oh, hei


“Chaki, ada yang nyariin kamu!”

Teriakan itu buat kegiatan Chaki teralihkan, ia sedang ngobrol seru dengan Naya—salah satu pasien kecilnya, di sebuah kursi tunggu, berdebat tentang mana yang lebih keren antara ayam dan bebek. Mereka berdua menoleh pada langkah kaki Alda yang tergopoh-gopoh, buat Chaki mengernyit, adakah sesuatu yang genting di saat jam makan siang begini?

“Kenapa, Al? Siapa yang cariin aku? Dokter Ratna butu—”

“Bukan, cowok, Cha yang nyariin.”

Kernyitan pada keningnya makin dalam, cowok? Siapa? Hafiz, kah? Kak Seno? Kak Saera? Atau mungkin... Abang?

“Kayaknya bukan yang ada dipikiranmu, deh. Soalnya aku gak kenal dia, kalau cowok-cowok temenmu yang lain sama kakakmu aku kenal,”

Lalu siapa? Kebingungan Chaki menjadi-jadi, sampai buat ujung jas putihnya ditarik-tarik Naya karena khawatir dokter kesayangannya sakit.

“Dokter kenapa? Dokter sakit? Kok mukanya lipet-lipet,” suara Naya yang cempreng tarik atensi Chaki lagi pada bocah enam tahun itu, ia tertawa sampai matanya hilang yang buat Naya ikut tertawa.

“Enggak kok, lagian mana ada muka kelipet-lipet, ah Naya becanda aja,” hidung mungil itu dijawilnya main-main, lalu dapat teriakan melengking juga tawa yang menyenangkan.

“Siapa ya, Al?”

Yang ditanya angkat bahu, “Oh iya, tadi katanya dia, kamu lucu waktu lagi main sama anak-anak, keliatan tambah cantik.”

Senyum menggoda Alda juga teriakan gemas dan iri di akhir kalimatnya buat semu merah samar merambati pipi Chaki. Kemudian ia di dorong menjauh agar segera menemui orang yang sudah menunggunya, katanya dekat bangku taman. Chaki baru mengiyakan setelah ia yakin sudah memberitahukan ini itu selama menitipkan Naya pada Alda. Berjalan menjauh dengan suara siul-siul Alda, juga Naya yang ikut-ikutan karena katanya sangat menyenangkan.

Siapa yang mencarinya, ya?


Mulanya ia pikir bahwa ia berhalusinasi, barangkali efek karena sejak pagi ia belum makan, sedang ia harus disibukkan dengan kegiatan rutinnya di stase anak. Sampai jam makan siang hampir lewat pun ia belum sempat sentuh nasi. Saat ia lihat tubuh bongsor familiar, dengan bahu lebar yang terlihat sangat kokoh, juga hidung bangir yang dari samping mirip sekali dengan—

“Hai,” mata Chaki hampir saja lompat keluar saat cowok dengan kemeja abu juga jeans robek di bagian lututnya itu menoleh ke arahnya.

Itu, dia.

“Kamu apa kabar?” “Kamu kurusan,” suasana sangat canggung sejak Chaki pilih duduk dibawah pohon rindang dekat taman, dengan sepotong roti yang cowok itu bawakan berada di pangkuannya. Mereka sama-sama membisu untuk sepuluh menit terakhir, dengan Chaki yang duduk tegap karena kaku, juga Bima yang sejak tadi sibuk menengok kesana kemari.

Sekalinya obrolan dibuka, mereka akan berebut dialog bicara, seperti tadi contohnya, itu sudah kali ketiga. Bingung, seperti tahu ingin melakukan apa, tapi tidak tahu harus bagaimana.

“Kamu dari kapan disini?” “Kamu belum makan rotinya.”

Lagi, ini kali keempat, lalu mereka tertawa seolah sadari kebodohan masing-masing.

“Dimakan dulu rotinya, kamu belum makan, kan?” suara setenang air itu kembali sapa pendengaran Chaki, ia mengangguk sekali sebelum menurut untuk segera makan rotinya.

