kenapa, bu?
Pernah dikecewakan oleh kenyataan? Merasa marah sebab hidup seolah mempermainkan. Memang, katanya hidup itu penuh kejutan, kita tidak akan pernah tahu apa yang akan kita hadapi esok, lusa, bahkan beberapa jam kedepan. Juga katanya, sebagian hal itu sudah digariskan, sedang beberapa lainnya harus diusahakan. Tentu, Bima tahu akan hal itu.
Kalau begitu, termasuk ke dalam golongan apa yang ia alami ini? Kejutan hidup? Takdir, kah? Atau permainan hidup?
Bima sendiri sudah tidak bisa bedakan perasaannya. Ada kebahagiaan yang bisa kamu petik setelah dirawat selama ini. Ada lega seolah seluruh ikat sesak di dadamu dibuka. Juga kecewa, ketika semua yang nyata di semukan seluruhnya. Mana yang harus dan boleh Bima rasakan? Jika seluruh rasa itu berdesakkan dalam dada, seolah ia tumbuh dan berkembang minta dibebaskan.
Malam itu, Bima melihatnya. Seseorang yang penuhi kepala tanpa mau bergeser barang seinci. Seseorang yang presensinya selalu ia pertanyakan, meski selalu ia imani bahwa dia ada, entah itu dimana. Seseorang yang selalu buat ia sulit jemput tidur pada malam-malam sepi. Seseorang yang bisa ia rindukan sebanyak ia butuh udara untuk hidup.
Inginnya tertawa, tapi ini tidak lucu sama sekali. Yang ada hanya sesak, namun lega membelenggu jiwa. Hanya bahagia, namun kecewa meresapi dada.
Orang yang ia lihat semalam, ia yakin kalau itu adalah orang yang selama ini ia cari. Ia yakin, seolah seumur hidup belum pernah punya keyakinan sebesar ini. Jadi, permainan apa yang sedang ia ikuti sekarang ini?
“Bu,” Ibu tunda gerakan tangannya pada piring kotor di genggaman, untuk lihat anak sulungnya saat panggil lembut itu terdengar. Si sulung yang baru kembali setelah bertahun-tahun pergi, kejar maunya diri. Senyum senantiasa terpasang apik, sebabkan tarikan di sudut bibir meninggi. Tak bisa ditutupi, betapa bahagia hati sebab kepulangan anaknya.
“Kenapa Mas?”
Hela napas Bima kentara, Ibu mengernyit seolah bingung apa gerangan yang sudah ganggu pikiran anaknya. Apakah sebab Rayyan yang terlalu banyak menuntut ingin ditemani ini itu sebagai rencana kegiatan mereka nanti? Atau Ayah yang tiba-tiba jadi melankolis dan banyak menangis?
“Ibu jangan marah ya, Mas cuma mau tanya aja.” Ibu mengangguk.
“Bu, selama ini Ibu tau kabar Chaki?” Kegiatan cuci piring Ibu telak tehenti, dari tempatnya duduk—di sudut meja makan, Bima bisa lihat airmuka Ibu menegang.
Semuanya terbaca.
“Ibu tau kabar Chaki tapi gak pernah kabarin Mas, Bu?” Ibu masih diam, perlahan biarkan aliran air bersihkan busa-busa di tangannya, keringkannya sebentar dan mendekati Bima.
Kursi dihadapannya ditarik Ibu perlahan, cokelat hangat yang sudah hilang kepul asapnya di dorong Ibu mendekati Bima. Isyarat untuknya minum, agar suasana hatinya sedikit baik dulu.
Setelah dirasa lumayan tenang, Bima lanjutkan ganjalan hatinya, “Chaki sering kesini? Ketemu Ibu, Ayah dan Rayyan, tapi gak pernah ada yang bilang ke aku, Bu?”
Barangkali sudah ada sepatah duapatah kata yang ingin Ibu ucapkan pada Bima, namun seolah semua kata itu tertelan saat lihat raut kelewat kecewa anaknya. Segala bentuk frustasi yang ditekan kuat untuk tak meledak.
