katanya hati sih gitu
Atap asrama jadi saksi bisu bagaimana Chaki terseyum sangat manis sambil merentangkan tangan lebar-lebar sebelum berlari dan menabrakan diri pada Bima yang terkejut ditempatnya.
“Suka banget. Kok tau ada tempat gini di asrama?”
Setelah menangkap tubuh yang lebih kecil, ia membawanya duduk menghadap kerlip lampu kota dan bangunan-bangunan yang terlihat kecil. Suara-suara klakson kendaraan terdengar jauh bersahutan. Disini nyaman. Lumayan tenang.
“Apa sih yang kamu tau?”
Meski tahu bahwa pertanyaan itu hanya main-main sebab nada yang Bima gunakan juga begitu menyebalkan, Chaki tetap saja pilih pura-pura marah dengan mendengus dan memukul lengan Bima.
Sore tadi ia sampai, pulang lewat tengah hari selepas makan siang. Ibu tak membolehkannya pergi dengan perut kosong. Berbekal tekad kuat, juga bagaimana pesan Bima yang sudah-sudah jika ia ada di tempat umum juga sendirian. Chaki jadi berani. Duduk di dalam bus selama dua jam, membawa sekotak cupcake buatannya dan Ibu pagi tadi, untuk diberinya pada Bima.
Belum pernah Chaki merasa menang untuk dirinya sendiri seperti ini, hanya karena ia berhasil mengatasi panik dan takutnya berada di keramaian tempat asing. Berada di dalam bus sendirian, tanpa siapapun, membuat Chaki merasakan kemenangan lebih dari sekedar medali emas atau juara kelas yang pernah ia dapatkan. Kemenangan atas diri sendiri, lebih dari apa yang tak mampu digambarkan.
Dan Chaki ingin merasakan kemenangan ini lagi, lebih sering, lebih lama. Ingin memenangkan dirinya sendiri. Berdiri sendiri.
Tidak banyak yang mereka lakukan saat Chaki sampai asrama. Bima menyambutnya dengan wajah sesedih mungkin juga peluk yang tak mau lepas. Lalu mereka makan malam, sebab Bima bilang ia tak selera makan sejak pagi karena tak ada Chaki. Kemudian menikmati cupcake yang dapat pujian lagi karena rasanya lezat.
Ketimbang menyinggung soal janji mereka untuk mengobrol, Bima lebih memilih menyeret Chaki langsung ke lantai 5 asrama dan menuju atap. Ia sering kemari dengan Pablo kalau sedang pusing dan takut mengganggu roommate nya yang dulu.
“Sini, jauh banget duduknya.”
Sibuk nikmati semilir angin yang menampar lembut, serta langit kelam membentang tanpa bintang—barangkali terutup polusi cahaya, Bima baru sadar bahwa duduk mereka sudah berjarak saat hela napas berat Chaki terdengar.
Menggeleng, Chaki eratkan sweater kebesarannya lalu ia geser lagi duduknya agak jauh.
“Kenapa sih, Yam? Aku udah mandi ini wangi,”
Chaki sentuh dadanya sendiri, kemudian dia diam.
“Jantung Chaki mau meledak, Bima,” hembusan napas berat ia keluarkan lagi.
Bima mana sanggup menahan gemas? Tawa jadi menguar, menembus sayup bising suara klakson kendaraan dibawah mereka. Ditariknya tubuh yang lebih kecil mendekat kemudian ia peluk erat sambil tempelkan telinganya di dada.
“Ya ampun, Cha. Kayanya ada bom ya di dalam sini?” suara Bima cukup meyakinkan untuk terkejut yang dibuat-buat. Punggung tak berdosanya jadi sasaran pukul Chaki.
“Chaki serius ini deg-degan banget, coba liat nih tangan Chaki keringatan,” telapak gempal dan mungil itu dijulurkan kedepan, Bima lihat sebentar lalu genggam tanpa buang kesempatan.
“Bukan pengumuman lomba kok, santai aja. Nih aku juga sama deg-degan juga,” saat telapak itu Bima bawa menempel pada dadanya, Chaki terkikik.
Tanpa menjawab apapun, ia tarik tangannya lalu bawa duduknya menghadap Bima penuh. Senyum Chaki cukup gambarkan bahwa ia sudah lebih tenang karena Bima punya detak jantung sama cepat dengan miliknya saat ini.
