“Boleh kita ngobrol?”
Nggak lama setelah Jeongguk mengucap salam dengan sopan untuk kedua kalinya, suara sahutan halus terdengar dari dalam rumah bercat hijau dengan pohon mangga dan bunga-bunga hias yang menggantung rapi di taman depan. Seorang wanita paruh baya bersenyum sabit cantik menyambutnya dengan ramah dan ceria.
Tiga kantong besar plastik di tangan digoyangkan ke atas, pamer. Senyum itu terkembang semakin lebar. Sedikit banyak Jeongguk dapat melihat sebagian diri Jimin di sana.
“Banyak banget, ada rencana buka usaha apa gimana kamu?”
Tawa Jeongguk berderai menanggapi candaan Mama selagi kakinya melangkah mantap memasuki rumah Jimin tanpa keraguan. Seolah tahu persis tata letak bangunan ini dan seisinya. Sebetulnya, itu hanya untuk menutupi rasa panik yang membumbung besar.
“Jastip anak Mama doang ini, Ma,” setelahnya ia cengengesan atas jawaban sendiri. Bukan sebuah hal yang harus ditutupi ketika Mama sudah memahami maksud kalimatnya dengan baik. “Jimin parah nggak, Ma?” Barangkali Mama bisa menangkap kekhawatiran yang terselip pada tanyanya. Atau barangkali sejak awal seluruh gerak-geriknya sangat kentara. Mata Jeongguk nggak fokus, melirik acak ke sana-kemari dan berhenti pada tangga menuju lantai dua.
Mama tersenyum lagi. Beliau mengerti. Sangat mengerti. “Jeongguk langsung ke kamarnya aja, ya.” Lengan Jeongguk diusap lembut.
Jeongguk mengangguk, tersenyum sopan.
“Mau minum apa? Nanti Mama bawakan ke atas.” Mama bertanya kembali. Menyamai langkah Jeongguk menuju tangga ke lantai dua, sambil sesekali mengusap punggungnya.
Dari sorot teduhnya Jeongguk tahu bahwa kehadirannya di rumah ini sudah lama dinanti. Ada rasa bersalah yang merambat naik ke dada ketika mengingat bahwa belakangan ini ia menolak halus ide untuk mampir ke kediaman Jimin.
Impulsif. Dia melakukan sesuatu yang lahir dari pikirannya ketika ia merasa nggak percaya diri. Merasa marah tapi nggak ada yang bisa disalahkan selain ekspektasinya yang terlalu tinggi. Sejak awal ia sudah tahu kalau risiko dari perasaan yang ia miliki adalah kekecewaan dan sakit hati. Ia tahu kalau Jimin bukan orang yang mudah. Ia sendiri yang bertekad. Tapi rupanya tetap nggak siap. Ia cemburu. Cemburu pada banyak orang. Cemburu pada keadaan.
“Apa aja, Ma,” jawabnya sopan. “Jeongguk ke atas ya, Ma.”
Pintu bercat putih gading di lorong paling pojok dibuka perlahan. Keadaan terasa begitu sunyi. Entah karena rumah sedang kosong, Mama bilang, Papa dan Nami sedang belanja ke supermarket untuk kebutuhan bulanan. Atau karena saat ini Jeongguk hanya dihadapkan dengan punggung sempit dan suara dengkur halus.
Ini baru pukul lima sore. Tapi Jimin terlihat kelelahan. Mungkin karena belum bisa beraktivitas normal, bawaannya jadi ingin tidur terus. Menurut keterangan Mbak Hwasa, ketika ditanyai soal keabsenan Jimin pagi tadi, Jimin kecelakaan diserempet mobil. Hati Jeongguk sudah was-was dan nggak tenang sejak tahu kabar itu. Niat hati ingin berbagi kisah sambil lepas rindu—mungkin sambil diselipi sedikit omelan karena Jimin nggak ada kabar, harus kandas. Kerja pun nggak fokus, sampai ditegur Pak Boss.
Bergerak pelan, Jeongguk mendudukan dirinya di pinggir kasur Jimin. Menatap nanar pergelangan tangan kanan yang terlilit perban serta beberapa lecet pada siku dan lutut. Kepalanya memproyeksikan apa yang terjadi sehingga hasil akhirnya seperti ini. Nggak separah yang ia bayangkan, namun tetap saja hatinya tercubit melihat Jimin menahan sakit. Hela napasnya kasar, mendominasi kebisuan yang tercipta.