“Bu... Ibu tau gimana aku selama ini bahkan sebelum aku mutusin untuk kuliah di luar negeri kan, Bu? Aku nyariin dia, aku kehilangan kontak sama dia dan semua keluarganya,” suara Bima agak serak saat bilang itu, hati Ibu jadi tercubit.
“Bu... aku disana tersiksa, sendirian. Gak ada Ibu, gak ada Ayah. Aku gak tau kabar Chaki sama sekali selama kuliah, sampai aku lulus dan kerja, aku gak tau kabarnya sama sekali. Selama ini aku gak tenang, aku mikirin dia terus-terusan. Apa dia baik-baik aja? Dia sehat atau sakit? Dia makan atau enggak? Dia....dia hidup atau enggak,” matanya berkaca-kaca, mengingat bagaimana hari-hari sulitnya ia lewati sendiri, dengan mimpi buruk, kebiasaan lembur, juga kurang tidur akibat banyak pikiran.
“Aku mati-matian berjuang disana, Bu... Tapi semua orang sembunyiin Chaki dari aku? Kenapa? Kenapa, Bu?”
Sumpah, Bima tak sekalipun berniat untuk buat Ibunya menangis karena dirinya, seumur hidupnya pun. Tak pernah terpikirkan bahwa di hari ia pulang kembali, bukannya bahagia, malah tangis sedu Ibu yang ia lihat kini.
“Mas... Mas liat Chaki? Ibu kira Mas semalem beneran minep di tempat Yosha karena... kata Mas—”
“Mas bohong, Bu. Mas bilang gitu karena Mas liat Chaki turun dari mobil bareng Hafiz disaat Mas udah di depan gerbang. Baru aja mau ajak Theo Yosha mampir, tapi gak jadi. Mas liat Ibu sambut Chaki seolah Ibu biasa ketemu dia setiap hari, jadi Mas suruh mereka berdua pulang tanpa pamit ke Ibu. Mas semalem minep di hotel dekat sini, Mas gak minep di rumah Theo, Bu.”
Bima tau ia kurang ajar, bukannya buat tangis Ibu reda, ia malah tambah buat bendungan itu runtuh tersapu arus air. Tapi ia tak sanggup tahan segala bentuk sesak yang mengganjal lagi.
“Kenapa Ibu sembunyiin semua ini dari Mas, Bu?”
Pertanyaan itu keluar juga, setelah penuhi otaknya semalaman tanpa mau biarkan ia tidur sama sekali. Ya, Bima tidak tidur sejak kali pertama ia lihat Chaki setelah lima tahun berlalu. Tak mampu buat matanya lelah meski sudah pandangi langit-langit kamar. Sengaja ia pulang ke rumah menjelang sore, sebab ingin pulang saat Chaki tidak ada di rumahnya. Ia hanya... tak tahu harus berbuat apa. Takut yang ia lakukan bukannya hal yang selama ini ia rasakan tapi hanya ungkapan kekecewaan, ia tak ingin rusak hati Chaki. Meski ia sendiri tak mampu gambarkan seberapa sakit tamparan kenyataan.
“Biar Chaki sendiri yang jelasin ke kamu, Mas. Ibu gak berhak, Ibu pikir mungkin ini waktunya Mas tau, Mas juga udah disini, kan?”
Kalimat Ibu itu buat pertanyaan lain kembali desak kepalanya. Ibu memberikannya kontak Chaki yang baru, juga alamat rumah sakit tempatnya melakukan koas serta alamat apartemen nya di daerah sini.
Bima beri Ibu pelukan hangat, meminta maaf karena sudah buat Ibu menangis sedang yang diberi kata maaf makin eratkan pelukan dan bilang bahwa beliau lebih dari mengerti bagaimana perasaan Bima.
Malam itu Bima habiskan waktu pandangi foto Chaki yang terpasang di profilnya, sebelum ia terlelap jemput mimpi.
Waktu ternyata sangat cepat berlalu, untuk mereka berdua.