“Ayo ngomong,”
Bima berdeham sebentar, tatap polos yang sama kelam dengan langit malam itu membuatnya bisu. Sial, sekarang ia yang jadi super gugup. Padahal kemarin uring-uringan sendiri karena tak bisa ungkapkan ini dengan benar.
Tanpa Bima ungkapkan lagi pun sesungguhnya Chaki sudah tahu, bagaimana perasaan Bima padanya. Pernyataan Bima di pantai, juga video itu. Jika boleh jujur, sejak sampai asrama Chaki berusaha mati-matian untuk bersikap biasa saja di hadapan Bima. Ia—
“Aku suka kamu, Cha,”
Skakmat!
Mata Chaki melebar. Empat kata itu sukses mengehentikan kinerja jantungnya tanpa ampun. Sumpah ia sudah mempersiapkan ini, tapi mengapa mendengarnya secara langsung dan gamblang membuat Chaki jantungan.
Bima diam sebentar, barangkali mencari kalimat yang pas tanpa tahu bahwa yang diajaknya bicara sejak tapi belum bernapas, “...gitu aja. Aku gak pintar ngomong ginian, Cha, gak romantis sa—”
“Chaki ambil napas dulu. Jangan dilanjutin, Chaki tau, Chaki ngerti,”
Bibir Bima ditahan dengan telunjuk mungilnya. Bima tersenyum saat ia ambil napas dalam-dalam, lucu sekali.
Setelah napasnya mulai teratur dan jemari gempal itu menyingkir, Chaki mengangguk, seolah berkata Bima bisa melanjutkan yang tadi.
“Giliran kamu, aku udah selesai. Kamu juga udah ngerti kan pasti?”
Menabahkan hatinya kembali, memupuk keyakinan, Chaki hela napas kecil. Tatapnya jadi sendu, tapi buru-buru ditutupi.
“Sebelum aku jawab, aku mau nanya dulu, boleh?”
Sebuah kata ya, jadi jawaban.
“Bima, mau ya Bima ambil tawaran itu?”
Airmuka Bima berubah terkejut, tak menyangka bahwa topik ini akan dibawa-bawa Chaki kembali, pada saat harusnya mereka saling ungkap perasaan. Alih-alih layangkan protes, senyum diberikannya, kemudian berkata bahwa ia tidak bisa, tanpa mengurangi kelembutan di setiap tuturnya.
Sesak rasanya.
“Bima harus egois, Bim. Sekali aja, demi diri Bima sendiri, ya?”
Diamnya Bima seolah membiarkan Chaki melanjutkan isi hatinya. Mati-matian menahan tangisan.
“Gak papa Bima, gak papa. Biar aku yang disini, aku yang gantiin kamu jagain Ibu, Ayah sama Rayyan,”
Mata Bima kian menerawang, kemudian ditatapnya kedua manik tertutup genang air itu, coba cari tahu apa tujuannya. Tapi yang ada hanya keteguhan juga keyakinan.
“Chaki minta tolong, dengerin Chaki. Bima harus bisa bikin diri Bima gak menyesal, tolong dengerin mau hatinya Bima,”
Hening.
Sudah cukup. Sudah tak kuat lagi ia tahan air yang memupuk di matanya. Chaki menangis, meski bibirnya bicara.
“Chaki juga suka sama Bima, sayang Bima dalam artian lebih dari teman,” bibir bawahnya Chaki gigit, mengurangi sesegukan, “...katanya hatiku sih, gitu.”
Dekap hangat Bima beri, terkejut sebab Chaki memecah tangis mendadak. Kejujuran Chaki buat perasaannya hangat. Menyusupi pelan-pelan relung hati, juga rasa penuh-utuh menyelimuti.
Begini ya rasanya bersambut?
Tapi alih-alih rasa senang dan lega, kini malah banyak pertanyaan yang mampir di otaknya. Mengganjal tidak nyaman, memikirkan permohonan Chaki barusan.
Seharusnya malam ini Bima mampu dekap-erat sumber bahagianya, sebab perasaan mereka masing-masing sama. Harusnya bukan rasa sesak-kosong juga kebimbangan yang melingkupi.
Bima ragu, apa sebenarnya mau hati?
Sedang dalam diam, tangis Chaki makin deras juga menyakitkan. Apakah ia sudah gagal? Bagaimana ia bisa dengan kurang ajar mencecap bahagia jika ia saja belum pantas menerimanya.
Chaki sadar, ia belum pantas bukan?