Sempurna, Bagiku


CW // NSFW 🔞🔞🔞

Tags: Newly Wedding Couple. Fluff and Smut. Hurt/Comfort. Mention of Insecurities and Unworthy Feeling. First Time. Top Jeon Jungkook. Bottom Park Jimin. Anal Fingering. Rimming. Nipple Play. Hand Job. Coming Untouched. Anal Sex. Multiple Orgasms. Praise Kink. Vanilla Sex. A Lot of Kissing. 7,4k Words.


Satu

Buah dari kesabaran, perjuangan serta usaha memang benar manis adanya. Tuhan tidak akan pernah menguji setiap manusia di luar batas kemampuan. Barangkali, jika kamu diuji secara terus menerus dan semuanya makin hari makin terasa sulit namun masih bisa dilewati, itu artinya Tuhan percaya bahwa kemampuanmu sesungguhnya lebih dari apa yang kamu ketahui. Sebab Tuhan Maha Mengetahui segalanya.

Chaki merasakan sendiri. Bagaimana dirinya yang kerap menyerah pada hidup, berkali-kali terbanting oleh keras dan pahitnya kenyataan, namun Tuhan tetap beri ia ujian lagi dan lagi. Hebatnya, Chaki bisa lewati semua itu. Meski harus berdarah, meski terkoyak, meski kadang hancur di perjalanan. Tapi, pada akhirnya Chaki selalu temukan lagi terowongan untuknya berjalan. Bersama pijar yang membantunya merangkak keluar perlahan. Menuju cahaya. Menuju apa itu yang orang-orang sebut sebagai bahagia, hasil dari segala jerih dan upaya.

Kebahagiaan masing-masing orang ada beragam jenis dan wujud. Entah dalam bentuk pencapaian, pengakuan, hadiah, maupun bentuk bahagia lain yang tak dipahami orang lain. Pun Chaki yang punya bentuk bahagianya sendiri. Terlahir dalam satu kesempurnaan yang tidak pula sempurna. Realisasi harapan yang tak henti ia langitkan setiap kali kepalanya sejajar dengan telapak kaki—egoisme setara dengan kerendahan hati, dalam sujud setiap hari. Hadir dalam wujud Bima.

Jika mengibaratkan Bima sebagai sesuatu—selain kebahagiaan, maka Chaki tak bisa menjelaskan. Bukan berarti seluruh hal yang ia miliki adalah bukan bahagia; entah keluarga, teman maupun sanak saudara. Namun, Bima adalah bentuk bahagia yang sejak dulu ia damba. Bentuk bahagia yang tak mampu digeser siapa pun. Cukup Bima saja, ia tak butuh yang lain sebab Bima saja sudah lebih dari cukup untuk dirinya.

Kesalahannya selama ini dalam memaknai hidup membuat Chaki sadar bahwa Tuhan tidak menguji umatnya tanpa alasan. Tidak serta merta ingin lihat umatnya menderita tanpa cecap bahagia. Hanya saja, ia yang tak mampu menerjemahkan sikap seperti apa yang harus dilakukan untuk menghadapi situasi ini atau itu. Lantas Bima ada di sana. Sebagai hadiah, sebagai pelita, sebagai pijar yang menemaninya melewati lorong gelap menuju cahaya.

Bahkan saat keputusan besarnya untuk meninggalkan pijar itu pun, Chaki masih bisa merasakan cahaya di dalam hatinya, menuntunnya perlahan untuk berdiri dan berjalan dalam tiap-tiap langkah yang pasti. Maka tidak salah jika Chaki menyebut Bima adalah bahagianya yang berwujud, karena Bima adalah itu semua, bahkan melebihinya.

Sabarnya yang tak bertepian, kelembutan yang selalu dihaturkan, kerap kali membuat Chaki berpikir bahwa kebahagiaan seperti ini tidak pantas ia terima dalam hidup. Bima terlalu berlebihan untuknya. Pemikiran tentang tahu diri mampir ke otaknya. Apalagi sejak mereka berpisah karena sebuah keharusan menurut Chaki. Bima sudah berada di puncak, sedangkan ia masih belajar berlari.

Waktu lima tahun cukup membuat Bima yang sudah terlatih lewati berbagai bentuk medan juga terjal bebatuan untuk mendaki ke atas. Meski mungkin ada kesulitan baru yang asing, tapi Bima adalah si kuat dan teguh yang tak akan mundur begitu saja. Sedang Chaki masih harus meraba, memahami pelan-pelan, juga sembuh secara perlahan. Lima tahun bukan waktu yang lama, juga bukan sebentar. Tidak cukup buat Chaki berlari, tapi mampu buat ia berjalan santai tanpa tertatih.

Dua

Hadirnya Bima dalam hidupnya—sekali lagi, buat ragu dan ingin berbenturan. Chaki ingin Bima untuknya, hanya untuk ia sendiri. Tapi rasa kecil itu datang kembali, menyuruhnya untuk tahu diri, ia bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Hanya seseorang dengan cacat sana sini yang sudah berani tinggalkan luka yang dalam pada hati Bima. Buat Bima kecewa setelah seluruh usahanya beri Chaki segala yang mampu dibaginya.

Tapi benar adanya, Bima adalah pemilik sabar tak bertepian itu, pemilik kasih tak berakhiran itu. Bahkan setelah segala yang ia lakukan, setelah kesulitan yang ia berikan pada produser muda itu, Bima tetap dengan cuma-cuma membuka tangannya lebar-lebar. Sanggup mendekapnya kembali dalam kehangatan yang melingkupi. Seolah maaf bukan hal sulit, apa pun itu pemicu salahnya. Bima kembali merengkuhnya, dalam kasih sayang yang berhamburan.

Chaki pernah bertanya tentang lima tahun Bima tanpa kehadirannya. Tidak ingin besar kepala bahwa ia bisa berpengaruh besar pada diri Bima, tapi ia sadar luka yang diberikannya mampu menyakiti juga. Penjelasan Bima buat Chaki menangis semalaman. Memerlukan dekap sang produser muda pada tubuhnya sejak petang membentang ke penghujung hari yang kelam. Mereka menghabiskan waktu berdua di apartemen Chaki beberapa hari. Berbagi apa-apa yang sudah mereka lewati satu sama lain.

Tidak ada satu hari pun Chaki mau angkat kaki dari pikiran Bima, begitu pernyataan yang keluar dari mulut produser muda itu. Setiap hari menjalani hidup dengan meneguhkan hati serta kepercayaan yang mulai patah. Bima tak sekuat itu. Ada waktu-waktu di mana ia menyerah dan memilih untuk membenci Chaki yang menghilang tanpa kejelasan. Meratapi luka-luka yang terbaret sepanjang dada. Bukan satu dua orang yang bersedia menyembuhkan luka Bima. Banyak. Ada banyak perempuan dan laki-laki di tempat kuliahnya dulu mencoba untuk mendekati. Dari semuanya satu yang paling menonjol. Namanya Indira. Rupanya seelok namanya. Kebetulan berasal dari Negara kelahirannya pula, Indira mahasiswi dari Indonesia.

Gejolak rasa tidak mengenakkan merambat naik ke dada Chaki selama mendengarkan cerita Bima. Hatinya tercubit-cubit oleh sesuatu tak kasat mata. Tidak mengerti mengapa bisa sesak begitu saat Bima menceritakan bagaimana kedekatannya dengan perempuan bernama Indira. Jika dibandingkan dengan perempuan itu, Chaki tak punya apa-apa. Sebab bukannya menemani Bima melewati masa sulit seperti yang Indira lakukan, Chaki justru si pemberi kesulitan itu sendiri. Air mata Chaki tak bisa dicegah saat Bima mengatakan bahwa Indira pernah terang-terangan mengungkapkan perasaan, hal yang juga Chaki tak mampu lakukan karena keterbatasannya dalam mengartikan rasa.