“Ggukie?” Suara itu terdengar lemah dan serak.
Entah sejak kapan Jimin sudah bangun dengan posisi tidur menghadap penuh ke arahnya. Pandangannya sayu setengah terpejam.
“Hai, udah bangun?”
Jeongguk tersenyum. Lembut namun kaku. Lega namun janggal. Entahlah, Jeongguk sendiri bingung mendefinisikan apa yang tengah dirasakannya saat ini. Ia merasa hilang.
Jimin bergerak, mencoba bangun dari posisinya saat ini. Refleks Jeongguk membantunya duduk bersandar di kepala tempat tidur. Mana tega melihat Jimin kesusahan.
Atmosfer kembali hening. Keduanya masih diam. Jeongguk yang bingung ingin membicarakan hal apa terlebih dahulu, tumpang tindih dalam kepala untuk disampaikan. Berebut soal giliran dan menyebabkan rasa nggak beraturan. Sementara Jimin masih mengumpulkan kesadarannya agar penuh.
“Apa kabar, Gguk?” Akhirnya Jimin menjadi yang pertama memecah hening. “Pulang kantor langsung ke sini?”
Dibalas sebuah anggukan. “Gue baik,” jawab Jeongguk. “Cuma khawatir,” lanjutnya.
Jimin meringis kecil.
“Dari keadaan lo sebenarnya gue udah bisa nilai, tapi gue mau mastiin lagi. Jimin, lo gapapa kan?”
Tanpa dijelaskan lebih rinci Jimin tahu apa maksud Jeongguk menanyakannya seperti itu. Tahu seberapa besar kekhawatiran itu. Penampilan luar nggak bisa jadi tolak ukur apa yang ada di dalam. Dari pada kabar fisik, Jeongguk barangkali ingin mendengar perasaannya. Jadi, dengan kesadaran diri, Jimin menjelaskan.
“Gue gapapa, lecet tapi nggak gegar otak,” jawab Jimin cengengesan. “Terus ini, terkilir.” Ia menunjuk pergelangan tangan kanannya menggunakan dagu.
Melihat Jimin bisa tertawa kecil dan menjawab dengan candaan, Jeongguk merasa sedikit tenang. Suasana beku di antara mereka perlahan mencair.
“Ggukie.”
“Ji.”
Berbarengan.
Mereka tertawa kecil. Baru saja Jimin ingin buka mulut, Mama datang mengantarkan dua gelas teh hangat dan camilan ke kamar. Konsentrasi Jimin buyar. Sepertinya bakpia keju mendistraksi fokus Jimin sepenuhnya.
Jeongguk dapat lihat tatap berbinar-binar yang Jimin layangkan pada piring berisi bakpia. Lalu tatap itu beralih padanya.
“Beneran dibawain bakpia keju banyak?” Jimin bertanya antusias.
Anggukan Jeongguk berikan. “Ada 6 kotak dari dua toko yang beda. ”
Sebuah woah rada panjang terdengar kemudian.
“Makasih banyak ya, Ggukie.”
Pernah nggak sih Jeongguk bilang kalau Jimin itu lucu? Lucu yang ketika suasana hatimu buruk lalu melihatnya jadi baikan. Lucu yang semakin diperhatikan semakin membuat sesuatu berkembang dalam hati. Lucu yang kamu ingin melihatnya bahagia, melindunginya. Lucu sekali. Kalau belum, Jeongguk akan bilang sekarang saja. Jimin sangat lucu. Paling lucu.
“Sama-sama, Ji.”
Sejak tadi menahan rasa menggebu-gebu dalam hatinya. Ini bukan waktu yang tepat, sepertinya.
“Maaf karena gue nggak ngabarin ya, handphone gue rusak. Maaf juga udah larang Nami ngasih tau lo. Soalnya takut lo kepikiran.” Jimin menjelaskan pelan-pelan, di sela kunyahannya.
Tangan Jeongguk memegangi bakpia keju dengan sabar. Membiarkan Jimin melahap dengan semangat suapannya, sebab tangan kanannya masih belum bisa dipakai beraktivitas. Senyum kecil tercetak hanya dengan melihat cara Jimin makan.