Ia lapar, sumpah. Tapi ini benar-benar sangat canggung dan aneh, serius ini...kamu makan di depan orang yang baru pertama kali kamu temui setelah berpisah bertahun-tahun tanpa penjelasan? Yasudahlah, mau bagaimana lagi? Daripada kelaparan dan tak bisa makan sampai sore nanti.

“Kamu punya banyak waktu? Eh... gak banyak banget, mungkin tiga puluh menit untuk kita ngobrol?” Bima bertanya setelah Chaki selesai meneguk air dalam botol.

Jam dipergelangan tangan kirinya ia lihat, waktu istirahat tersisa 35 menit lagi. Masih punya waktu untuk mendengarkan apa gerangan yang ingin Bima bicarakan. Meski dalam hati ia sudah tahu pasti kemana arah obrolan ini.

Sungguh ia ingin tolak keras, sebab ia masih belum cukup siap. Secara fisik maupun mental, untuk bertemu dengan Bima dan menjelaskan semuanya. Dalam keadaan dia belum apa-apa, bukan siapa-siapa, dalam keadaan bahkan ia belum layak.

Hanya seorang mahasiswa kedokteran yang sedang tersaruk berjuang selama delapan belas bulan untuk koas. Bukan apa-apa. Ia merasa kecil jika harus duduk bersanding dengan Bima yang sudah jadi seperti apa yang ia impikan. Tentu Chaki tahu pasti siapa Bima sekarang ini.

Tapi hatinya menolak mengabaikan, entah kenapa ia jadi kehilangan kemampuan untuk menolak. Padahal jika konsulennya mulai minta tolong aneh-aneh, Chaki punya 1001 cara untuk menghindari marabahaya. Sekarang, ia mendadak jadi bodoh tak berdaya.

“Aku takut buang waktumu sia-sia, jadi kita persingkat semuanya. Apa alasan kamu?”

Mata cokelat madu itu telak menatap netra kelam milik Chaki, menatapnya dalam seolah menuntut pertanggungjawaban atas semua tingkah lakunya.

“Ibu gak kasih tau aku, aku yang liat kamu sendiri waktu kemarin malam kamu ke rumah diantar Hafiz,” mata Chaki kembali ingin lompat dari tempatnya sebab terlalu terkejut dengan ucapan Bima barusan.

Ini namanya mengantarkan diri sendiri ke dalam jurang, ia sendiri yang sudah melakukan kebodohan.

“Kamu, mau dengar alasan yang gimana? Aku takut alasanku gak cukup kuat untuk redam marahmu,” suara Chaki agak serak, sekuat mungkin ia tekan getaran tidak menyenangkan dalam hatinya.

“Tergantung, kamu bisa jelasin apa aja. Sisanya biar aku putusin, apa aku terima atau enggak,” Bima lirik ekpresi Chaki, ia bisa lihat si yang lebih mungil itu kelelahan, kantung matanya sudah menghitam, tapi ia sudah tak bisa menunggu waktu lagi untuk ini, “ceritain semuanya aja.”

Chaki mengangguk, putuskan untuk jelaskan apa yang jadi pertanyaan besar Bima. Ia mengerti, barangkali Bima sudah kelewat penasaran, sedang Chaki tidak punya cukup banyak waktu untuk berbasa-basi. Pertemuan pertama mereka setelah bertahun tak berjumpa mungkin harusnya bisa lebih baik lagi dari ini, tapi jika dilihat dari kegentingannya, apa boleh buat bukan?

“Aku sakit,”

Bima menoleh, mulai mendengarkan dengan khidmat.

“Hari dimana aku pamit ketemu Papa, hari terakhir aku nelfon kamu, itu mungkin hari terakhir aku—kalau gak selamat, hidup di dunia,”

Mata Bima membeliak, terkejut dengan faktanya.