Usapan lembut pada bekas tangis, senyum hangat yang terukir apik di bibir Bima, juga kalimat; “Pada akhirnya aku sadar, aku nggak bisa. Aku memang sayang sama dia tapi hanya sebatas teman. Bahkan setelah semua yang udah Indira lakukan. Perjuangannya, kebaikan hatinya, perhatiannya, dia nggak berhasil buat kamu pergi dari sudut hati aku. Selalu ada kamu di sana, Cha. Di bagian terdalam yang gak bisa orang lain sentuh, di bagian yang udah aku lindungin sendiri secara nggak langsung. Selalu kamu dan cuma mau kamu, katanya hatiku sih, gitu,” berhasil buat Chaki lega. Seolah beban berat yang menggantung di pundaknya terhempas angin.

Tawa gemas Bima menguar sementara dengan lelehan air mata Chaki yang menganak sungai. Tidak bisa berhenti. Bagaimana Bima bercerita tentang usahanya untuk melupakan dan membenci Chaki berakhir sia-sia, karena di sudut terdalam hatinya ia masih mengamini segala doa, juga mengimani kemurahan hati-Nya. Perihal ia dan Chaki. Jika tak bisa di hidup yang ini, barangkali Tuhan mau ia rayu untuk kehidupan yang lainnya lagi, supaya mereka bisa bersandingan kembali.

Chaki pernah punya hari-hari berat, pun juga Bima. Tapi kehadiran satu sama lainnya—meski hanya dalam bentuk kenangan yang tersimpan cantik di sudut kepala, jadi kekuatan mereka. Bima pulang ke rumahnya, juga Chaki yang mendekap erat bahagianya. Mereka sudah tercipta seperti itu. Tuhan mau bermurah hati pada mereka karena kesabaran yang mereka rangkai bersama. Jadi, tidak perlu menunggu kehidupan yang selanjutnya, mereka dibiarkan kembali bersama dalam hidup yang ini. Hidup yang sedang mereka jalani.

Bersama dalam ikatan yang jelas, menjadi keputusan mereka. Butuh berhari-hari setelah beberapa tahun untuk menyadari bahwa yang mereka butuhkan selain saling mengasihi adalah sebuah ikatan. Ikatan tegas untuk mengklaim bahwa mereka adalah milik satu sama lain. Bima-nya Chaki memiliki satu arti dengan Chaki-nya Bima. Tenang dan lega tak bisa tergambarkan di hati meski Bima akhirnya tetap harus kembali, meninggalkan Chaki demi pekerjaannya. Namun, ikatan itu membuatnya punya keyakinan yang berbeda. Kali ini tak ada keraguan, sebab Chaki hidup dalam hatinya, dalam hidupnya, dalam dirinya. Chaki adalah miliknya.

Tiga

Pada suatu hari Bima merasa bahwa ikatan itu belum kuat. Kepemilikannya masih bersifat sementara. Predikat kekasih saja tidak cukup. Semakin jauh mereka, semakin besar pula rasa ingin memiliki Chaki secara utuh. Jadi, ia mengutarakan ingin hatinya pada Ibu dan Ayah. Meminta pendapat tentang seperti apa yang seharusnya dilakukan. Tentu orang tuanya mendukung niat itu tanpa kurang-kurang, apalagi yang ingin ia kejar, kata orang tuanya.

Serpihan yang digenggam tampak sudah aman, tapi bisa saja tercecer kembali. Tidak ingin serpihannya dibawa pergi lagi, Bima menguatkan tekadnya, setelah segala dukungan juga bantuan orang tuanya. Bima menghubungi Papa dan Bunda Chaki, menjelaskan maksud dan niat hati. Membawa pada jenjang yang lebih tinggi ikatan yang ia dan Chaki punya. Sambutan hangat juga suka cita semakin meyakinkan Bima. Benar, ini sudah jalannya. Chaki-nya, miliknya, sebentar lagi akan menjadi utuh.

Kepulangan Bima saat Chaki sudah lulus dari delapan belas bulannya menjalankan koas, menjadi hari di mana ia melamar calon dokter itu dalam keharuan dan keharusan yang benar. Bukan main-main seperti pesan yang mereka tukar tempo lalu. Sebuah kata ya yang sebenarnya Bima tahu akan ia dapat, tetap berhasil buatnya menangis. Sesuatu tentang Chaki-nya selalu berhasil buatnya sentimental tanpa alasan yang jelas. Terasa utuh, meski belum sempurna.

Empat

Pusara milik Mama pagi ini terasa dingin. Sedingin cuaca pagi dengan embun-embun yang terbentuk cantik. Isak-isak angin membawa bau segar itu ke penghidu. Seolah menyambut suka cita kedatangan sepasang insan yang separuh resmi dalam ikatan. Tangan mungil Chaki dengan cekatan menyirami air dari atas ke ujung pusara Mama. Menabur bunga-bunga dengan bau pandan yang enak sepanjang bekas air pada tanah yang basah tadi. Sebuket krisan putih tak lupa diletakkan di atasnya. Chaki berdoa dengan khidmat. Matanya tertutup, meresapi bagaimana perasaan dan harapannya kini bersisian. Di sampingnya, Bima mengikuti. Mengirim doa pada Almarhumah Mama Chaki, kelak akan berganti jadi Mamanya juga.

“Chaki minta restu, Ma,” suara Chaki membelah sunyi kompleks pemakaman ini. “Bima, teman Chaki yang dulu pernah kenalan sama Mama, mau mengikat Chaki dalam ikatan yang lebih sakral. Tetap sebagai teman tapi yang menemani sepanjang hidup sampai ajal.”

Hening menyelinap di antara keduanya. “Kalau Mama di sini, Chaki yakin Mama akan suka dia juga, seperti Chaki.” Ada jeda sejenak, tarikan napas kuat-kuat dilakukan Chaki supaya tidak menangis di depan pusara Mama.

Usapan tangan Bima pada punggung sedikit banyak membantu. “Chaki yakin Mama bisa liat Chaki dan mau liat Chaki bahagia. Sekarang Chaki udah bahagia. Mama bisa tenang karena Bima bakal gantiin Mama jagain Chaki, dia—”

Chaki tidak tahu bahwa obrolan satu pihaknya pada pusara Mama membuat sisi rapuhnya keluar. Dia menangis tanpa bisa lanjutkan permintaan izinnya pada Mama.

“Tolong restuin kami, Ma. Saya akan jaga Chaki sepenuh hati saya. Saya janji akan buat dia bahagia seperti apa yang selalu Mama upayakan dan harapkan untuk Chaki. Saya minta izin untuk bisa memiliki dan mencintai Chaki seutuhnya. Saya minta izin untuk mencuri cintanya Chaki juga dari Mama. Meminta Chaki untuk berbagi, meski Mama tetap punya porsi besar tersendiri. Dengan segala kurang dan buruknya saya, saya butuh Chaki untuk melengkapinya, Ma. Semoga Mama ikut bahagia bersama kami.” Kalimat sambungan Bima mau tak mau buat Chaki makin menangis dan berakhir dalam pelukan Bima.

Pagi itu kicau-kicau burung bersahutan. Bersama desau angin yang berembus memberi sejuk bagi jiwa-jiwa lelah yang telah jauh mengembara. Seolah alam memberi tanda. Restu untuk mereka berdua, sepasang insan dengan keinginan kuat untuk bersama. Alam ikut bersuka cita.

Lima

“Kamu ngapain?” Chaki bicara setengah berbisik. Mematai bagaimana dengan mudahnya Bima mencoba masuk kamarnya dengan memanjat tangga di luar jendela. Produser muda itu seperti menghiraukan dinginnya angin malam menusuk tulang. Hanya mengenakan kaos oblong putih tulang dan jeans belel tanpa jaket atau mantel.

Hela napas lega, jendela kamar Chaki ditutup oleh Bima yang beri cengiran tak berdosa. Tungkainya melangkah ke arah kasur, kemudian duduk tanpa peduli tatap tajam dan menuntut milik Chaki yang menyoroti gerak-gerik calon suaminya itu tanpa mau berkedip.

“Apa?” Tubuhnya Bima rebahkan pada kasur luas sang calon dokter. Bergelung dengan selimut berbau lembut, persis seperti bau tubuh Chaki. Hangat kayu manis dan manis vanili. Nyaman dan menenangkan. Selimut ditarik paksa saat Bima masih membaui benda itu dalam-dalam, seolah kurang pasokan oksigen.