Jeongguk baru saja diceritakan Jimin soal kejadian sebenarnya. Pemuda itu disenggol pengendara mobil yang masih belajar di tikungan dekat rumah. Tangannya menahan keseimbangan motor yang dikendarai namun gagal dan limbung ke kanan. Oleh sebab itu pergelangan tangannya terkilir dan ponsel yang ditaruh di kantong celana kanan layarnya retak.
“Nggak usah dipikirin. Gue udah sangat bersyukur karena keadaan lo bukan kayak yang ada di pikiran buruk gue.” Jeongguk membersihkan remahan di tepi bibir Jimin menggunakan ibu jari.
Mata Jimin tanpa sadar menatapnya, terus bergerak mengikuti sampai kemudian bertemu dengan sepasang kelereng legam milik Jeongguk. Pandangan mereka terkunci. Ada benturan dari pertemuan itu, menghancurkan dinding di antara mereka dengan ledakan yang terasa sampai ke dalam dada.
Sorot Jeongguk selalu terasa seperti kekuatan magis yang menyerap kesadaran. Menimbulkan efek tak biasa yang membuat kinerja jantung dan perut Jimin terasa aneh.
“Gue juga minta maaf karena gue baru bisa main ke sini, setelah lama nggak pernah mampir. Maaf harus sampai lo sakit dulu.” Jeongguk bicara seperti itu tanpa melepaskan tatapannya.
Deham Jimin jadi jawaban, pemuda itu mengangguk dan bergumam nggak masalah sambil mengalihkan pandang. Pertahanannya runtuh. Sepertinya ia sudah nggak mampu memandang Jeongguk lama seperti biasa. Nggak mampu ketika dua minggu ini ia sudah menemukan sebuah kesimpulan.
“Kok kita jadi kayak orang kurang komunikasi gini ya?”
Jimin tertawa. Itu terasa benar dan karena merasa konyol Jeongguk ikut tertawa. Mereka berdua tertawa padahal nggak ada unsur kelucuan dari pertanyaan tersebut.
“Ggukie…” Panggil Jimin setelah tawanya habis.
“Ya?”
“Boleh kita ngobrol?”
Ekspresi Jeongguk nggak terbaca. Air mukanya santai, berposisi dengan perasaannya sendiri.
“Emang sekarang kita ngapain?”
Mendengus geli, Jimin tersenyum kecil. “Ya ngobrol sih,” kata Jimin. “Cuma ini mau ngobrolnya beda.” Jimin meminta Jeongguk duduk merapat dan berhadapan penuh ke arahnya.
Jeongguk menebak-nebak hal penting apa yang sekiranya ingin Jimin bicarakan padanya? Dia sama sekali nggak berekspektasi kalau mereka berdua akan bicara panjang lebar sebab sejak awal yang menjadi tujuannya adalah melihat keadaan Jimin dan membiarkannya beristirahat. Nggak lebih.
“Kenapa lo bela-belain pulang kantor langsung ke sini? Segitu khawatirnya sama gue?” Lugas. Pertanyaan itu menghajar telak.
Jeongguk mengangguk mantap. “Tadinya malah mau kemarin, begitu sampai bawaannya mau nyamperin lo,” kalimat itu belum tuntas, masih ada koma yang menggantung menjadi tanya.
Diam. Jimin senantiasa mendengarkan.
“Tapi nggak enak,” sambung Jeongguk. “Gue pikir lo butuh waktu sendiri—sebelum gue tau keadaan lo yang sebenarnya. Ketemu di kantor ajalah, rencana gue. Taunya lo udah dua hari nggak masuk kerja.”
Alis Jimin terangkat naik, nggak paham dengan konteks yang Jeongguk bicarakan.
“Butuh waktu sendiri buat apa?” Jimin bertanya.
“Menenangkan diri karena lo… cemburu?” kalimat itu hampir seperti bisikan di akhir. Begitu lirih. Penuh keraguan.
Jeongguk sebetulnya adalah orang yang tegas dan percaya diri. Sebab apa yang dibicarakannya adalah hasil dari proses pemikiran panjang serta pengalaman. Ia orang yang praktis dan nggak suka bertele-tele.
