama, seorang pembunuh.
Kepalanya pening, telinganya berdengung-dengung sebab suara itu makin merampas warasnya.
Chaki menangis, berteriak dan kembali mengusir suara-suara itu. Rambutnya ia acak-acak, pelampiasan rasa frustasi tak tersalurkan. Matanya tak sengaja melihat vas bunga di atas meja, tanpa pikir panjang diambilnya dengan kasar lalu dipecahkan.
Ia kalah, pada ketakutan.
Ia kalah, pada kesendirian.
Ia kalah, pada masalah yang tak bertepian.
Chaki kembali lakukan hal yang sudah ia sumpah bahwa tak akan ulangi lagi, hal yang ia janjikan pada Bima untuk ia tinggalkan, juga pada dirinya sendiri untuk berhenti.
Butuh, ia butuh ini. Belum, Chaki belum sembuh dengan utuh-penuh.
Ia kembali lagi, coba gores luka pada tubuh. Coba putus urat nadi sebelah kiri. Ini terasa sakit dan pilu, sebab pecah beling lebih tebal daripada pisau cutter, sakitnya sangat terasa juga darah yang perlahan merembes. Chaki masih suka rasanya. Sangat menyukainya, rasanya benar-benar lega juga sedikit... bahagia? Seperti itu jika ia sudah berhasil lukai dirinya, ia merasa bahagia, bahagia yang semu, bahagia yang ragu.
Tak berselang lama Papa datang ke kamar, niatnya ingin memeriksa dan memarahi kembali sebab Chaki dengan tidak sopannya meninggalkan beliau tanpa sepatah kata. Maka saat buka pintu kamar Chaki, Papa tak bisa tutupi keterkejutan dan paniknya. Anaknya, anaknya sendiri sedang menggores pergelangan tangannya dalam-dalam menggunakan kaca.
Teriakan Papa untuk menghentikan Chaki tak di gubris, saat di dekati pun Chaki marah.
Papa lihat Chaki hampir sekarat, wajahnya pucat tapi tak sekalipun ia biarkan Papa mendekat. Ia terus berteriak seperti warasnya sudah diambil sepenuhnya. Darah dimana-mana. Juga luka sayat dari betis sampai ke paha.
Ini gila.
“Jangan dekatin Chaki!” Papa terkesiap, belum pernah seumur hidupnya beliau dengar Chaki berteriak seperti ini.
“Chaki ini anak yang gak berguna, Pa!” lalu isakan pilu mulai terdengar lagi, airmata yang sudah kering itu diterobos lagi oleh air yang terjun dari pelupuk mata Chaki,
“Chaki anak yang gak bisa banggain Papa, kan Pa? Papa cuma bisa bangga sama Abang kan, Pa? Chaki malu-maluin keluarga, kan?” Chaki menepuk dadanya kuat, sakitnya disana, sesak, ingin meledakkan berbagai emosi tapi bagaimana caranya? Ini sakit sekali. Sumpah.
Papa menangis, seolah ada petir yang baru saja meruntuhkan dunia utuh diatas kepalanya. Ini...ini menamparnya telak.
“Chaki udah bunuh Mama, Papa. Chaki juga udah bukan anak Papa...” kalimat itu begitu menyakiti hati siapapun yang mendengarnya, nadanya putus asa, penuh kepiluan, juga tanpa asa. Seolah Chaki pasrah, ia menyerah pada dunia ini. Memang sejak awal dunia sudah tak memihaknya bukan?
Pikiran Papa kalut, pertanyaan tentang mengapa? Bagaiamana bisa? Seakan buat kepalanya pecah. Ia tidak pernah menyangka barang sekali, Chaki, Chaki anaknya, tidak dalam keadaan baik-baik aja. Jauh dari kata baik-baik saja. Chaki sakit dan ini sudah berada pada tingkat mengkhawatirkan. Chaki yang penurut itu, Chaki anaknya yang selalu tunduk apa maunya, mengapa bisa seperti ini, mengapa bisa ia berani berusaha mengiris tangannya sendiri?
Seberapa sering Chaki melakukan ini?
Apa yang tidak ia ketahui?
Bagaimana hidup Chaki selama ini?
Apa yang sudah ia lakukan pada anak kandungnya sendiri?
Apa ini...ini...ia sudah bunuh anaknya tanpa ia sadari?
Kemudian Papa nekat dekati Chaki lagi, dengan seluruh tenaganya beliau berhasil buang pecahan kaca dari genggam erat Chaki, tangannya ikut tergores tapi ia hiraukan. Ditatapnya dalam, meski tertutup genangan, Chaki dalam gendongannya lemah, memucat dengan darah yang tak henti mengalir dari pergelangan tangan.
Papa menangis berlari. Kalut. Buru-buru menuju rumah sakit sebelum Chaki kehabisan darah, ditemani teriakan panik Bunda juga pecah tangis Nico.
“Maafkan Papa, Nak.”
Hari itu, semua diluar rencana dan kendali. Bukan ini yang diingini Chaki, tapi apa memang sudah takdirnya seperti ini?
Satu fakta terabaikan baru saja terbuka; Chaki belum sembuh.