“Pulang sana, kamu ngapain ke sini coba? Nanti kalau ketauan, kamu diomelin Papa sama Bunda.” Tubuh bongsor itu beringsut dan ditegakkan. Bima menyerah juga diomeli Chaki.

Sumpah ia ingin mengutuk siapa pun yang dulu sudah mencetuskan ide gila tentang calon pengantin yang harus berjauhan sebelum menikah. Apa-apaan itu? Bima jadi tidak bisa memeluk Chaki dan merasakan geli yang menyenangkan saat si mungil mendusal-dusal di dadanya. Tidak tahukah bahwa ia rindu Chaki setiap hari dan rasanya seperti tercekik mati jika tak bertemu?

“Gak mau.”

Penolakan keras kepala itu terus keluar sebesar apa pun usaha Chaki untuk mengusir. Calon dokter muda itu mendesah dan memilih duduk di kursi belajar, menghadap Bima yang duduk di pinggir ranjang.

“Kamu kenapa? Ngapain nyetir tengah malam dari rumah ke rumah aku? Tiga jam loh jaraknya, Bim. Kamu nggak pakai jaket juga. Ini tuh jam satu pagi bukan satu siang. Bahaya tau nggak sih?”

Nadanya berbisik namun begitu tegas dan kejam. Satu sisi merasa marah karena calon suaminya yang membandel, tapi di sisi lain ia kasihan. Dari penampilannya yang awut-awutan ini Chaki paham bagaimana perasaan Bima. Ia pun merasakan hal yang sama namun masih bisa ditahan.

“Aku kangen, Cha.”

Tiga kata. Tiga kata biasa tapi cara Bima mengucapkannya seolah meminta seluruh dunia dan isinya lantas Chaki akan dengan senang hati memberikan. Cara Bima mengucapkannya seolah membuat Chaki merasa dibutuhkan di dunia ini lebih dari apa pun.

Hatinya bergetar dan mulai melunak.

“Kangen tapi kita nggak boleh ketemu.”

Chaki tersenyum. Bima yang manja adalah sisi lain kesukaannya. Ah, tapi ia tidak boleh lembek. Bima kelewat paham bagaimana cara menjinakan sisi galaknya. Produser muda itu tetap harus ditindak tegas.

“‘Kan memang begitu tujuannya, Bima.” Tangan Chaki menyilang di depan dada. Memperhatikan bagaimana si bongsor yang bersila di atas kasurnya itu protes mati-matian dengan ekspresi yang menggemaskan. Chaki jadi geli sendiri, inikah calon suaminya yang dulu sok berani menghajar Abang dan menemui Papa?

“Kata Bunda, kita nggak boleh ketemu dulu. Supaya pas ketemu nanti rasa kangennya beda, supaya kamu dan aku lebih—”

“Kangennya beda tiap hari kok. Tiap jam malah. Menit, detik, pokoknya kangen terus deh.”

Hela napas Chaki sarat frustrasi.

“Ini baru tiga hari, masih ada empat hari lagi. Dipingit juga melatih sabar, supaya kalau udah nikah kita bisa hargain hadirnya satu sama lain. Belajar untuk bersabar dalam rumah tangga. Bima, kamu nggak boleh nakal, ini tradisi, lho.”

Wajah memberengut itu mau tak mau buat Chaki tertawa kecil. Ia beringsut dan mendekati Bima yang sedang merajuk.

“Katanya juga biar pangling. Kalau nggak ketemu aku seminggu pas harinya nanti kamu kan lagi kangen-kangennya ke aku tuh, terus ngeliat akunya beda karena udah lama nggak ketemu. Jadi makin keliat—”

“Keliatan bersinar? Ganteng? Cantik?”

Chaki mengangguki pertanyaan Bima. Tangan yang lebih besar membawa tubuh Chaki mendekat padanya dan melingkupinya. Membalut tubuh kecil itu dengan tubuhnya yang dingin akibat terpaan pendingin mobil juga angin malam yang menusuk. Dihirupnya dalam-dalam harum kepala Chaki, turun ke pipi dan berhenti di leher. Harum tubuh dari parfum yang digunakan Chaki makin enak di bagian leher.

“Kamu cantik. Walaupun aku ketemu setiap hari, kamu masih dan akan tetap cantik. Nggak pernah berkurang, selalu nambah. Aku kangen, nggak perlu dijauhin. Liat setiap hari pun masih kangen. Soal sabar, kita udah latihan dari bertahun-tahun lalu. Tapi hari ini aku lagi kangen kamu yang beneran butuh peluk dan dengar suara kamu.”

Chaki mendongak, mempertemukan netra kelamnya dengan iris serupa kolam madu itu. Melihat mata Bima berkaca-kaca Chaki jadi tidak tega. Mungkin calon suaminya ini sedang mengalami hari berat. Chaki mengerti.

“Cha? Kamu belum tidur?” Suara Bunda dari balik pintu kayu cokelat mengejutkan keduanya. Chaki memberi isyarat supaya Bima tutup mulut.

“Ini mau tidur Bunda, tadi baru selesai bikin power point,” sahut Chaki.

Maaf ya Bunbun, aku bohong. Sedikit doang kok.

“Jangan malam-malam tidurnya ya, Sayang? Supaya badan kamu segar pas pagi bangun. Jangan begadang. Kamu harus rawat badanmu lho, kan bentar lagi nikah.”

Semu merah merambati pipi Chaki saat mendengar kalimat Bunda yang juga didengar jelas oleh Bima. Ia malu Bima tahu secara terang-terangan begini kalau ia tengah merawat diri demi pernikahan mereka nanti. Meskipun sebenarnya Bima pasti tahu.

“Iya, Bunbun.”

Suara langkah yang menjauh tidak lama terdengar setelah jawaban Chaki. Bima menjawil hidungnya dan meninggalkan satu kecup di sana. Sang produser muda menariknya dalam peluk kemudian mengajak tidur bersama. Bersikukuh meskipun Chaki menolak. Lama-lama Chaki jadi tidak tega mengusirnya. Bima kelihatan lelah entah karena apa, jadi ia menyerah saja. Membiarkan lengan Bima menjadi bantalannya, sedang lengan yang lain menarik pinggangnya mendekati tubuh si bongsor. Menempel satu sama lain meski masih bisa saling tatap.

“Apa?” Ditatap seperti kamu adalah makhluk langka yang baru saja turun ke bumi buat Chaki jengah juga.

I love you, makasih ya Cha udah mau nikah sama aku.”

Kecup dalam diberikan Bima pada kening Chaki. Begitu manis dan lembut, seperti bagaimana rasa familier itu menggelitik perutnya. Juga kehangatan yang perlahan hinggap pada dada.

Malam itu mereka tidur berdua, berbagi peluk juga kata cinta yang tak pernah habis untuk dihaturkan satu sama lain. Sebab sesungguhnya tidak akan ada satu orang pun yang tahu bagaimana rindu itu sendiri punya peran paling penting dan besar di antara keduanya. Seolah tak akan pernah habis. Mereka sudah terpisah bertahun-tahun, dan menelan rindu masing-masing secara bulat-bulat. Tanpa harus dipisah, bahkan saat sedang saling bertatap pun, rindu itu seolah belum cukup untuk ditumpahkan.

Enam

Terhitung satu bulan sudah Chaki menyandang status sebagai suami Bima. Pernikahan mereka berjalan lancar. Dengan banyak doa dan restu orang-orang tersayang juga para tamu yang hadir. Pada hari itu Chaki merasa menjadi orang paling bahagia, merasa sempurna. Seolah sebelumnya ia tidak pernah mengenal dua kata itu. Hari di mana ia menebar senyum pada semua orang yang hadir untuk menunjukkan bahwa ia sudah berada pada puncaknya, dengan seseorang yang ada di sisinya. Dengan suaminya. Bima.