Terbiasa menghadapi rekan dan kolega bisnis dengan banyak kepribadian membuat pribadi tertempa dengan baik; nggak mudah dimanfaatkan atau dibantah, apalagi soal pekerjaan. Orang bilang, Jeongguk mengintimidasi.
Semua itu nggak berlaku ketika ia dihadapkan pada perasaannya sendiri. Seluruh bagian tubuh termasuk otak menjadi malfungsi. Sulit untuk yakin ketika kebimbangan melahapnya habis. Kali ini yang kita bicarakan adalah soal Jimin. Serta perasaannya.
Melalui ekor mata, Jeongguk melirik ke samping lantas mengalihkan dengan meletakkan sepotong bakpia ke piring karena Jimin sudah nggak mau disuapi lagi. Sudut bibir Jimin tertarik membentuk senyum kecil dan menghilang sebelum Jeongguk sempat melihatnya.
“Gue? Cemburu sama siapa?”
“Sama Mbak Sana?” Tanya Jeongguk. “Eh… nggak, ya?”
Selain keraguan, Jimin menangkap kecewa pada nada itu.
“Siapa bilang gue cemburu?”
Jeongguk diam.
“Awalnya gue kira gitu, karena lo nggak balas chat gue dan nggak ngabarin lagi setelah balasan Mbak Sana.” Jeongguk menjeda. “Tapi ternyata gue cuma kegeeran aja, lo kecelakaan dan layar handphone lo retak yang bikin lo nggak bisa gue hubungin.”
“Ggukie… ”
“Tapi ini bukan maksudnya gue kecewa karena lo kecelakaan. Gue tuh khawatir.”
Tubuh Jimin bergeser sedikit, mencari tempat ternyaman untuk bersandar. Kedua kakinya diluruskan menyamping. Jeongguk diam memperhatikan, menunggu Jimin kembali bicara.
“Lo benar kok, gue cemburu.” Jawab Jimin, ia menatap Jeongguk ragu. Mendadak jadi gugup.
Di posisinya Jeongguk terkejut bukan main. Ini serius?
“Gue nggak tau lo ngerasa atau nggak kalau sejak lo tinggal dinas gue jadi lebih clingy dan bawel. Awalnya gue merasa aneh kan karena uring-uringan gitu. Gue kira karena nggak ada yang antar-jemput gue seperti biasa. Tapi, beberapa kali gue barengan Taehyung dan Mas Hoseok pergi-pulang kantor, taunya masih uring-uringan. Bawaannya jadi mau tau kabar lo, makanya gue jadi bawel apa-apa laporan ke lo. Padahal biasanya kita chat seadanya. Hari di mana gue bilang mau random talks adalah hari di mana akhirnya gue sadar kalau gue tuh kangen lo, Gguk. Soalnya kita sering banget tuh telfonan, tapi kali itu waktu denger suara lo gue mau nangis. Kayak… ya ampun gue udah lama nggak dengar suara ini dan akhirnya dengar lagi.”
Tatapan takjub dan terkejut itu nggak bisa ditutupi Jeongguk dengan baik. Ingin bicara dan menanggapi tapi nggak ada kalimat yang bisa ditemukan. Dia sama sekali nggak menyangka kalau Jimin bisa bicara seterbuka ini tanpa ada sikap malu-malu atau penolakan. Sesuatu bergejolak dalam perut dan meletup memenuhi dada. Rasanya hangat dan menggelitik, menyebar pada seluruh organ dan saraf. Membuat kelima panca indranya hanya bisa berfokus pada satu objek bernama Park Jimin.
“I like you, Gguk.” Jimin berucap mantap.
Jeongguk mendadak menahan napas. Batinnya sudah berteriak nggak karuan. Wah stress nih.
“Maaf kalau gue telat nyadarnya. Maaf selama ini udah anggap lo becandaan. Maaf kalau pengakuan gue terkesan tiba-tiba. Nyatanya selama ini gue nggak bisa memahami perasaan gue dengan benar.”
Ada jeda sebentar, Jimin terlihat berpikir kalimat apa yang pas untuk dia sampaikan. Sepertinya ada banyak dan Jeongguk tidak keberatan untuk menunggu berapa lama pun. Ia masih setia menjadi pendengar yang baik.