“Aku...ngiris tanganku lagi, coba potong nadiku lagi, singkatnya aku coba bunuh diri, tanpa aku rencanain,” hela napas sebentar, Chaki agak berat kalau suruh ingat-ingat kejadian beberapa tahun silam, “aku habis ribut besar sama Papa, saat Papa nyuruh aku kuliah bisnis, ikut Abang. Sedangkan aku bersikukuh untuk kuliah kedokteran disini, supaya gak jauh kalau mau ke Mama, kalau mau ke Ibu, atau ke Papa. Tapi Papa gak terima, jadi kita berantem dan ya...terjadi begitu aja. Traumaku dan segala macamnya, kamu udah pernah liat sendiri kan? Dulu banget... dan kira-kira yang ini lebih parah lagi. Terus aku gak ingat apa-apa, kalau kata Papa sih aku sekarat,”

Chaki masih bisa tersenyum sedang Bima tergagap-gagap di posisinya.

“Singkatnya itu tahun terburuk dan terkelam dalam hidupku, aku bisa selamat untungnya. Tapi mental aku masih sakit. Aku sempat masuk rumah sakit jiwa dua bulan,”

Mulut Bima ternganga, seolah ini fakta paling gila dan mengejutkan yang pernah ia dengar.

“Dengar dulu cerita aku, yaa..” Chaki beri senyum seolah semua baik saja, lalu kembali bercerita, “bulan ketiga aku boleh pulang, tapi tetap harus bolak balik ke psikiater, ya gitu deh... aku depresi berat, katanya. Terus Papa sadar kalau selama ini beliau udah cukup nyakitin aku, beliau kemudian sadar dan ngundurin diri dari kerjaannya dan dilimpahin ke Om aku. Papa jual rumah dan aset-asetnya, beli rumah kecil dipinggiran kota yang masih sejuk dan asri. Terus Papa putuskan untuk buka toko kue, untuk aku. Supaya bisa salurin emosiku, karena aku bahagia waktu bisa bikin kue. Bunda bantuin aku, kita bangun toko kue nya bareng. Sekarang udah cukup besar, lho,”

Cengiran kelewat lebar dan nada bicara Chaki yang santai mau tak mau buat rasa khawatir Bima yang sudah membumbung tinggi perlahan menipis.

“Papa bolehin aku daftar fakultas kedokteran, Papa mulai ikutin maunya aku dan kasih semua kasih sayang juga perhatian yang belum pernah beliau berikan ke aku dalam porsi yang seharusnya. Aku perlahan sembuh, berkat usaha Papa, Bunda, Abang, Kak Saera, usahaku sendiri, juga keluarga kamu. Aku gak bisa jauh dari Ibu,”

Mata Chaki berbinar-binar, cantik sekali kalau terpantul sinar matahari siang ini.

“Dan ya... begitu, hari-hari aku selama gak ada kamu isinya cuma perjuangan aku untuk sembuh dan untuk berdiri di kaki sendiri, sambil aku berjuang untuk kuliah kedokteran juga. Semuanya bikin aku kuat, kuat dari dalam, bukan bangun beton di luar tapi dalam nya kosong. Aku benar-benar belajar merangkak dan berjalan lagi, kaya bayi. Makanya aku betah banget di stase anak ini, aku kaya lihat diri sendiri yang lagi berjuang untuk bisa lari,”

Ada tawa kecil terselip pada tiap-tiap bibir gemuk itu berhenti sejenak untuk lanjutkan cerita, dan itu lebih dari cukup untuk buat Bima lega.

“Yah...begitu, pokoknya. Aku ketemu Hafiz lagi, kita makin akrab lagi dan dia tau masalahku karena aku sering dijemput Papa untuk ke psikiater. Kalau Ibu, beliau tentu tau sejak awal karena aku butuh Ibu sama besar kaya aku butuh Papa dan Bunda. Awalnya Ibu nangis terus, gak mau lepasin aku,”

Chaki tertawa lagi.

“Dan untuk yang lain, Yosha, kecuali Theo, karena dia kuliah di luar kota, mereka sering liat aku dan tau juga apa yang terjadi sama aku, terus—”

“Kenapa aku doang yang gak dikasih tau?”

Nada Bima sarat kecewa, Chaki mengerti itu.

Handphone aku yang lama rusak sejak aku berantem sama Papa dan itu gak bersisa, dan alasan lainnya karena...karena aku gak mau ganggu kamu?”