Semua berjalan seperti bagaimana harapannya. Bima memilih berkarir di Indonesia, menemani Chaki yang melanjutkan program pendidikan spesialis kejiwaan selama empat tahun. Mereka tinggal di sebuah rumah sederhana yang Bima beli dekat pinggiran kota. Jauh dari Ayah dan Ibu serta Papa dan Bunda. Ingin hidup mandiri dan merasakan bagaimana merintis rumah tangga bersama, membangunnya dari bukan apa-apa.

Untuk menemani sibuknya Chaki selama program spesialisasi, Bima membuatkan toko kue kecil untuk Chaki jalani dari awal. Bunda dan Ibu sebenarnya sudah menawarkan untuk membuka cabang salah satu dari toko atau kafe mereka. Tapi Chaki menolaknya dengan halus, katanya ingin merintis toko kuenya dari bawah seperti ia menjalani rumah tangganya dengan Bima. Kemudian kedua ibu mereka setuju.

Keseharian Chaki sebagai seorang suami dijalani Chaki dengan baik. Melayani Bima, memasak, bersih-bersih rumah serta mengurusi segala keperluannya suaminya. Pengalaman ketika pernah tinggal satu atap bersama Bima ketika SMA dulu membuatnya tidak menemukan banyak kesulitan untuk tahu mau dan tidak maunya Bima. Semua benar-benar berjalan dengan lancar.

Kecuali satu hal. Ia dan Bima belum pernah melakukan itu.

Dalam hubungan antara suami, sudah selazimnya mereka berbagi kehangatan satu sama lain. Tapi, mereka belum melakukannya hingga saat ini. Bukan, bukan karena tidak ingin atau bagaimana. Bukan juga mereka sedang mengikuti suatu program atau sesuatu yang lain. Hanya saja Chaki belum siap. Sungguh, ia merasa gagal sebagai seorang suami. Tidak bisa melakukan tugasnya dalam melayani secara utuh. Bima memang tidak menuntut, bahkan menanyakan pun tidak pernah. Barangkali keraguan itu terpancar jelas di kedua mata sehingga Bima bisa membacanya. Lagi-lagi Bima memberikan banyak pengertian, sementara Chaki makin merasa bersalah atas hal tersebut.

Chaki tahu, betapa sulit usaha sang suami untuk menahan hasratnya sendiri. Bima laki-laki normal. Lagi pula bukankah salah satu tujuan dalam menikah juga untuk membuat suatu yang haram itu menjadi halal sebab mereka sudah punya ikatan yang sah di mata agama? Namun, Chaki sendiri belum memberikannya pada Bima. Memberikan apa yang seharusnya suaminya bisa dapatkan. Terkadang ada perasaan takut yang menggerogotinya. Takut Bima akan berpaling atau akan menyalurkannya pada perempuan atau laki-laki lain karena tidak bisa mendapatkan itu darinya.

Bukannya tidak ingin. Chaki punya hasrat sama besarnya. Lebih dari ingin untuk menjadi suami seutuhnya bagi Bima. Memberikan apa yang selama ini dijaganya sebagai hadiah bagi kesabaran suaminya itu. Tapi ia merasa malu, merasa kecil. Ia takut, sebab ia cacat. Chaki takut Bima akan kecewa ketika melihat banyak goresan luka pada tubuhnya. Takut kalau bekas-bekas luka yang melintang sepanjang betis, paha juga perut dan lengannya akan membuat Bima enggan menatapnya. Seketika ia mengutuki bagaimana tingkahnya dahulu. Merusak tubuhnya sendiri.

Ketakutan Chaki semakin menjadi-jadi meski sudah berbagi pada Hafiz dan Yosha pada suatu siang, di salah satu kafe milik Kak Saera. Kak Saera sendiri sudah beberapa bulan tinggal di California, menemani Abang yang dipindah-tugaskan ke sana enam bulan yang lalu. Mereka sempat datang untuk menghadiri pernikahannya dan Bima. Menetap selama seminggu untuk kemudian kembali lagi ke California.

Saran dari Hafiz yang sudah menikah dua bulan lebih dulu darinya, serta Yosha yang usia pernikahannya hampir setahun tidak ada yang mampu meredakan kecemasannya. Barang satu atau dua. Obrolan ketiganya tidak menemukan titik terang maupun jalan keluar. Sebab Chaki dan sifat rendah dirinya itu tak bisa dipisahkan dengan mudah. Mereka tidak memberikan saran apa pun lagi selain hanya mencoba menjelaskan pada Chaki bahwa Bima menerimanya apa adanya. Bahwa Bima adalah orang pertama yang tahu bagaimana Chaki yang dulu. Bima adalah orang yang mencintai Chaki tanpa tetek bengek lain. Cintanya sudah mutlak.

Hal itu setidaknya membuat perasaan Chaki sedikit lebih baik sampai hari menjelang sore. Tapi tidak berlangsung lama, karena ketika malam menjemput dan pesan singkat yang Bima kirimkan bahwa ia akan pulang sedikit terlambat dari studio membuat ketakutan-ketakutannya kembali menghampiri. Pesan yang mereka tukar sebenarnya penuh kata keharmonisan seperti biasa, tapi Chaki tetap merasa janggal dan takut.

Pikiran buruknya berbisik bahwa barangkali suaminya itu pulang ke rumah perempuan lain. Bisa saja mampir ke tempat di mana ia bisa menyalurkan hasrat yang tak bisa Chaki penuhi. Membayangkan potongan-potongan adegan jelek itu membuat Chaki menangis. Mengubur diri pada kerendahdirian yang sudah terlalu curam. Chaki tenggelam di dalamnya.

Tujuh

Malam sudah larut sewaktu Bima menghidupkan lampu ruang tamunya yang gelap. Suasana memang sepi sejak ia melangkah masuk ke dalam rumahnya. Tidak heran sih, sebab ini sudah pukul dua belas lewat lima, sudah tengah malam. Barangkali Chaki sudah tidur. Atau begitulah pikirnya. Tungkai jenjang melangkah pelan ke arah kamar, kembali menghidupkan lampu kamar dengan perlahan. Berharap tidak membangunkan suaminya. Ia membayangkan menemukan gundukan selimut dari tubuh mungil suami tercintanya. Alih-alih gundukan selimut yang ditemukan Bima adalah tubuh meringkuk Chaki di ujung kepala tempat tidur dengan keadaan bergetar ketakutan. Entah sejak kapan.

Rasa khawatir menyergap, membuat langkahnya semakin lebar menuju sang suaminya. Ada perasaan linu di hatinya saat melihat penampakan Chaki. Didekatinya, kemudian direngkuhnya dalam dekap, tubuh itu kembali bergetar hebat.

“Sayang, kamu kenapa?”

Bukan sebuah jawaban yang Bima dapat, melainkan pundaknya yang basah karena tangisan Chaki lainnya.

Tubuh kecil itu dijauhkan dari tubuhnya. Pipi basah yang kemerah-merahan diangkat dan direngkuh. Pemandangan memilukan dari wajah berlinang air mata, hidung merah yang mengerut lucu, mata bengkak serta bibir bergetar. Hati Bima teriris.

“Sayang, kamu kenapa? Siapa yang bikin kamu nangis?” Tangan Bima yang bebas dengan cekatan menghapus tiap-tiap lelehan yang kembali merembes dari pelupuk mata Chaki. Menciumnya dengan sayang kedua kelopak yang kelelahan menangis itu.

Satu kali kiri.

Satu kali kanan.

Pipi Chaki kembali diusap lembut, punggung juga tak luput dari usapan Bima. Sekitar lima menit tangis Chaki mereda berkat usaha Bima memeluk dan memberikan kata-kata penenang. Sang produser muda lebih memilih bungkam, menenangkan Chaki terlebih dahulu ketimbang bertanya apa pun.

“Jelasin ke aku, kamu kenapa nangis? Dimarahi konsulenmu lagi? Diusir? Atau ada apa di rumah sakit?”

Chaki menggeleng kecil.

“Terus kenapa, Sayang? Aku jantungan liat kamu tengah malam begini bukannya istirahat tapi nangis. Aku panik banget. Ayo bilang aku siapa yang harus aku ajak berantem?”