“Soal Mbak Sana, awalnya gue marah karena Mbak Sana yang balas. Pakai acara selfie di handphone lo segala lagi, gue kan nggak minta? Makanya gue nggak balas chat lo lagi. Tapi setelah beberapa waktu gue pahamin balasan Mbak Sana gue jadi sadar kalau bukan itu poin yang harus gue bold. Harusnya yang gue bold adalah seberapa besar lo memprioritaskan gue. Lo kepikiran minta tolong Mbak Sana balas chat gue karena lo takut gue nunggu kan? Padahal bisa lo balas nanti setelah selesai urusan kerjaan. Jadi, udah nggak seberapa marah tuh gue, cuma udah keburu rusak handphone guenya.” Dia cengengesan.
Dengan sadar Jimin tahu kalau dia menjadi tiga kali lebih cerewet dari biasa. Momen kesadaran diri memaksanya untuk mengakui semua yang ia rasakan pada Jeongguk. Rentetan kalimat yang ingin disampaikan sudah berputar dalam kepala dan menunggu giliran. Sejenak, Jimin mengambil napas.
“Tolong dengerin dan jangan dipotong. Gue bakalan banyak omong kali ini karena kemarin-kemarin gue diam aja. Ini semua adalah isi hati dan pikiran gue.”
Anggukan Jeongguk berikan. Dia sudah seperti robot yang sejak tadi hanya bisa mengangguk. Ingin bicara tapi ini belum gilirannya. Dia akan membiarkan Jimin untuk menyampaikan segala hal yang mengganjal terlebih dahulu.
“Selama ini gue terbiasa sama kehadiran lo sebagai teman. Teman dekat yang gue pikir sama kayak gue ke Taehyung atau ke Mas Hoseok. Ke teman gue yang lain. Taunya tuh nggak, Gguk. Gue salah sangka. Sejak awal kedekatan yang kita bangun tuh bukan pertemanan biasa. Gue baru sadar. Atau sebetulnya gue terlalu naif.” Menarik napas sebentar, Jimin tersenyum menyadari raut Jeongguk saat ini kelewat serius. “Ternyata yang gue butuhin tuh merenung.”
“Mungkin karena sejak awal gue terbiasa dikasih rasa nyaman dan perhatian lo yang nggak pernah berubah. Terbiasa dipahami segitu besarnya sama lo. Terbiasa apa-apa ke lo. Dan terbiasa menghadapi lo yang nyantai, suka bercanda. Setelah gue pahami, memang begitu cara lo menyampaikan sesuatu supaya nyampe ke gue.”
Ada hela napas lega yang Jeongguk lepaskan tanpa sadar. Jeongguk maju dan merapatkan duduknya ke arah Jimin, menarik kaki kanan Jimin lembut untuk ditumpangi di atas pahanya. Begitu hati-hati supaya nggak menyebabkan luka itu terkena tangannya.
“Kalau lo tanya kenapa akhirnya gue bisa sadar, itu karena Mama sih. Jadi, waktu gue uring-uringan kemarin gue akhirnya memutuskan untuk curhat ke Mama, pusing kali beliau liat anak sulungnya jadi nggak jelas.” Jimin cengengesan.
“Kami jadi ngobrol dari hati ke hati. Soal apa yang gue rasakan saat itu, soal pandangan gue ke lo, pandangan Mama ke lo. Gue.... baru sadar kalau lo sedekat itu sama Mama. Papa, Nami, Jihyun ikut-ikutan, soalnya pas banget hari itu Jihyun lagi nelfon Mama. Setelah selesai gue ngobrol sama Mama gue langsung mikir lho sebetulnya gue udah ngerti perasaan lo sejak lama dong ya? Tapi gue terlalu takut aja.”
Senyum Jeongguk merekah tanpa bisa ditahan-tahan lagi. Seperti ini kah jika perasaanmu bersambut?
“Lo tau kan Gguk alasan gue sampai saat ini belum pernah menjalin hubungan sama siapa pun?”
Tanpa ditanyakan pun Jimin yakin kalau Jeongguk sudah tahu betul. Buku harian berjalannya ini nggak pernah absen untuk dia curhati segala hal. Namun, Jimin ingin memastikannya lagi. Meyakinkan kalau Jeongguk paham ke mana arah pembicaraan ini akan bermuara.