Bima baru akan menjawab sebelum Chaki angkat tangannya isyarat Bima harus diam dulu.

“Aku tau gimana kamu, kalau kamu yang baru aja mutusin untuk melakukan langkah besar dengan pertimbangan panjang—kuliah ke luar ninggalin keluarga, apa yang akan kamu lakuin dan pikirin? Kamu si manusia yang gak pernah mikirin diri sendiri ini kalau aku kabarin kamu jadinya apa?”

Kebisuan Bima buat Chaki terkikik geli.

“Gakpapa, semua udah lewat juga. Sekarang semua baik-baik aja, jauh lebih baik dan berjalan normal. Aku perlahan udah bisa berdiri di kaki ku sendiri. Bisa ngelakuin hal-hal yang biasa orang lakuin, juga berani ngelakuin segala hal sendirian. Aku, udah baik.”

Chaki diam, katanya ceritanya selesai, begitu saja. Seolah semua cerita itu ia jalani tanpa beban juga tangis darah. Meski dalam kenyataan ia jalani semuanya dengan banyak tangisan juga kesulitan yang tak terjelaskan. Sungguh sulit keadaannya pada saat itu.

“Boleh aku peluk kamu?”

Pertanyaan Bima timbulkan keraguan Chaki, tapi saat lihat manik cokelat madu itu menatapnya dengan mata berkaca-kaca juga tatap memohon, Chaki bisa apa selain mengangguk?

Mereka dapat peluk hangat satu sama lain, berbagi peluk yang terasa sangat kaku tapi mereka rindukan. Peluk hangat yang terasa asing bersamaan terasa menenangkan. Peluk hangat juga tangisan yang mereka bagi sebab segala emosi yang tak bisa ditumpahkan bersamaan. Barangkali itu tangis haru atau mungkin bahagia?

“Kamu hebat, kamu udah sejauh ini. Kamu udah berjalan sejauh ini, kamu hebat, Cha. Aku bangga sama kamu, aku akan selalu dukung apapun yang kamu lakukan. Aku gak akan pernah bisa marah sama kamu. Aku ngerti, Cha.”

Sumpah, Chaki berjanji pada diri sendiri bahwa ia sudah tidak akan menangis lagi. Sebab tanpa menangispun kantung matanya sudah seperti zombie. Tapi Bima memang keterlaluan, setelah ini ia yakin bahwa matanya akan sulit melihat.

“Cha... aku kangen kamu, kangen banget. Cha, Bima... Bima yang ini kangen Chaki sampai rasanya mau mati,”

Siang itu tangis keduanya kembali pecah, dengan waktu tiga puluh lima menit yang berubah jadi empah puluh menit dan sebabkan Chaki harus terima omelan dari konsulennya karena telat.

Ada perasaan janggal juga bahagia, sebab mereka baru pertama kali bertemu sejak lama tidak berbagi kabar sama sekali. Tapi entah mengapa, kalau Bima orangnya semua terasa seperti teman lama yang sangat akrab. Semua punya jalurnya untuk mengalir begitu saja.

Hari itu Bima menunggunya selesai bertugas di satase anak. Duduk di bangku taman, sesekali berjalan-jalan, ke kantin, ke manapun selama masih bisa memerhatikan segala hal yang dilakukan Chaki.

Pertanyaan saat Bima antarnya pulang, sebelum ia sempat turun untuk masuk ke apartemennya;

“Cha, mau mulai semuanya dari awal lagi sama aku?”

Berhasil buat Chaki uring-uringan seharian, juga gemetar saat si sumber masalahnya meneleponnya di jam-jam sebelum tidur. Padahal semuanya masih kental kaku, masih takut untuk bertemu, juga jelaskan lebih lanjut. Tapi sekali lagi, ini adalah Bima, semua jadi mudah dan tidak berarti kalau ia sudah bersama si sumber kuatnya itu.

Chaki sadar, ia sama rindunya. Sedalam Bima rindu kehadirannya. Tapi, apa ia pantas bersama Bima sekarang?