Kalimat tanpa jeda Bima, mengundang tawa kecil Chaki. Meski masih ada isak-isak di sana. Chaki merasa lega setelah hadirnya Bima, setelah dekap hangatnya. Rasa takutnya perlahan memudar.

“Aku gak papa.”

Tatapan curiga Bima bersambut dengan dua kecup pada pipi. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa, Chaki menyuruh Bima membersihkan diri dan berganti pakaian terlebih dahulu sebelum tidur. Seketika Chaki merasa jahat karena sudah berpikiran yang tidak-tidak tentang suaminya. Melihat wajah sarat khawatir itu, tidak mungkin suaminya tega untuk mengkhianatinya, bukan? Jadi ia putuskan untuk menceritakan resahnya pada Bima nanti. Selesai suaminya bersih-bersih.

“Aku udah jadi suami yang baik belum untuk kamu?” Chaki bertanya saat mereka berdua sudah terbungkus selimut dengan kepala bersandar di kepala tempat tidur. Kebiasaan ketika keduanya ingin mengobrol sebelum menjemput tidur.

Bima mengelus kepala Chaki, mata kecilnya terpejam menikmati. “Udah lebih dari cukup buat aku mah, nggak kurang-kurang. Kenapa kamu nanya gitu?”

“Aku nggak berpikir gitu.” Elusan Bima berhenti. Chaki merasakan pergerakan suaminya yang kaku, seperti tak terima.

“Kenapa kamu mikir begitu?”

“Karena memang aku belum jadi suami yang baik buat kamu.” Chaki mendongak, menatap cokelat madu di atas kepalanya. Hidung mereka bersentuhan dengan hangat napas Bima membentur wajahnya. Wanginya menenangkan, wangi pasta gigi rasa mint yang Bima gunakan.

“Kamu abis dengar omongan siapa, Sayang?” Bima bertanya.

“Kamu itu udah jadi suami terbaik, menurutku. Aku yang ngerasain. Kamu jangan suka jadiin diri sendiri untuk subjek penilaianmu atau orang-orang yang nggak punya standar baku, ya? Sayang, ya?” Mata Chaki terpejam saat embusan hangat itu menerpa wajahnya tanpa jeda. “Kasian loh kepalamu udah dipakai mikir keras selama program spesialisasi kamu, mikirin toko kue, mikirin masak apa untuk makan kita terus dipakai mikirin hal yang jawabannya jelas salah.” Chaki makin merasa tidak enak hati. Suaminya ini begitu mencintainya.

“Kita belum pernah ngelakuin itu, Mas. Aku belum ngelakuin tugas aku untuk ngelayanin kamu sepenuhnya. Belum menuhin kebutuhan lahir dan batin kamu secara penuh. Aku suami yang buruk, a-aku—”

Tubuh Chaki diangkat dengan mudah untuk kemudian berada di pangkuan Bima. Menghadap suaminya sepenuhnya.

“Hey… siapa yang bilang begitu ke kamu? Aku nggak pernah sekali pun—”

“Aku yang merasa, Mas. Aku sadar kalau aku kurang.” Kedua telapak mungilnya mencengkram dada Bima. Sementara manik kelamnya kembali menatap kedua netra berarus tenang. “Aku belum bisa ngasih apa yang seharusnya kamu dapat sebagai suamiku, aku takut….”

Kecup singkat mampir di bibir gemetar Chaki. “Nggak begitu, Sayang. Konsep pernikahan bagiku nggak seperti itu. Maaf karena seharusnya sejak awal—sebelum menikah kita udah ngobrolin hal ini. Supaya nggak ada kesalahpahaman. Maaf juga karena setelah menikah aku nggak pernah ngobrolin topik ini sama kamu. Aku boleh tau nggak siapa yang buat kamu akhirnya berpikir kayak gini?”

Chaki menggeleng dan menunduk dalam. “Aku sendiri. Aku-aku takut kamu berpaling karena aku nggak bisa kasih kebutuhan kamu. Aku takut kalau ternyata nggak becus ngelayanin suami.”

Hela napas Bima terdengar berat, membelah sunyi kamar mereka. Wajah Chaki diangkat untuk menghadap wajahnya. “Kamu kok bisa mikir kejauhan, Yang? Aku nggak mungkin berpaling dari kamu cuma karena masalah ini. Sayangku, Cha, dengerin aku ya. Dengerin aku sebagai aku, sebagai Bima yang bertahun-tahun lama kamu kenal dan sebagai suamimu.”

Anggukan kecil Chaki berikan.

“Chaki, tujuanku menikah sama kamu itu bukan sekedar soal ranjang atau soal keturunan. Tujuanku menikah sama kamu sesimpel karena aku mau kamu seutuhnya, buat aku aja. Aku mau jalanin hidupku yang entah sampai berapa lama ini dengan kamu. Apa pun keadaannya, bagaimanapun kekurangannya. Aku mau menjadi sempurna, karena kehadiran kamu di hidupku. Kita sempurna, untuk satu sama lain. Aku menikah sama kamu karena aku yakin kalau kamu adalah tempatku pulang dan istirahat. Nggak ada orang lain, bukan yang lain, karena aku cuma mau kamu, Sayang.”

Air mata Chaki mengalir lagi. Merasa makin buruk akibat prasangkanya sendiri. “A-aku takut. Aku takut, Mas.”

“Kamu takut apa, Sayang? Cerita sama aku apa yang kamu takutin, mau? Tapi kalau belum mau nggak papa, aku nggak nuntut kamu, nggak papa.” Dekap hangat kembali Bima berikan. Menenangkan Chaki dengan hangat dan kalimat-kalimatnya yang bersahaja.

“Sebenernya aku juga mau, Mas. Mau kasih kamu. Tapi aku takut kalau kamu akan kecewa. Aku cacat, Mas.”

Tubuh Chaki dijauhkan dan calon dokter kejiwaan itu bisa lihat kilat marah pada manik suaminya. Sang suami jelas tersinggung jika ia berkata seperti itu.

“Cha, aku nggak suka ya kalau kamu ngomong begitu, menghina fisikmu sendiri. Kamu nggak cacat. Bagian mana yang cacat? Kenapa kamu bisa punya pikiran seperti gitu ke dirimu sendiri? Aku aja bisa cinta kamu dan semua yang ada di diri kamu, Cha. Dan kamu pun harus seperti itu. Cintai diri kamu dulu.”

“Maaf, maaf, maaf. Aku ketakutan. Pikiran burukku datang terus. Takut aku nggak cukup buat kamu, takut aku mengecewakan, takut aku—”

Kata-kata Chaki terhenti begitu Bima membungkamnya dengan sebuah ciuman tiba-tiba. Ciuman yang mendominasi juga penuh kemarahan. Ciuman yang berbicara seolah Bima tak butuh apa-apa. Hanya butuh Chaki saja. Ciuman panjang penuh kerinduan, diselingi lelehan air mata keduanya.

Bima tidak menyangka selama sebulan ini suaminya masih berpikiran negatif. Masih sering berkecil hati. Sedikit banyak ini juga karena kesalahannya. Seharusnya mereka lebih terbuka lagi. Ciuman mereka berlangsung lama dan basah.

Delapan

Tubuh yang lebih kecil sudah telentang tak berdaya di bawah kungkungan sang suami yang kini sibuk menjilati tiap-tiap inci bagian tubuh yang terjangkau lidah. Sepanjang garis rahang sampai leher sudah berubah warna. Bima melukis dengan warnanya sendiri, di atas kanvas putih mulus milik Chaki. Baju sepasang suami ini masih utuh, hanya sudah berantakan tak berbentuk. Ciuman morat-marit yang mereka bagi membawa keduanya pada keinginan lebih. Terutama Bima. Sang produser muda ingin membuktikan bahwa dalam keadaan apa pun ia menginginkan sang suami masih sama besarnya.