Jeongguk mengangguk.
“Keluarga. Karena prioritas utama gue adalah keluarga. Gue tulang punggung keluarga dan buat gue urusan cinta-cintaan bukan suatu hal yang penting dalam hidup gue.”
“Bukan nggak penting juga sih, gue udah cerita berulang-ulang juga kan ke lo kalau pikiran gue lebih kayak; gak mau deh ribet, gue nggak punya waktu untuk itu atau kayak—”
“Lo mikir orang itu bisa nggak sih; menerima keluarga lo sebagaimana dia menerima lo, sayang keluarga lo sebagaimana dia sayang lo. Yang nggak bikin lo mikir dia selevel atau nggak sama lo. Yang nggak akan merendahkan keluarga lo. Yang paham seperti apa posisi dan kewajiban lo di keluarga lo? Gitu kan?” Jeongguk memotong sebelum Jimin sempat menyelesaikan kalimatnya.
Sebuah senyum lembut tertarik di ujung bibir Jimin. Rasa hangat meresap ke dalam hatinya. Memberi kelegaan, seolah ada pelukan tak kasatmata yang merengkuh dingin hatinya. Jimin mengangguk.
Setetes air meluncur dari pelupuk matanya tanpa bisa dicegah. Pembahasan soal keluarganya; alasan Jimin menjadi seseorang yang keras kepala; tentang caranya memandang hidup, selalu menjadi topik sensitif menguras air mata. Bagi Jimin, keluarga adalah segalanya.
Jatuh cinta dan menjalin hubungan serius dengan seseorang merupakan sebuah privilege yang nggak semua orang bisa dapatkan dan rasakan. Jimin bukan nggak ingin, hanya saja selama ini dia merasa nggak bisa dan nggak mampu.
Sayangnya orang awam di sekitarnya dengan mudah menilai kalau Jimin adalah orang yang sangat pemilih, Jimin berpikir terlalu rumit, Jimin plin-plan, Jimin nggak peka. Hal yang nggak banyak orang tahu bahwa baginya, jatuh cinta merupakan hal mewah; sementara concern Jimin dalam hidup adalah mencari uang untuk keberlangsungan hidup keluarganya.
Bagaimana keluarganya bisa makan besok? Bagaimana caranya membayar uang kuliah Jihyun, uang kos, uang saku dan buku-buku? Bagaimana membayar SPP Nami? Bagaimana ketika Papa atau Mama sakit? Bagaimana membayar listrik dan air? Bagaimana keperluan sehari-hari mereka?
Memikirkan itu semua saja kepala Jimin ingin pecah. Rasanya mustahil ia bisa menyelipkan perkara cinta-cintaan di antara antrean persoalan yang harus ia selesaikan setiap harinya. Nggak sanggup. Kok ya nambah-nambahin beban aja, pikirnya.
Jimin, bukan orang beruntung yang bisa dengan tenang mendapatkan privilege soal menjalin hubungan dengan seseorang. Bukan. Ibaratnya ia harus memilih satu di antaranya. Mengorbankan salah satunya.
Itu sebelum Jimin menyadari bagaimana peran Jeongguk dalam hidupnya.
“Gue lupa fakta bahwa lo satu-satunya orang yang tau kondisi keluarga gue, betul-betul tau semuanya. Taehyung dan Mas Hoseok aja cuma tau sedikit. Lo dekat banget sama keluarga gue. Lo udah kayak bagian dari keluarga ini yang kalau lo kenapa-kenapa pasti Mama bakal sangat khawatir. Mungkin, mungkin lo juga udah anggap keluarga gue kayak keluarga lo sendiri, sampai-sampai lo sering kirimin Jihyun uang saku di belakang gue.”
Air mata Jimin mengalir semakin deras. Seperti tanggul air yang sudah menampung hujan terlalu banyak. Sudah di ambang batas penuh hingga tanggul air nggak sanggup menampung volumenya dan akhirnya tanggul itu ambrol.
“Jimin, maaf soal itu. Gue nggak bermaksud ikut campur atau merendahkan kemampuan lo. Gue tuh cuma—”
Tangan Jimin tergerak di depan bibir, mengisyaratkan Jeongguk untuk diam. Yang mana sebenarnya sia-sia karena Jeongguk kepalang khawatir sejak Jimin menangis membahas masalah ini.