Gerakan tangan Bima dihentikan Chaki saat berusaha melepaskan baju dari tubuh suaminya itu. Gelengan Chaki serta bibir bengkaknya yang digigit ragu seolah bilang jangan lihat aku. Namun Bima adalah si keras kepala, si lembut yang tegas. Jika ia bilang A maka itu harus A. Maka ia berusaha meyakinkan Chaki lewat tatapan mata, lewat sentuhan halus jemari pada wajah sangat suami, lewat kecupan manis pada dahi disertai bisikan halus bahwa semua akan baik-baik saja bila mereka saling percaya.

Lambat laun Chaki yang mulanya merasa enggan, memberi petunjuk agar Bima tak perlu lagi merasa sungkan meski hanya lewat anggukan. Lantas Bima menyingkap piama tidur Chaki dan seketika tubuh bagian atas Chaki terpampang sempurna. Kulitnya bersih meski banyak luka guratan di sana, melintang sepanjang bagian tubuh. Luka-luka sayat hasil dari banyaknya percobaan memutus nadi. Goresan di bagian pinggang pun ada, meski hanya sedikit. Lengan adalah tempat luka terbanyak, terutama pergelangan tangan.

Wajah Chaki dibuang ke samping, takut melihat reaksi Bima. Ketika tangannya diangkat dan diciumi dengan khidmat, ia baru berani melihat suaminya. Sedang terpejam menciumi seluruh bekas lukanya secara bergantian. Hatinya tersentuh, ia menangis dalam diam. Sungguh merasa buruk atas pikirannya sendiri. Kecupan-kecupan itu berubah menjadi jilatan dengan lidah, getarnya membakar gairah sampai atas kepala. Saat liur-liur panas milik Bima melumuri seluruh jari dan bekas luka di kedua pergelangan tangannya.

Bima merangkak naik ke atas, mensejajarkan wajahnya dan berbisik penuh cinta. “Kamu sempurna, bagiku. Ketidaksempurnaan kamu adalah sempurna, bagiku. Kamu lebih dari cukup, Cha.”

Chaki tidak begitu senang dipuji, pujian sama dengan ujian baginya. Tapi tidak jika itu keluar dari bibir suaminya sendiri. Chaki suka pujian-pujian yang biasa sang suami berikan kepadanya. Selalu terdengar tulus dan penuh makna. Lantas Chaki tidak pernah tahu bahwa pujian yang diberikan suaminya ketika mereka sedang bergumul di atas tempat tidur dapat memberikan efek berbeda. Selain senang, Chaki merasa terangsang, terbukti dari bagaimana tiba-tiba analnya mengetat dan terbuka antusias.

“Mash, ahh aah..”

Bukan tidak menyadari kalau Chaki akan bereaksi acap kali ia memuji suaminya itu. Bima akan mencatat ini sebagai hal penting yang harus dilakukan ketika mereka bercinta lagi.

Desah lemah lolos dari bibir merah bengkak calon dokter kejiwaan itu saat sang suami meniup telinganya seduktif dan mengulumnya. Memberi rangsangan-rangsangan yang dihantarkan dengan baik oleh sarafnya ke seluruh tubuh. Membuat sesak pada bagian bawah sebagai respons positif.

Jilatan Bima berpindah, ke pipi, ke belah bibir atas dan bawah yang sudah membengkak merah akibat pergulatan lidah bermenit-menit lalu. Bibir yang sudah menjadi candu sejak pertama mencicipinya pada enam atau tujuh tahun lalu. Bima membawa Chaki pada ciuman panjang lagi, sementara tangannya memeta seluruh tubuh bagian atas suaminya. Memeta tanpa terlewat setiap inci. Kulit kasarnya bertemu mulus kulit Chaki, membawa getaran layaknya sengatan listrik bertegangan tinggi.

Lenguhan kembali lolos saat gerakan tangan Bima tak sengaja mengenai puncak dada Chaki. Lantas ciumannya turun. Menjejak teritorial lain, memberi warna pada bagian lain serta menambah warna pada yang sudah berwarna.

Sementara tangannya sudah memilin puncak dada yang sudah mengeras, jilatan lidahnya pada bagian lain buat desah sang suami melagu begitu merdu. Celana Chaki ditarik dengan mudah menggunakan tangan lain yang bebas. Boxer itu sudah basah. Dengan satu tarikan kecil Bima berhasil buat Chaki telanjang utuh di depannya. Sempurna.

Lutut jadi tumpuan untuk berdiri, memandang dengan jelas dari atas bagaimana rupa Chaki tanpa sehelai benang yang menutupi. Ia berani bersumpah bahwa suaminya adalah indah. Barangkali indah merupakan kata paling sederhana. Sang suami sangat cantik, sempurna. Bima sudah tidak mampu temukan kata lain yang mampu gambarkan perasaannya.

Bagaimana luka gores itu menghiasi. Sepanjang betis lalu naik ke paha. Bima bisa rasakan berbagai emosi yang terselip dari tiap-tiap guratnya. Ia merasa haru, bagaimana suaminya itu takut ia kecewa karena luka-luka ini, karena cacat yang disebutnya. Daripada menyebut cacat, Bima lebih suka menyebutnya mahakarya. Sempurna dari ketidaksempurnaan. Sempurna yang berbeda.

Chaki kembali ciut, tidak berani menatap mata suaminya. Ia sudah pasrah saat tubuh telanjangnya terpampang. Si cacat ini sedang diperhatikan si sempurna, begitu pikirnya. Namun saat ia merasakan ciuman dari betis merambat ke pahanya, lagi-lagi Chaki tak mampu menahan perasaan hangat serta membakar. Ia tidak mampu menahan suaranya. Semakin menjadi-jadi saat sang produser muda menjilat dan menggigit paha bagian dalam.

U-ughh. Mas… Mas Bima ahh.

Kepala Chaki pening, saat ereksinya dilingkupi tangan hangat suaminya. Dipijat dari pangkal menuju ujung kepala yang mulai memerah, begitu terus beberapa kali. Ini gila, sungguh gila. Seumur hidup ia belum pernah menyentuh dirinya sendiri. Terpikirkan pun tidak. Tapi suaminya memberikan semua yang pertama ini begitu luar biasa. Lembut dan hati-hati.

Chaki sudah telanjang penuh sedangkan suaminya masih utuh. Sesaat Bima melepaskan genggamnya pada ereksi sang suami untuk melepaskan kain yang melekat pada tubuh. Menyingkirkan benda yang menghalangi sesak pada bagian bawah tubuhnya sendiri. Kini keduanya sudah sama-sama telanjang, memamerkan ketidaksempurnaan dan kesempurnaan satu sama lain. Chaki melihat jelas bagaimana tubuh suaminya begitu prima dan terjaga. Kulit kasarnya terasa menggairahkan saat bertemu kulitnya, urat-urat nadi yang menyembul pada lengan dan telapak tangan begitu seksi di matanya.

Bima bawa tubuhya mendekat. Melihat kilat nafsu pada mata sang suami. Tangan suaminya ia tarik lembut untuk menyentuh dada. Tentu saja Chaki tidak ingin buang kesempatan. Ia menyentuh dada telanjang suaminya dengan telapak, merasai bagaimana bentuknya.

“Suka?”

Anggukan malu Chaki berikan. Tentu ia suka, suaminya berkali-kali terlihat tampan dengan tubuh polos dan kulit gelap terbakar matahari yang kini terpantul cahaya bulan. Chaki mengaguminya. Tanpa tahu bahwa bagi Bima tetap Chaki-lah yang paling sempurna.

“Aku nggak berpikir kalau kita akan melakukan hal ini, dalam waktu-waktu dekat. Malam ini. Jadi aku nggak punya persiapan banyak, Cha.”

Chaki sudah tidak mau memikirkan perihal bagaimana caranya sebuah pelumas bisa ada di laci kamar mereka. Pikirannya sudah terbelah antara kewarasan dan keinginan naluriah.

“Kalau sakit bilang ya atau cakar aku aja. Aku nggak mau kamu menahan apa pun.” Kecup lembut mampir di kening Chaki.