“Gue baru tau kemarin waktu Jihyun pulang ke rumah untuk jengukin gue. Gue tuh mau chat lo pakai handphone Jihyun kan, tapi waktu gue buka kolom obrolan kalian, lo ada kirim bukti transfer. Gue marah besar ke Jihyun, ke semua orang di rumah, awalnya.”
Hati Jeongguk resah mendengar ini, harusnya sejak awal dia jujur ke Jimin.
“Dibanding takut karena gue marah ke dia, Jihyun malah takut kalau gue marah dan nggak mau ngomong ke lo lagi. Baru kali itu gue liat Jihyun mohon-mohon supaya gue nggak marah ke lo. Mama Papa ikutan ngejelasin ke gue keadaannya. Sejujurnya, gue masih sangat tersinggung. Lalu gue mikirin lagi omongan Jihyun kalau lo tuh baru beberapa kali kirim uang ke dia. Kata Jihyun waktu itu pas banget keadaannya ketika uang sakunya hilang di kosan dan dia nggak berani bilang ke gue. Itu baru dua hari gue kirim uang ke dia. Dia sampai puasa karena nggak bisa makan dan nggak enak mau pinjam temannya.” Jimin kembali menangis mengingat cerita adiknya.
“Dan waktu lo kirim dia, lo bilang uangnya buat tabungan, buat jaga-jaga. Lo ngirim tanpa diminta. Tanpa Jihyun cerita. I mean lo udah nolongin adek gue di saat gue sendiri nggak tau apa-apa.”
Gelagapan. Jeongguk menepuk lengan Jimin lembut. Nggak nyangka kalau Jimin akan menangis lebih banyak dari sebelumnya. “Maaf Ji, please jangan nangis. Gue nggak bermaksud merendahkan atau buat lo tersinggung. Gue cuma mau ngasih jajan Jihyun, udah gitu aja. Gue sesekali mau ngerasain gimana rasanya jadi kakak, Ji. Maaf. Lo marah ke gue aja deh jangan Jihyun, kasian dia.”
Tawa Jimin menguar di sela tangisnya. Merasa lucu karena kepanikan Jeongguk.
“Satu hal lagi yang gue sadar, Jihyun sayang sama lo, Gguk. Dia anaknya nurut dan nggak pernah bantah gue, tapi kemarin dia belain lo di depan gue. Dan sekarang gue liat sendiri kalau lo juga sesayang itu sama Jihyun.”
Air mata luruh lagi. Tanggul itu hancur.
“Jimin jangan nangis dong.”
“Yang mau gue sampaikan di sini adalah lo sebaik dan sesayang itu sama gue dan keluarga gue. Selama ini yang bikin gue selalu takut dan denial ketika mau menjalin hubungan dengan orang adalah gue takut mereka nggak bisa menerima keluarga gue kan, Gguk. Tapi lo menerima mereka sebaik-baiknya. Lo sayang banget sama keluarga gue.”
Sudahnya hening. Jimin nggak bicara apa-apa lagi selain sibuk meredakan tangisnya sendiri. Katakanlah Jimin cengeng, tapi ia memang selemah ini kalau membahas soal keluarganya. Lemah kalau ada seseorang yang begitu baik pada mereka tanpa memandang strata. Seperti haru namun sesak. Otaknya memproses tanya seperti; Mengapa Jeongguk begitu baik? Mengapa dia baru sadar? Mengapa ini mengapa itu dan tetek bengek lainnya.
Merasa kalau Jimin nggak akan melanjutkan pengakuannya, Jeongguk memberanikan diri angkat suara.
“Udah? Lo masih ada yang mau disampein lagi nggak?” Jeongguk bertanya lembut. Menatap khawatir pada Jimin yang tengah menghapus air matanya sedikit kasar karena belum berhenti luruh. Setelah hirup embus napas dan merasa lebih tenang, jemari kiri Jimin membentuk OK ke arah Jeongguk.
Sebelum bicara Jeongguk mengambil napas panjang, sepertinya tenaganya akan terkuras habis kali ini.
“Boleh sekarang gue yang ngomong, ya?” Jeongguk bertanya lagi dan dibalas anggukan sekilas.