Mengangguk, Chaki kemudian menurut saja saat Bima menyodorkan jarinya untuk ia kulum. Melakukan semuanya seperti anak penurut, anak baik. Mengulum jari sang suami dengan khidmat yang mana malah membuat itu terlihat erotis. Bima berani bersumpah, Chaki yang melakukan kegiatan panas dengan wajah malaikat tersebut membuatnya hampir gila. Susah payah ia menjaga waras agar tak bermain kasar sebab ini pertama bagi mereka. Gairahnya sudah diubun-ubun.

Chaki berbalik dan menungging. Agak malu tapi tetap menuruti permintaan suaminya, katanya agar semua bisa lebih mudah. Bokongnya diangkat tinggi-tinggi sesuai arahan, ia hanya merasakan dingin saat udara dari pendingin ruangan menerpa tubuh polosnya.

“Kamu indah banget, Cha.”

Chaki mendesis saat merasakan sesuatu yang dingin menyentuh lubang senggama.

Ahh! Mash… Mas Bima, ahh.”

Terhenyak kaget, Chaki menggelinjang saat merasakan benda tak bertulang dan liur hangat menyapa lubang senggamanya. Bima mencoba melumuri jalan masuknya sendiri dengan lidahnya. Mencecap rasa Chaki yang sesungguhnya. Mempersiapkan Chaki agar bisa menerimanya di kali pertama mereka. Lidahnya mengitari rektum sang suami. Memutar-mutar di sana penuh semangat.

Desah lemah Chaki saat mendesahkan ‘Mas’ sarat akan kepasrahan dan kenikmatan membuatnya senang. Ia suka bagaimana Chaki kepayahan dalam nikmat dengan memanggil namanya.

Lidahnya tak bekerja sendirian, jarinya yang sudah dibasahi liur Chaki dan ditambah pelumas ikut masuk. Membantu kesiapan lubang Chaki dalam penerimaan nanti. Meraba-raba jalan yang asing agar ia terbiasa. Jalan ini yang di kemudian hari akan sering ia kunjungi. Gerakannya agak kaku, tapi Bima menikmatinya. Mengikuti insting juga gairah yang membakar.

Desisan terdengar lagi ketika rasa dingin menerpa lubang senggama. Jari sang produser muda membuat gerakan menggunting. Mula-mula satu, lalu dua, kemudian menjadi tiga sekaligus. Panjangnya jari itu membuatnya mudah menemukan titik pengantar nikmat dalam tubuh Chaki.

Terbukti ketika lenguh-lenguh seksi itu berubah jadi rengekan nikmat dan desah kuat. Bima makin semangat, mempersiapkan jalan masuknya. Menusuk ke dalam dan ke luar. Geraknya dipercepat saat Chaki ikut menggerakkan pinggulnya berlawanan arah, mencari puasnya.

“M-Mas-ahh...a-aku mau…”

Perut Chaki yang menegang dan dinding rektum yang menyedot habis jemari dan lidah memberitahu Bima bahwa suaminya itu akhirnya mendapat pelepasan yang pertama. Hanya dengan lidah dan jari, tanpa disentuh ereksinya. Ada perasaan bangga juga keinginan lebih untuk membuat Chaki menjerit tak berdaya di bawahnya. Saat kasur mereka dan perut Chaki sudah basah dengan cairan semennya sendiri, Bima membalik tubuh mungil itu. Kembali telentang sempurna di hadapannya.

Napas terengah-engah, pipi berhias rona merah, bibir bengkak, anak rambut yang menempel di kening karena keringat, lelehan air mani di perut membuat Chaki terlihat berkali-kali lebih indah. Sangat-sangat sempurna dan erotis. Menggairahkan. Chaki menggigit bibir, menanti apa yang akan dilakukan suaminya. Hatinya berdebar. Takut tapi juga antusias. Penasaran akan hal juga perlakuan baru apa yang akan diberikan Bima padanya. Tidak tahu bahwa yang dilakukannya malah menambah kesan binal. Bima menyeringai, membasahi bawah bibirnya penuh minat.

Setelah melebarkan kedua paha Chaki, Bima memegang ereksinya sendiri. Memijatnya naik turun, dari pangkal menuju kepala kejantanan. Bersiap untuk memasuki lubang senggama yang berkedut-kedut lapar setelah sesi persiapannya tadi. Chaki menelan ludah. Itu besar dan panjang, ia tidak yakin lubangnya mampu menampung yang sebesar itu.

Perlahan tapi pasti Bima mulai masuk. Seinci demi seinci. Merasakan bagaimana pijatan kuat itu memeta tiap-tiap jengkal kulit kejantanannya, merasakan bagaimana urat-urat kejantannya beradu dengan ketatnya dinding hangat. Kepala Bima pening, pada pijatan kuat yang menelan habis kejantannya, perlahan-memabukkan. Kecupan manis dan kalimat penenang dihaturkan ketika Bima mendengar tangisan Chaki dan goresan pada punggung. Itu pasti sakit sekali.

Saat akhirnya ia mampu melesak utuh—penuh, serta Chaki yang melagukan satu lenguh, Bima merasa terbang jauh. Mendiamkan beberapa saat, membiarkan Chaki terbiasa dengan ukurannya. Mata sang produser muda terpejam, ketika meresapi perasaan sendiri tak terasa air mata menetes.

Begini, begini rupanya perasaan berada di dalam Chaki. Begini rupanya masuk ke dalam rumahmu sendiri. Ia tidak serta merta menjadi kerasukan, meski nafsu sudah di ujung kepala. Melakukan kegiatan bercinta dengan suami yang dicintainya setelah terjadi pergolakan perasaan yang bergumul menjadi satu sebelumnya membuat Bima jadi sentimental.

Kepala Bima maju, mendekati wajah Chaki dan mengecup kedua mata sayu berkabut nafsu milik suaminya itu. Mata Chaki yang terpejam perlahan terbuka, menatap manik serupa kolam madu milik sang suami yang berbinar jernih penuh kasih sayang, kerinduan, dan kilat nafsu. Tangannya terjulur mengelusi pipi Bima, merapikan anak rambut yang menempel di keningnya, mengelap keringat akibat kegiatan mereka.

I love you. Aku sayang banget sama kamu, Cha. Kamu luar biasa, kamu udah jadi suamiku yang paling sempurna. Jangan pernah berpikir kamu kurang lagi, sekarang kita sempurna untuk satu sama lain.”

Tangis haru Chaki ikut pecah. Ia mengangguk cepat-cepat, tidak mampu menjawab apa pun sementara tubuh bagian bawahnya bagai terbelah dua. Tersumpal benda besar nan panjang. Sakit dan nikmat bersatu padu. Mengikis warasnya yang memang sudah tidak ada. Di sela desis nyeri juga lenguhnya yang lemah, Chaki membalas ucapan cinta penuh ketulusan dari suaminya dengan sebuah ciuman dalam.

I love you, I love you too, Mas. Aku juga sayang kamu, sayang sekali.” Bisiknya setelah ciuman itu berakhir.

Bima menyambar lagi bibir kesukaannya. tak sabaran. Hanya sebentar karena sesaat kemudian Chaki mengangguk, mempersilakannya untuk bergerak. Mulanya perlahan, namun dalam. Membawa sensasi memabukkan yang tersampaikan dengan baik ke seluruh saraf tubuhnya. Dari ujung kaki menuju ujung kepala. Gerak stabilnya yang lamban membuahkan lenguh-lenguh yang jadi latar kegiatan mereka. Menyemangati Bima dalam tiap gerak menusuknya yang jauh.

Ini luar biasa! Bima berani bersumpah. Gila sekali. Sang produser muda sudah tidak mampu mendeskripsikannya dengan baik. Pikirannya kacau ketika miliknya dipijat dan terjepit di dalam lubang kenikmatan suaminya. Bercinta dengan Chaki membuatnya tak mampu berpikir apa-apa selain ingin dengar rengek manja tak berdaya sang suaminya di bawah kuasanya.

“Mashh-hhh cepat, le-lebih cepat. Tolong lebih cepat.”

Permintaan Chaki adalah perintah, siapa ia berani menolak, bukan?

Bima bergerak lebih cepat dari sebelumnya. Membiarkan kejantanannya tertanam dalam dan melesak jauh ke dalam Chaki. Temponya cepat-cepat, hanya mengejar puas dengan insting yang mendikte. Begitu cepat. Kaki Chaki sudah tersampir apik di kedua bahu, mempermudahnya dalam menemukan titik sensitif yang mengantarkan kenikmatan pada tubuh sang suami.

Dalam gerakannya yang serampangan, Bima terus menerus mengucap maaf. Takut menyakiti Chaki, meski mereka sama-sama menginginkan hal ini, meski keduanya ada di bawah kendali nafsu dalam mencari kepuasan. Suaminya itu tidak mampu menjawab apa pun selain mendesahkan namanya dengan embel-embel ‘Mas’ yang kian lama kian erotis dan menggairahkan. Sebab Chaki mendesahkan namanya dalam rengekan.

Ah! Ah! Ya-ahh! Mas Bima, di situ Mas, di situ enak sekali!”

Ucapan yang keluar dari bibir gemuk Chaki membuat Bima benar-benar dikalahkan penuh oleh nafsu dan gairah. Ia menyeringai puas di tengah-tengah kegiatannya kala mendengar jerit dan tangisan dari Chaki ketika akhirnya ia berhasil melesak pada bagian terdalam. Menumbuk tepat pada titik kenikmatan suaminya, mengantarkan jutaan sensasi memabukkan ke seluruh tubuh.

Kecepatan Bima lebih serampangan dari sebelumnya. Mengejar puasnya bersamaan tanda-tanda Chaki akan mendapatkan pelepasannya yang kedua. Maka ia bergerak lebih keras, menarik kejantanannya sampai ujung kepalanya berada di pintu masuk, lalu melesakkan sampai ke bagian terdalam. Seolah tak berujung. Hanya desah lemah, erang nikmat dan rengekan Chaki yang bisa ia dengar kini. Begitu indah. Seperti harmoni yang mampu mengantarnya pada tidur yang nyaman.

Ketika otot perut dan pijatan yang mengetat pada kejantanannya, lubang senggama itu terasa menyedot habis semua miliknya. Bima bekerja lebih cepat. Sampai pada tusukan yang entah ke berapa, ia mampu merasakan kejantannya yang membesar bersamaan desah panjang suaminya itu.

AHH!

Kemudian ia pecah di dalam Chaki, sedangkan lelehan air mani sang suami mengotori tubuh keduanya dan juga sprei mereka. Di tengah napas panas yang beradu, terengah-engah, ia biarkan Chaki menerimanya tanpa tersisa. Beberapa meleleh keluar melewati paha. Mereka mengambil napas rakus, seolah jika terlewat satu menit saja keduanya bisa mati.

Seumur hidupnya, Chaki belum pernah merasa seutuh ini. Ia merasa semakin sempurna.

“Terima kasih, aku sayang kamu, Cha.”

Satu ciuman panjang keduanya bagi sebagai penutup malam itu. Tanpa nafsu, hanya ciuman penuh cinta juga rasa syukur. Mereka tidak sempurna, mereka sama cacat juga kurang. Tapi hadirnya satu sama lain, membuat mereka sempurna. Sempurna atas ketidaksempurnaan yang ada.

Sembilan

Secepat musim panas berganti dengan tetes hujan yang luruh ke bumi, secepat itu juga waktu mereka berlalu. Setengah perjalanan lagi menuju akhir dari program pendidikan spesialis kejiwaan Chaki selesai. Hubungan mereka makin mengerat dari waktu ke waktu. Bohong kalau tidak ada perselisihan kecil yang terjadi, tentu ada. Entah sebab Bima yang lupa mengabari saat lembur atau sebab Chaki yang kerap memendam masalah dengan konsulennya dan menangis tiba-tiba. Tapi mereka mampu menghadapinya. Perlahan menyelami apa inginnya masing-masing kepala. Mencari jalan tengah dan memilih yang paling baik dan adil untuk mereka berdua. Atau mau tidak mau salah satunya harus mengalah.

Perihal melakukan kewajiban sebagai suami; melayani lahir dan batin, menafkahi lahir dan batin, mereka sudah mampu memenuhinya tanpa ada rasa rendah diri dan tak percaya pada salah satunya. Semua terasa sempurna. Serta bagaimana cinta mereka saling menghambur satu sama lain.

Tapi ada waktu-waktu di mana Chaki merasa hidupnya sepi. Meski ada Bima yang merengkuhnya, meski Bima bernapas di samping telinganya. Tetap ada kosong. Meski canda mereka mencipta derai-derai tawa, meski cerita yang mereka bagi penuhi rumah mereka. Ada yang kurang.

Pada dasarnya Bima adalah si peka. Sang produser muda menerima sinyal janggal dari suaminya dengan baik. Paham bahwa Chaki seringkali kesepian jika ia tinggal lembur atau dua tiga hari menginap di studio. Jadi, pada suatu siang di hari Minggu, selepas kegiatan jogging-nya, Bima bertanya di antara tawa renyah Chaki yang tengah menceritakan pengalamannya di rumah sakit.

Segelas es jeruk dengan batu es yang mulai mencair dan mencipta embun-embun menempeli gelas menemani niatnya. Satu tegukan melepas dahaga, Bima letakkan gelasnya perlahan.

“Sayang, punya anak, yuk?”

Chaki terbatuk-batuk di tempat, buru-buru Bima tepuk pelan punggung sempit itu sampai mereda. Tatap kaget Chaki juga binar asa di sana jadi yang pertama ia lihat.

“Gimana, Mas?”

“Punya anak, Yang. Biar ada yang nemenin kamu, ngeramain rumah ini. Kamu pasti sering ngerasa kesepian, 'kan? Kalau ada anak, kamu jadi punya teman. Aku berpikir kita berdua udah sama-sama siap. Cinta kita lebih dari cukup untuk dibagi ke satu jiwa lain, 'kan?”

Senyum teduh Bima malah buat mata Chaki berkaca-kaca. Ia membisu di tempat dengan air mata perlahan-lahan meleleh.

“Mas…”

Isak kecilnya berubah jadi tangis sedu.

Chaki merasa bersyukur bahwa ia punya Bima dalam hidupnya. Punya suami yang mengerti, sebab ia seringkali tak enak hati untuk meminta. Takut dikira terlalu banyak menuntut.

Peluk yang mereka bagi siang itu seperti pelukan biasanya, penuh hangat juga bahagia. “Aku mau, Mas.”

Juga bertambah satu bahagia, sebab akan ada tambahan penghuni rumah satu lagi.

Minggu depannya mereka berhasil membawa pulang Ervin ke dalam hangatnya keluarga mereka. Bayi kecil berumur empat bulan yang mereka adopsi dari panti asuhan tak jauh dari area perumahan mereka. Bayi kecil yang sejak lihat pertama sudah mampu tarik atensi Chaki. Bayi laki-laki yang sangat tampan, punya mata besar seperti Bima juga pipi gemuk seperti Chaki. Bayi menggemaskan yang buat hari-hari mereka lebih berwarna.

Kalau diberi kesempatan untuk membuat sebuah permohonan satu kali seumur hidup, barangkali Chaki hanya ingin Bima. Tak pernah berubah dan tak akan pernah. Sebab ia hanya ingin Bima sebagai wujud bahagianya. Bima sebagai sempurnanya.

Hidup mereka pernah cacat, hidup mereka sejak awal pun berat, tapi siapa bilang jika beban itu dibagi hanya akan jadi kesulitan satu sama lain?

Mereka, Bima dan Chaki, membuktikan bahwa bagaimanapun berbagi beban pada seseorang, berbagi cacat pada seseorang, yang percaya kamu juga kamu percaya, yang cinta kamu juga kamu cinta, mampu meluruhkan satu per satu beban.

Sebab cinta mereka sejak awal penuh kerikil, penuh lubang menjorok ke dalam, penuh nanah juga kadang berdarah. Tapi semua itu hanya akan membuat mereka kuat, juga percaya, pada tiap-tiap hari yang mereka lewati, pada tiap-tiap langkah yang mereka jalin. Bersama. Untuk selamanya. Semoga.

Fin.