Duduk mereka makin merapat, lutut Jeongguk bersentuhan dengan lutut kiri Jimin. Tangannya merengkuh lembut bahu Jimin. Meminta seluruh perhatian pemuda itu agar fokus padanya saja.
“Jimin,” Jeongguk memulai.
Yang namanya disebut menatap dengan tatap polos yang jernih. Ada jejak-jejak air mata yang belum kering di pipinya.
“Sebenarnya, nunggu hari ketika lo akhirnya sadar dan nyambut perasaan gue adalah harapan gue sejak lama. Kalau dalam bayangan gue pribadi, gue udah nyiapin kalimat baik untuk gue omongin ke lo. Untuk meyakinkan kalau gue tulus sama lo. Ternyata, ketika ini jadi kenyataan, gue malah kecolongan start sama lo. Harusnya gue nggak sih yang ngomong? Harusnya gue yang jelasin secara gamblang kalau gue memang serius.” Jeongguk tersenyum kecil, senyum kalem yang biasanya mampu meredam emosi Jimin yang meletup-letup.
“Ketika gue dihadapkan sama pengakuan lo, gue belum persiapan sama sekali. Jadi, gue nggak tau harus respons kayak gimana. Bingung milih reaksi apa yang cocok untuk gambarin perasaan gue saat ini. Satu yang harus lo tau, gue bersyukur. Sangat bersyukur, karena lo suka juga sama gue?” Senyum di akhir kalimat nggak bisa ditahan Jeongguk lagi. Wajahnya berseri-seri.
“Seperti yang udah lo jelasin ke gue panjang lebar itu, rasa-rasanya semua yang mau gue jelasin ke lo juga udah lo omongin. Ini kenapa gue suka sama lo, lo orangnya detail, tipe-tipe overthinker emang.”
Jimin rada tersinggung, namun alih-alih marah ketika dijuluki overthinker, ia malah tertawa.
Kedua telapak Jimin digenggam lembut oleh milik Jeongguk. Kedua pasang kelereng itu kembali bertemu. Ada kedalaman rasa yang nggak bisa diarungi Jimin ketika ia memutuskan menatap legam Jeongguk dan Jimin mulai takut.
“Jimin... gue serius sama lo. Semua hasil analisis lo tuh benar, hampir semuanya. Jadi, udahan ya overthinking-nya? Udahan ya menyalahkan diri sendirinya?”
Hening. Pandang mereka masih terpaku. Lidah Jimin kelu.
“Jimin... boleh kita coba dulu sama-sama? Buka lembaran baru dengan hubungan yang beda? Boleh?”
Detik berlalu, Jeongguk nggak dapat jawaban atas tanya itu. Ketika Jimin mengalihkan pandang, hati Jeongguk remang.
Jimin takut.
Jimin ragu.
Genggam itu makin mengerat.
“Ggukie... gue takut.”
“Apa lagi yang harus lo takutin, Ji?”
Ada sebuah rahasia yang belum pernah Jimin katakan pada Jeongguk. Soal cara pikirnya terhadap sebuah hubungan. Alasan lain yang menyebabkan ia nggak pernah punya pacar sekalipun seumur hidup. Jimin punya prinsip kalau dia ingin menjalani hubungan yang dewasa. Satu untuk selamanya.
Jadi, ketika ia akhirnya memutuskan untuk punya hubungan dengan seseorang, artinya ia sudah membayangkan kalau ia juga akan menghabiskan sisa umurnya dengan seseorang tersebut.
Dalam hal ini, ketika Jimin sangat yakin dengan perasaannya. Jimin sudah melihat Jeongguk secara jauh. Membayangkan akan jadi seperti apa hari-hari mereka sebagai pasangan tua yang bahagia. Sementara Jeongguk sendiri, Jimin nggak tahu apa yang sebenarnya ada di benak pemuda itu. Jimin nggak tahu sejauh apa Jeongguk berpikir ketika ia menyatakan bahwa ia menyayanginya.
Jimin takut mereka punya cara pandang berbeda. Karena nggak semua orang mampu memahami prinsip satu untuk selamanya yang ia yakini.
Jimin sangat takut.
“Maaf, Gguk. Gue minta maaf.”
Hati Jeongguk mencelos. Binaran indah di mata yang meletup-letup, redup.